tirto.id - Perolehan suara parpol Koalisi Perubahan untuk Persatuan di level legislatif bersaing sengit. Koalisi ini terdiri dari PKB, PKS, Partai Nasdem, dan Partai Ummat mengusung pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandari. Namun, Partai Ummat dipastikan tidak lolos parlemen karena hanya dapat 0 koma berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei. Sedangkan PKB, PKS, dan Nasdem bersaing ketat di papan tengah.
Mengutip data quick count sejumlah lembaga survei per 16 Februari 2024 pukul 14:25 WIB, PKB, PKS, dan Nasdem bertengger kuat di papan tengah. Akan tetapi, suara PKB sebagai partai yang paling akhir masuk koalisi AMIN justru lebih tinggi dibandingkan Nasdem maupun PKS.
Mengutip data Charta Politica, PKB berada di peringkat keempat dengan angka 10,58 persen. Posisi PKB berada di bawah PDIP (15,58 persen), Golkar (13,65 persen), dan Gerindra (13,57 persen). Di bawah PKB baru PKS dengan angka 9,92 persen. Sementara Nasdem tepat berada di bawah PKS dengan angka 8,76 persen.
Data hasil hitung cepat Poltracking juga sama, PKB berada di peringkat keempat secara nasional. PKB mengantongi 11,55 persen atau di bawah Partai Gerindra di peringkat ketiga dengan 13,19 persen. Di bawah PKB ada Nasdem (8,95 persen) disusul PKS (8,01 persen).
Sementara berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count Populi Center, PKB juga berada di peringkat keempat dengan angka 10,95 persen atau berada di bawah Gerindra yang mencapai 13,96 persen. Partai Nasdem di bawah PKB dengan angka 9,15 persen, lalu PKS dengan 7,98 persen.
Dalam quick count Indikator Politik Indonesia, PKB juga finis di peringkat keempat dengan 10,54 persen. Partai yang didirikan Presiden Abdurrahman Wahid itu berada di bawah Partai Gerindra di angka 13,51 persen. Di bawah PKB ada Nasdem (9,39 persen) dan PKS (8,16 persen).
Mengapa PKB Lebih Tinggi dari PKS dan Nasdem?
Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai suara PKB bisa lebih tinggi daripada PKS dan Nasdem karena coattail effect atau efek ekor jas yang diberikan pasangan AMIN kepada PKB. Ia menilai, publik mudah mengasosiasikan pilihan ke PKB karena langsung melihat Cak Imin yang notabene Ketua Umum PKB.
“Yang pertama Nasdem walaupun bilang mendukung Anies, tapi kan orang tahu Anies bukan kader Nasdem, sama juga PKS enggak punya kadernya di capres maupun cawapres. Itu jadi masalah,” kata Kunto kepada reporter Tirto.
Kunto menambahkan, “Sementara Cak Imin jadi ketum PKB itu muncul dan jadi cawapres. Akhirnya efek coattail-nya pasti akan kuat ke PKB karena ya setiap mereka melihat AMIN di situ ada Cak Imin yang langsung asosiasi ke PKB.”
Kunto menilai PKB mendapatkan coattail effect lumayan besar. Hal itu bukti bahwa kehadiran ketua umum atau kader partai mempengaruhi elektabilitas partai di Pileg. Ia menilai dukungan partai saja tidak serta-merta suara akan optimal di Pileg.
Kedua, Kunto melihat karakter pemilih AMIN bergeser ke tengah, tidak ekstrem kanan maupun kiri. Pemilih kanan mungkin mengarah ke PKS, sementara pemilih kanan-tengah lebih ke PKB. Namun, tidak menutup kemungkinan masyarakat memilih capres yang tidak sejalan dengan partai koalisi.
Kunto menekankan, mengusung nama tidak serta-merta membuat pemilih mau memilih mereka. Salah satu poin yang harus diperhatikan adalah sikap Nasdem yang berbeda dalam pengusungan Anies daripada Jokowi. PKS juga terlihat tidak terlalu berafiliasi dengan Anies sehingga PKB jauh lebih mendapat untung secara pemilu legislatif.
“Karena kalau kita bandingin 2019, Nasdem usung Pak Jokowi, tapi kan kemudian banyak sekali baliho Pak Jokowi dan Surya Paloh barengan. Ini enggak terjadi di 2024. Ya kan? Enggak ada komunikasi dalam artian baik itu billboard, baliho, spanduk di medsos bahwa Pak Surya Paloh dekat Pak Anies. Nggak ada itu masalahnya sehingga efeknya bisa ditebak," kata Kunto.
“Sama dengan PKS. PKS enggak ngajak jalan Anies, Syaikhu enggak nempel ke Anies sehingga asosiasi orang itu susah,” kata Kunto.
Sementara itu, analis dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, mengingatkan hanya PKB yang memiliki kader langsung dalam pilpres. Nasdem dan PKS tidak memiliki kader langsung sehingga berpotensi kuat tidak berdampak langsung pada perolehan suara partai.
“Jadi secara nggak langsung itu memiliki efek adalah Cak Imin dengan PKB," kata Arifki.
Kedua, pemilih PKB umumnya mayoritas adalah pemilih Islam moderat. Pengusungan AMIN membuat PKB bisa lebih luas dalam menarik suara pemilih muslim di luar segmen pemilih Islam moderat. Pemilih Islam moderat mungkin akan memilih Muhaimin. Di sisi lain, pemilih lain akan memilih PKB sebagai alternatif di luar Nasdem dan PKS.
Arifki pun tidak memungkiri coattail effect AMIN paling kuat menyasar kepada PKB. Ia menilai posisi Anies saat ini sama dengan Jokowi di Pemilu 2019. Namun, pemilih AMIN bisa punya pilihan langsung kepada kadernya.
“Orang-orang PKB itu punya pilihan langsung, pemilih PKB dia milih kader PKB sebagai cawapres, beda dengan misalnya orang yang milih Anies belum tentu dia punya pilihan sama untuk partai politik. Misal dia suka Anies, mereka punya pilihan milih PKS, milih Nasdem atau PKB,” kata Arifki.
Respons Parpol
Wasekjen DPP Partai Nasdem, Jakfar Sidik, yakin bahwa Nasdem mampu memperoleh suara besar di Pemilu 2024. Jakfar mengatakan, angka quick count presisi dan masih dalam margin of error. Akan tetapi, Jakfar menilai membandingkan PKB dengan Nasdem bukan hal yang bisa dibilang apple to apple jika melihat berbasis besaran suara.
“Tidak bisa memperbandingkan dengan PKB. Kenapa? Di 2019 suara PKB itu lebih besar dari Nasdem 200-300 ribuan, tapi jumlah kursi Nasdem lebih banyak. Dia [PKB] 58, kami 59 [kursi], jadi enggak bisa juga diperbandingkan begitu,” kata Jakfar, Kamis (15/2/2024).
Jakfar mengatakan, persentase kenaikan kursi Nasdem di Pemilu 2019 adalah tertinggi. Nasdem memperoleh 36 kursi menjadi 59 kursi. PKS mendapat coattail effect di 2019 secara signifikan karena juga mampu menaikkan perolehan suara legislatif padahal ruling party adalah PDIP yang mengusung Jokowi.
Jakfar bercerita, Nasdem mendapat efek elektoral dari basis pemilih Anies atau asosiasi terhadap Anies saat ini. Ia mencontohkan NTB, Aceh, dan Sumatera Barat. Ia meyakini, Nasdem bisa mendapat hasil dua digit dan mampu meraih suara optimal. Ia berkaca dari angka margin of error yang masih membuat suara Nasdem dua digit.
Di saat yang sama, Jakfar juga menekankan pengaruh efek ekor jas Anies hanya satu instrumen dari tiga pilar kenaikan suara Anies. Ia mengingatkan, Nasdem punya tiga pilar pemenangan, yakni Anies sebagai capres, kekuatan caleg, dan struktur partai. Oleh karena itu, ia mengajak publik melihat hasil akhir di real count KPU.
“Nanti kita tunggu hasil real count dari KPU. Kalau saya masih yakin Nasdem itu 2 digit dengan situasi quick count begitu. Ditambah apa? Basis elektabilitas menjelang pemilu kita sudah 7 persen. Di 2019 lalu, Nasdem enggak pernah lebih dari 4 persen menjelang pemilu, dapatnya 9," kata Jakfar.
“Artinya apa? Hari ini Nasdem mengusung Anies menjadi Nasdem dan juga punya kekuatan. Kalau dulu kekuatan itu hanya struktur partai dan caleg, hari ini kami bertambah struktur, caleg, dan capres,” tutur Jakfar.
Tirto telah meminta tanggapan kepada Sekjen DPP PKB, Hasanuddin Wahid; Ketua Fraksi PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal; dan Ketua DPP PKB, Daniel Johan, terkait suara PKB ini. Namun, hingga artikel ini rilis, mereka belum meresponsnya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz