Menuju konten utama

Strategi Rating TV Donald Trump

Jutaan penduduk AS dalam terjebak dalam pengangguran dan kemiskinan. Mereka frustasi dan kecewa dengan pemerintah dan politikusnya. Donald Trump yang tidak punya sejarah di Washington dan tidak memiliki latar belakang politik dianggap sebagai jawaban atas permasalahan ekonomi di AS.

Strategi Rating TV Donald Trump
undefined

tirto.id - Kabar heboh itu datang tiga hari setelah pidato resmi Donald Trump sebagai calon presiden (Capres) Partai Republikan AS. Trump berhasil menyalip Hillary Clinton sejauh 3% dalam jajak pendapat CNN. Padahal, satu minggu sebelumnya Hillary unggul 9% di atas Trump. Bagaimana bisa suara untuk Hillary menguap begitu saja, mengingat nominasi Trump dalam konvensi Partai Republikan diwarnai berbagai kericuhan?

Konvensi partai sewajarnya dimanfaatkan untuk memperlihatkan kecakapan sang Capres di muka rakyat Amerika Serikat. Namun, baru sehari konvensi berselang, Trump sudah menuai kontroversi. Pasalnya, pidato istri Trump, Melania Trump dituding menjiplak pidato Michelle Obama tahun 2008. Bagaimana mungkin tim kampanye Pilpres bisa kecolongan menjiplak pidato? Rupanya, tim kampanye Trump sudah menyiapkan naskah pidato untuk Melania, tapi Melania memutuskan untuk menulis pidatonya sendiri tanpa memberitahu tim kampanye. Ini adalah contoh keamatiran tim kampanye Trump, tulis editor New York Times.

Kontroversi penjiplakan ini diikuti dengan berbagai musisi yang keberatan lagunya dipakai dalam proses nominasi Trump. Perwakilan dari Queen, Adele, Rolling Stones, Beatles, Luciano Pavarotti, dan Earth, Wind, and Fire menyatakan keberatan karena lagunya dipakai tanpa izin. “Pemakaian lagu “Here Comes the Sun” tanpa izin dalam konvensi Partai Republikan sangat menghina dan tidak sesuai dengan keinginan keluarga George Harrison,” ujar perwakilan almarhum George Harrison di Twitter (21/7).

Ketika kontroversi plagiarisme dan musik hendak mereda, muncul lagi kontroversi lain. Di depan hadirin konvensi Partai Republikan, Ted Cruz (yang dikalahkan oleh Trump dalam pemilihan pendahuluan) menolak memberikan dukungan kepada Trump. Menurut tradisi di AS, bakal calon presiden yang kalah dalam pemilihan pendahuluan akan memberikan dukungan kepada yang menang. Namun Cruz justru mengajak warga AS untuk memakai nuraninya. “Jika kau mencintai negara ini dan mencintai anak cucumu, maka berdirilah dan pilihlah hati nuranimu, pilihlah presiden yang kau percaya akan membela kemerdekaanmu dan setia terhadap konstitusi,” ujar Cruz dalam pidatonya sembari menuai cemooh dari para pendukung Trump.

Puncaknya ada di hari Minggu, ketika New York Times menerbitkan wawancara dengan Donald Trump. Bilyuner itu mengatakan bahwa AS tidak perlu berpartisipasi dengan NATO jika negara­-negara anggota NATO tidak meningkatkan anggaran pertahanannya. Pernyataan tersebut dikritik oleh rekan separtainya, antara lain ketua Senat AS Mitch McConnell.

Walaupun Trump meninggalkan konvensinya dalam keadaan babak belur, namun hasil polling justru mengatakan sebaliknya. Ini memang bukan pertama kalinya Trump bergumul dalam kontroversi. Berulang kali ia berbicara merendahkan perempuan, warga muslim, warga Meksiko, reporter difabel, dan tahanan perang. Namun dia tetap melenggang di kancah pemilihan presiden (Pilpres) AS. Bagaimana mungkin ini terjadi di negara demokrasi seperti AS?

Sutradara Michael Moore menggarisbawahi sebuah demografi yang menggotong kejayaan Trump, yaitu kelas pekerja manufaktur di Midwest Amerika. Sejak 1990, industri manufaktur AS merosot jauh dari yang semula memperkerjakan 18 juta pekerja turun menjadi 12 juta. Sebagian pekerja bertransisi ke industri ritel, namun resesi 2008 pada saat pemerintahan Presiden Bush juga menghajar industri ritel. Di lain sisi, industri kesehatan meroket dan menyerap dari 9.1 juta pekerja di tahun 1990 menjadi 18 juta pekerja per 2014.

Perubahan lanskap industri ini meninggalkan jutaan penduduk AS dalam pengangguran dan kemiskinan. Mereka frustrasi dan kecewa dengan pemerintah dan politikusnya. Donald Trump yang tidak punya sejarah di Washington dan tidak memiliki latar belakang politik dianggap sebagai jawaban atas permasalahan ekonomi di AS. Trump berjanji akan mengembalikan industri manufaktur ke AS yang selama ini beralih ke Cina dan Meksiko. Ironisnya, produk ritel dan produk kampanye AS justru dibuat di Cina dan Bangladesh.

Kimberley A. Strassel dari Wall Street Journal mengatakan bahwa kompetisi Pilpres AS tahun ini adalah Pilpres dengan satu calon. Menang­kalahnya Donald Trump sebetulnya terkait dengan tingkat kepuasan masyarakat dengan Capres Partai Demokrat, Hillary Clinton. Dengan kata lain, Trump naik jika Hillary turun dan demikian juga sebaliknya. Sejatinya, masyarakat AS sedang menentukan akan memilih Hillary atau tidak.

Hillary adalah mantan ibu negara, senator, dan menteri luar negeri yang hidupnya sudah menjadi sorotan masyarakat sejak 1979, dan segala hal baik dan buruknya telah diketahui publik. Ia pernah terkait berbagai kontroversi sejak menjadi ibu negara pada masa Presiden Bill Clinton hingga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di periode pertama pemerintahan Obama. Naiknya Trump nampak terkait dengan kontroversi email Hillary yang menjadi sorotan menjelang konvensi Partai Republik. Kepala FBI menyatakan bahwa Hillary tidak melakukan tindakan pidana terkait email servernya, namun lalai dalam menjaga rahasia negara.

Trump memang sosok yang temperamental dan berego tinggi, namun dia tidak bodoh. Dia tahu betul tombol apa yang akan dipencet dan kapan tombol itu dipencet. Ketika dia menjanjikan akan membawa pulang industri manufaktur ke AS, maka ia memencet tombol yang menggairahkan massanya di Midwest. Ketika ia mengatakan bahwa ia akan melarang bagi orang muslim masuk AS, ia mengingatkan ancaman ISIS di Amerika.

Ketika ia memberi julukan “Crooked Hillary”—”Hillary Tukang Bohong”—ia mengingatkan bahwa Hillary tidak bisa dipercaya. Trump memang calon presiden populis, ia bersedia mengatakan apapun agar disoraki pendukungnya. Dengan pengalaman mengelola Miss Universe dan The Apprentice, dia tahu betul bagaimana meraih rating televisi. Dalam pidato nominasinya, Trump sesumbar “cuma aku yang bisa menyelesaikan [masalah di negara] ini.”

Pertanyaannya, apakah strategi “rating televisi” bisa membuat Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat? Nate Silver mengatakan, kenaikan angka jajak pendapat hanyalah efek dari konvensi. Pemilihan masih tiga bulan lagi, dan banyak hal bisa terjadi dalam tiga bulan.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.