Menuju konten utama

Soeharto Panutan Demokrasi? Tidak. Demokrasi adalah Musuh Soeharto

Anak-anak Soeharto rajin mengelap-elap kejayaan Orba. Padahal rezim ayah mereka adalah tiga dekade paling buruk bagi demokrasi.

Soeharto Panutan Demokrasi? Tidak. Demokrasi adalah Musuh Soeharto
Soeharto dan Tutut, 21 Mei 1998. AP / Charles Dharapak

tirto.id - Dalam laporan South China Morning Post(SCMP) edisi 16 Juni 2019, dua orang putri Soeharto—Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut dan Siti Hediati Haryadi atau Titiek—berbicara soal demokrasi kiwari dan membandingkannya dengan sistem demokrasi era Orde Baru yang dipimpin ayah mereka.

SCMP mengutip akun twitter Tutut, @TututSoeharto49, yang materi cuitannya sebetulnya diambil dari laman pribadinya. Anak pertama Soeharto itu menceritakan nasihat sang bapak ihwal demokrasi.

“Yang dinamakan demokrasi itu, bukan sekadar kebebasan mengeluarkan pendapat, dan bukan sekadar kebebasan berbuat. Demokrasi yang sehat memerlukan sikap mental yang dewasa dan rasa tanggung jawab yang besar di dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa campur tangan asing,” tulis Tutut mengutip ayahnya.

Soeharto menjabarkan campur tangan asing berupa Demokrasi Liberal tidak boleh menggantikan Demokrasi Pancasila, yakni demokrasi yang menurutnya, "menghargai pendapat orang lain".

Sementara Titiek mengatakan Pemilu 2019 lebih buruk daripada sejumlah pemilu selama ayahnya berkuasa. Menurutnya, pemilu kali ini penuh dengan kecurangan yang lebih parah daripada zaman Orde Baru.

Igauan itu tentu ikhtiar panjang mereka dalam meraih simpati rakyat dengan cara membangunkan kembali nostalgia zaman Orde Baru, yang sebetulnya jauh panggang dari api. Alih-alih demokratis, Orde Baru justru dibangun dari tulang rusuk kecurangan di atas kecurangan yang berjalan terstruktur, sistematis, masif, dan brutal sepanjang tiga dekade lebih.

Terang jalan arsip sejarah untuk membantah segala igauan itu. Telah bejibun pula laporan-laporan tentang busuknya pemilu era Orde Baru. Namun selama klaim dan nyanyian kerinduan palsu itu terus menggema, kiranya patut untuk kembali membantahnya. Sekali lagi, lagi, dan lagi.

Mula Strategi untuk Legitimasi

Pemilu pertama era Orde Baru yang digelar pada 1971 diiringi sejumlah aksi pembenaman kekuatan politik sisa Orde Lama. Soeharto, lewat Operasi Khusus yang dipimpin Ali Moertopo, mengobrak-abrik Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) mencatat, meski kalangan anti-Sukarno di militer dan kelompok Islam menginginkan PNI dibubarkan, Soeharto masih mencemaskan apa yang ia sebut sebagai fanatisme Islam, sehingga ia menganggap PNI bisa menjadi penyeimbangnya. Karena itu Soeharto tidak melarang partai berlambang banteng tersebut, melainkan hanya membersihkannya.

“Dia (Soeharto) mengatur kongres PNI yang menurunkan kepemimpinan orang-orang Sukarnois di bawah Ali Sastroamidjojo,” tulis Ricklefs.

Sedangkan suara Islam modernis yang menghendaki kembali ke gelanggang politik setelah Masyumi dibubarkan ditampung lewat pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang dikontrol ketat oleh pemerintah.

“Walaupun perwujudan Parmusi untuk menampung eks-Masjumi, namun rezim tetap saja melarang aktivis eks-Masjumi duduk dalam kepengurusan Parmusi. Bahkan untuk kepemimpinan partai dan kepengurusannya, rezim dapat memasukkan dan mengeluarkan orang-orang yang dikehendaki penguasa,” tulis Tohir Bawazir dalam Jalan Tengah Demokrasi: antara Fundamentalisme dan Sekularisme (2015).

Hasilnya Parmusi hanya meraih suara di bawah 10 persen. Jauh dari raihan suara Masyumi pada Pemilu 1955. Suara PNI pun tak jauh berbeda. Mereka tak mampu mengulang kejayaan para pendahulunya yang memenangkan Pemilu 1955.

Meski dua partai sisa Orde Lama itu masuk empat besar pada Pemilu 1971, suara mereka tak sepadan dengan raihan suara Golkar yang melambung di atas 60 persen. Bahkan mereka tertinggal jauh dari suara NU yang hampir mencapai 20 persen. Ketakutan Orde Baru terhadap kekuatan politik lawas sementara teratasi.

Lebih dari itu, hasil Pemilu 1971, sebagai pemilu pertama era Orde Baru, merupakan keberhasilan rezim dalam membangun citra bahwa Soeharto adalah penguasa yang dipilih rakyat secara demokratis dan karenanya memiliki legitimasi.

“Legitimasi Pemilu 1971 adalah modal penting bagi awal kekuasaan Orde Baru yang langgeng,” tulis Muridan S. Widjojo dalam Bahasa Negara versus Bahasa Gerakan (2004).

Namun hal itu rupanya belum cukup. Orde Baru masih khawatir dengan keberadaan banyak partai yang bagi mereka adalah ancaman stabilitas politik. Maka pada 1973, lewat MPR yang hampir seluruhnya dikuasai Golkar, dikeluarkanlah GBHN tentang pentingnya pengelompokan organisasi peserta pemilu alias fusi atau peleburan.

Partai-partai berhaluan Islam, yakni NU, Parmusi, PSII, dan Perti, dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara partai nasionalis beserta partai agama non-Islam, yakni PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik, digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Peleburan itu membuat wajah partai politik Indonesia menjadi sederhana, karena itu lebih mudah dikontrol penguasa. Maka pada pemilu berikutnya, yakni tahun 1977, Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto tak menemui rintangan berarti. Mereka kembali memenangi pemilu secara telak.

“Kebijakan” Lanjutan demi Langgeng Kuasa

Setelah berhasil mengatasi ancaman kekuatan Orde Lama dan mengerdilkan partai politik yang tersisa, Soeharto agak bernapas lega dan ingin berpesta. Maka menjelang Pemilu 1982, ia menggulirkan istilah “pesta demokrasi”.

Di hadapan para gubernur, bupati, dan walikota se-Indonesia pada Februari 1981, Soeharto berkata dengan amat jatmika namun mematikan: “Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam.”

“Pesta Demokrasi” itu memang menjadi pesta bagi Golkar. Pada Pemilu 1982 dan 1987, kendaraan politik Soeharto itu lagi-lagi tak terkalahkan dengan sejumlah kecurangan yang begitu telanjang.

Dalam catatan Ricklefs, sejak Pemilu 1971, Orde Baru lewat Ali Moertopo, Amir Mahmud (Menteri Dalam Negeri), dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menyaring kandidat semua partai dan mendiskualifikasi sekitar 20 persen.

“Para perwira militer dan pejabat-pejabat yang turun ke desa diwajibkan menarik suara [untuk Golkar] dalam jumlah yang sudah ditentukan. Intimidasi disebarluaskan,” imbuh Ricklefs.

Infografik Soeharto Musuh Demokrasi

Infografik Soeharto Musuh Demokrasi. tirto.id/Nadya

Mobilisasi militer dan birokrat kemudian diperkuat dengan penyusunan undang-undang pemilu dan kepartaian yang sepenuhnya menguntungkan Golkar. Salah satu yang paling mencolok, sebagaimana dicatat dalam Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003) suntingan Muhamad Hisyam, adalah pelarangan pembentukan cabang-cabang partai di bawah tingkat provinsi. Padahal Golkar secara permanen ada dalam birokrasi. Artinya, di level wilayah adiministratif yang lebih kecil dari provinsi, Golkar sangat leluasa melakukan kerja-kerja politik tanpa gangguan dari para pesaingnya.

Selain itu, pada Pemilu 1987, masa kampanye yang sebelumnya 45 hari dibatasi menjadi hanya 25 hari. Mobilisasi massa dan komunikasi partai dengan simpatisannya jelas menjadi semakin sempit.

“[Pemerintah] juga melarang kampanye yang mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah dan memberikan kekuasaan badan-badan pemerintahan lokal pro-Golkar yang dapat digunakan sesukanya atas izin pertemuan kampanye dan rapat umum,” imbuh Hisyam.

Dengan kontrol penuh terhadap hampir semua sumber daya politik, tak heran bahwa kemenangan Golkar pada setiap pemilu sepasti matahari terbit dari ufuk timur. Bahkan pada dua pemilu terakhir menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sejumlah kecurangan membuat Golkar menang sangat mutlak.

Demokrasi seperti inilah yang disebut Soeharto sebagai Demokrasi Pancasila yang “memerlukan sikap mental yang dewasa dan rasa tanggung jawab yang besar, serta menghargai pendapat orang lain.”

Dan itulah enam kali pemilu dalam tiga dasawarsa yang sesak oleh kecurangan di atas kecurangan, yang kata Titiek tak lebih buruk dari Pemilu 2019. Padahal, sejatinya, demokrasi adalah musuh daripada Soeharto.

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Politik
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan