Menuju konten utama

Surat Penundaan Penyidikan Setnov Melanggar Kode Etik DPR

Penerbitan surat penundaan penyidikan Setya Novanto dianggap telah menggerogoti marwah dan etik lembaga DPR. Kewenangan DPR justru dipakai untuk melindungi diri dari proses hukum.

Surat Penundaan Penyidikan Setnov Melanggar Kode Etik DPR
Peserta aksi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi membawa poster bergambar Ketua DPR Setya Novanto ketika melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/9/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, surat resmi dari DPR kepada KPK terkait penundaan penyidikan Ketua DPR Setya Novanto sudah kelewatan. Lucius menilai tindakan tersebut sudah melawan ketentuan kode etik DPR.

“Sudah seharusnya MKD langsung merespons hal ini tanpa perlu menunggu terlalu lama pengaduan dari masyarakat. Apalagi kemarin sudah ada yang mengadu ke MKD, maka MKD harus bergerak cepat," tegas Lucius saat dihubungi Tirto, Kamis (14/9/2017).

Ia menambahkan, penerbitan surat tersebut telah menggerogoti marwah dan etik lembaga DPR. Lucius mengingatkan, DPR boleh mengeluarkan surat permohonan selama hal itu untuk kepentingan publik.

Dalam kasus Setya Novanto, kewenangan DPR justru digunakan untuk kepentingan pribadi guna melindungi diri dari proses hukum. Tindakan Setya Novanto dan para pimpinan bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice atau upaya menghalang-halangi dalam penyidikan Novanto.

Menurut Lucius, MKD harus mengusut Setya Novanto serta anggota DPR yang terlibat menandatangani surat permohonan penyidikan. Ia menilai, Novanto dan pihak yang menandatangani surat telah melanggar Kode Etik Pasal 6 ayat 5 bahwa anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk memengaruhi proses peradilan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.

Tak hanya itu, mereka juga melanggar Pasal 3 ayat 1 anggota DPR harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR, baik di gedung DPR maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, MKD harus memberikan sanksi tegas terhadap kebijakan Pimpinan DPR.

"Saya kira sanksi yang tepat adalah pemberhentian dari anggota DPR, ya. Ini dugaan pelanggaran serius saya kira karena memanfaatkan lembaga untuk kepentingan perseorangan," tegas Lucius.

Meskipun menyarankan hukuman hingga pemecatan, Lucius tidak memungkiri munculnya pesimisme dalam penegakan kasus Novanto. Namun, publik bisa mendorong transparansi dalam pelaksanaan sidang MKD. Ia yakin MKD bisa kembali terbuka seperti momen MKD dalam memroses perkara Papa Minta Saham Novanto.

Kepala Biro Pimpinan Sekretariat Jenderal DPR RI Hani Tahapsari, Selasa (12/9/2017), menyampaikan surat kepada KPK yang berisi permintaan agar proses penyidikan Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP ditunda.

Dalam surat tersebut, pimpinan DPR menilai praperadilan adalah hal yang lumrah dalam proses penegakan hukum. Pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan azas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung

KPK pun sudah menerima surat yang ditandatangani oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon itu. Diakui KPK, DPR meminta lembaga antirasuah itu untuk menunda penyidikan Setya Novanto. Terkait hal tersebut, KPK akan mempelajari lebih lanjut apakah ada kemungkinan penundaan penyidikan. Akan tetapi, pihak KPK memastikan penyidikan Novanto terus berjalan.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari