tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI merubah haluan anggaran kesehatan dari yang sebelumnya memakai alokasi belanja wajib (mandatory spending) menjadi anggaran berbasis kinerja dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan.
Juru bicara Kemenkes Mohammad Syahril menyatakan tujuan yang ingin dicapai akan lebih jelas dengan memakai anggaran berbasis kinerja.
“Dengan tidak adanya persentase angka di dalam Undang Undang Kesehatan, bukan berarti anggaran itu tidak ada, namun tersusun dengan rapi berdasarkan dengan rencana induk kesehatan dan berbasis kinerja berdasarkan input, output dan outcome yang akan kita capai,” kata Syahril di Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Menurut Syahril, besaran mandatory spending tidak menentukan kualitas dari hasil yang dicapai. Karena itu, ia menilai anggaran kesehatan berbasis kinerja lebih efektif.
”Karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat indonesia setinggi tingginya. Jadi semua tepat sasaran, tidak buang-buang uang,” kata dia.
Syahril mencontohkan kondisi saat ini 300.000 rakyat Indonesia setiap tahun wafat karena stroke. Lalu, lebih dari 6.000 bayi wafat karena kelainan jantung bawaan yang tidak bisa dioperasi. Kemudian, lima juta balita hidup dalam kondisi stunting. Padahal, kata Syahril, anggaran kesehatan yang digelontorkan sangat banyak.
Mandatory spending atau alokasi belanja wajib bidang kesehatan ini awalnya ditetapkan minimal 10 persen pada naskah awal RUU Kesehatan.
Dalam draf lama tersebut, Pasal 420 menyebutkan pemerintah memiliki kewajiban mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Namun dalam salinan UU Kesehatan teranyar, ketentuan alokasi belanja wajib dihapus. Ketentuan itu diganti dengan alokasi anggaran yang menyesuaikan kebutuhan program nasional dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan.
Syahril mengklaim Rencana Induk Bidang Kesehatan akan membuat penyusunan anggaran menjadi lebih jelas. Peran pemerintah pusat dan daerah juga ditentukan di dalamnya, termasuk tujuan yang ingin dicapai.
“Artinya apa? Karena dulu pedoman belum ada, guideline belum ada, eh uangnya sudah ada. Akhirnya malah terjadi kebingungan. Perencanaan copy paste dari tahun sebelumnya ditambah inflasi sekian, akhirnya outcomenya ya begitu begitu saja, karena belum terarah dengan baik,” tutur Syahril.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan