tirto.id - Bruno Hasson punya kemampuan desain dan doyan bikin produk baru. “Saya bisa berjam-jam mengamati sebuah produk yang saya anggap menarik,” katanya dalam bukunya, Fashion Branding: 7 Jurus Sukses Branding Bisnis MLM Fashion (2008).
Dia merupakan lulusan Institut Superieur des Techniques d'Outre-Mer (Istom), sebuah institut pertanian milik pemerintah Perancis.
Bruno pernah berkunjung ke Indonesia ketika masih kuliah. Pada tahun-tahun pertama setelah Hasson lulus dari Istom, Indonesia masih dianggap Macan Asia. Pertumbuhan ekonominya cepat, kala itu.
Gambaran itu membuat Bruno nekat terbang ke Indonesia. Meski masih belum tahu apa yang akan dilakukannya nanti, Bruno punya keyakinan akan berbisnis di Indonesia. Bruno pernah merasakan jatuh-bangun dalam berbisnis, bahkan dia pernah berjualan pipa besi dan alat-alat pabrik.
Seperti banyak orang asing terpelajar yang datang ke Indonesia. Mereka mengamati perilaku orang Indonesia, termasuk cara ingin tampilnya. Menurut pengamatan Bruno pada 1995 terhadap produk tas masyarakat kelas menengah: “Kebanyakan tas saat itu desainnya sangat jelek dan bahannya tidak berkualitas, padahal harganya juga tidak murah.”
Kondisi lain yang dilihat Bruno adalah, “Banyak produk lokal mengaku (sebagai) produk impor asal Perancis. Mereka juga mengaku memiliki desainer orang Prancis yang langsung turun tangan membangun produk. Padahal semua itu tidak benar.”
Itu membuat Bruno bertekad memproduksi tas dengan desain menarik bergaya Prancis.
Meski diproduksi di Indonesia, merek "berbau" luar negeri tentu akan menarik bagi konsumen Indonesia. “Untuk memperkuat citra Prancis, saya sengaja menggunakan penggalan nama istri saya, Sophie Martin, yang memiliki asosiasi kuat ke kata Prancis,” aku Bruno.
“Merek dagang yang awalnya di bawah bendera PT. Nadja Sukses Utama (NSU) ini didirikan pada 1995. Bermodal 40 juta Rupiah, Bruno Hasson dan istrinya memulai usaha dari ruko berlantai tiga di Grand Wijaya Center, Jakarta,” tulis Satrio Wahono dan Kurniawan Abdullah dalam The Mantra Rahasia Sukses Berinovasi Jawara-Jawara Industri Dalam Negeri (2010). Mereka memulainya dengan 3 mesin jahit.
Semula, produk-produknya dijual di mal. Menurut Bruno, awalnya hasil penjualannya masih kecil. Sampai kemudian ada seorang perempuan yang datang dan ngotot ingin memasarkan produk Sophie Martin di Bandung. ”Saya tolak, tapi dia minta terus," cerita Bruno seperti dilansir dari Tempo (4/10/2010).
Setelah berkali-kali ditolak, Bruno akhirnya memberi kesempatan dan ternyata laris. Bruno pun tertarik pada sistem direct selling. “Michael Dell, pendiri Dell Computer, mengawali bisnis direct selling-nya setelah melihat IBM terlalu banyak memberikan margin kepada distributornya yang menyebabkan harga akhir komputer IBM menjadi mahal sekali,” tulis Bruno.
Bagi Bruno, Dell berusaha untuk membuat harga komputer terjangkau. Upaya ini begitu mempengaruhi Bruno, hingga dia berusaha membangun jaringan distribusi ala multi level marketing (MLM). Berkat itu, Bruno bahkan dianggap sebagai salah satu pelopor bisnis MLM Indonesia.
Anggota MLM Sophie Martin sendiri sudah tembus 1 juta anggota. “Mimpi terbesar saya untuk Sophie adalah untuk menjadi perusahaan direct-selling terbesar di Indonesia dan juga di ASEAN,” aku Bruno.
Awal-awal bisnis Sophie Martin diwarnai dengan pecahnya kerusuhan di Jakarta. Bruno tak mau terpengaruh. Laki-laki berdarah Mesir-Prancis ini tetap bertahan di Jakarta. Bisnisnya terus jalan meski pasar lesu. Setelah perekonomian Indonesia berjalan lagi, Sophie Martin mampu bersaing di pasaran Indonesia.
Sophie Martin lalu berkembang. Ada konsep yang disebut Sophie Paris. Pada 2009, Sophie Martin bahkan punya perwakilan di Casablanca, Maroko dan 2010 di Vietnam. Tak hanya tas yang belakangan diproduksi, tapi juga parfum dan kosmetik. Pabrik parfum dan kosmetiknya berada di Ciamis, Jawa Barat. Kantor pusat Sophie Martin Paris sendiri berada di Jakarta, bukan Prancis.
Jadi, jangan salah kaprah lagi ya, dengan asal usul produk tas ini.
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Yemima Lintang