Menuju konten utama
4 Desember 2011

Socrates, Pesepakbola yang Mengubah Sejarah Demokrasi Brasil

Socrates adalah pesepakbola par excellence. Ia juga seorang dokter, intelektual publik, sekaligus aktivis pro-demokrasi.

Socrates, Pesepakbola yang Mengubah Sejarah Demokrasi Brasil
Socrates dalam seragam timnas Brasil. trito.id/Sabit

tirto.id - Di atas lapangan, Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira adalah gelandang tangguh yang visioner. Di luar lapangan, ia menjelma jadi seseorang yang sulit disukai pelatih manapun: pemabuk, perokok berat, intelektual kelas kakap yang punya opini kokoh. Dan untuk membuat semuanya terasa makin buruk: opininya cenderung “kekiri-kirian”. Namanya punya tempat tersendiri dalam sejarah sepakbola Brasil.

Lahir di kota Belem, gerbang untuk menuju Sungai Amazon, Brasil, pada 19 Februari 1954, Socrates adalah anak pertama dari pasangan Raimundo dan Guiomar Vieira. Ketika usianya enam, Socrates sekeluarga pindah ke daerah Ribeirão Preto di Sao Paulo karena sang ayah mendapat pekerjaan bonafide sebagai pengawas pajak. Dengan status dan kemapanan keluarganya, Socrates pun dapat didaftarkan ke sekolah terbaik di daerah tersebut.

Dengan kemapanan ekonomi itu pula Socrates kecil sudah melahap bacaan bergizi melalui buku-buku dari perpustakaan sang ayah. Namun, hanya sebentar saja ia dapat menikmatinya. Pada 31 Maret 1964, ketika usia Socrates 10 tahun, terjadi coup d’etat militer di Brasil yang menjatuhkan presiden Joao Goulart. Kejadian ini juga turut berpengaruh terhadap kehidupan sang ayah.

“Tahun 1964, saya melihat ayah merobek banyak buku karena terjadi kudeta. Saya kira itu adalah hal yang tidak masuk akal, sebab perpustakaan tersebut adalah hal yang paling disayanginya. Ketika itulah saya sadar telah terjadi sesuatu yang tidak beres. Tapi saya baru memahaminya di kemudian hari, ketika kuliah,” kenang Socrates.

Besar dalam kehidupan sosial di bawah represi militer kelak membentuk watak Socrates. Tak hanya ketika menjadi pesepakbola, tetapi juga dalam kehidupan sehari-harinya sebagai seorang manusia.

“Menang atau Kalah, tapi Selalu Lewat Demokrasi”

Dari sekian banyak ritual klasik dalam tradisi sepakbola Brasil, ada satu yang paling tidak disukai Socrates: concentraçao.

Concentraçao (yang dalam bahasa Indonesia berarti konsentrasi) adalah sebuah ritual yang mengharuskan atlet untuk menghabiskan malam sebelum pertandingan di hotel dengan anggota tim lainnya. Praktik ini dimaksudkan agar selain skuat dapat bersantai, mereka juga bisa fokus ke pertandingan. Persoalannya, Socrates bukan orang yang suka diatur. Ia memiliki aturannya tersendiri.

“Dia ingin berada di rumah pada hari Jumat atau Sabtu malam sambil menikmati birnya,” ujar Raimundo, salah seorang legenda Brasil lain yang juga merupakan adik kandung Socrates.

Kendati demikian, sang kakak sejatinya bukanlah tipikal pembangkang aturan yang berakhir menjadi pesakitan. Dan sikap tersebut betul-betul ditunjukkan Socrates sepanjang hayat, terutama sepanjang ia memperkuat Corinthians (1978-1984). Di klub yang berdiri sejak 1910 tersebut, Socrates tidak hanya menjalani proses pendewasaan sebagai pesepakbola, tapi juga menempa diri sebagai intelektual pemberani.

Pada 1981, atau musim ketiga Socrates bermain di Corinthians, klub tersebut memilih seorang direktur teknik yang baru. Salah satu program dari direktur baru tersebut adalah menanyakan pendapat seluruh skuat mengenai cara pengelolaan klub.

Socrates, yang sejak awal bermain selalu menekankan pentingnya beradu argumen dan berdiskusi untuk membahas dan menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan para pemain, memanfaatkan situasi tersebut untuk mengemukakan gagasannya mengenai demokratisasi klub. Pihak klub mulai mendengarkan masukan Socrates mengenai jam latihan, makan siang, makan malam, bahkan hingga aturan merokok dan minum alkohol.

Upaya Socrates berhasil. Bersama tiga rekannya, Wladimir, Walter Casagrande, Zenon Farias, mereka sepakat untuk berusaha mengubah kultur klub menjadi lebih demokratis. Kesepakatan ini makin kuat karena disetujui Presiden Corinthians kala itu, Waldemar Pires. Hasilnya pun sepadan: Corinthians sukses merengkuh gelar juara Liga Brasil dua musim berturut-turut: 1982 dan 1983.

"Kami mulai mendiskusikan berbagai macam hal dan itu menciptakan suasana yang benar-benar bersahabat. Masing-masing dari kami mulai memberikan pendapatnya dan mengungkapkan perasaannya. Pada dasarnya, tujuan kami adalah untuk mendemokrasikan ekspresi. Semuanya perlu didiskusikan,” ujar Socrates dalam serial "Football Rebels" yang ditayangkan Reuters.

Mengawinkan aksi (atau tendensi) politik dengan sepakbola sebetulnya bukan hal yang luar biasa. Di Italia, ada dua pemain ternama yang secara terang-terangan menunjukkan ideologi mereka: Cristiano Lucarelli (komunis) dan Paolo di Canio (Fasis). Di tataran klub, suporter St. Pauli dengan terang melabeli diri mereka sebagai anarkis. Di Inggris, klub “punk” bernama FC United of Manchester di Inggris didirikan untuk menandingi Manchester United yang kelewat kapitalistik. Sementara di Israel ada Beitar Jerusalem, “klub paling rasis di dunia”.

Aksi politik Socrates bersama rekan-rekannya menjadi spesial karena dalam sejarah, tidak ada gerakan perlawanan dari sepakbola yang bisa masif, rapi, ideologis, dan terstruktur seperti di Corinthians. "Corinthians Democracy" bukanlah jenis perlawanan reaktif sepukul-dua-pukul, melainkan hasil dari diskusi panjang dan bernas dari setiap pihak dalam sebuah institusi. Ia adalah cerminan dari suatu demokrasi yang sehat.

Gagasan Socrates juga kelak tidak hanya sukses menghadirkan iklim demokratis internal klub, tapi turut memengaruhi Corinthians secara institusi untuk untuk ambil bagian dalam gerakan perlawanan menentang rezim diktator militer Brasil. Sejak itulah kemudian dikenal istilah "Democracia Corinthiana" atau “Corinthians Democracy”.

Salah satu bentuk aksi Corinthians adalah mengenakan jersey bertuliskan “Democracia” di bagian belakang, persis di atas nomor punggung, sepanjang musim 1982. Di lain kesempatan, jersey tersebut dituliskan “Dia 15 Vote”: sebuah seruan pada rakyat Brasil untuk hadir dalam pemilihan umum multipartai pertama sejak kudeta militer pada 1964.

Dalam sebuah wawancara dengan media lokal Brasil kala itu, Wladimir mengungkapkan mengenai hal tersebut: "Penting bagi kami untuk membawa para pemilih ke tempat pemungutan suara agar mereka dapat berkontribusi dalam menentukan kesejahteraan Brasil."

Jersey tersebut pertama kali digunakan Corinthians pada final Piala Paulista tahun 1983 kontra Sao Paulo. Saat masuk ke lapangan, para pemain Corinthians juga membawa spanduk bertuliskan: “Ganhar ou perder, mas sempre com democracia".

Artinya: “Menang atau Kalah, tapi Selalu Lewat Demokrasi”.

“Saya di Sini untuk Membaca Antonio Gramsci”

Gerakan “Corinthians Democracy”, yang kemudian mengajukan amandemen konstitusi untuk pemilihan langsung (juga dikenal dengan sebutan Amandemen Konstitusi Dante de Oliveira), pada akhirnya mengalami kegagalan setelah kalah dalam pemungutan suara di DPR. Brasil pun harus menunggu hingga 1989 agar bisa melakukan pemilihan umum langsung.

Socrates kecewa betul. Ia pun memilih hijrah ke Italia setelah mendapat tawaran dari Fiorentina. Namun demikian, watak intelektual Socrates bukannya pula ikut sirna. Di sana ia justru banyak belajar tentang kebudayaan, sejarah, dan pemikiran Italia. Hingga titik tertentu, ia mempersetankan para pemain bintang Italia kala itu seperti (Sandro) Mazzola atau (Gianni) Rivera.

"Saya tidak kenal mereka. Saya di sini untuk membaca dan mempelajari [buku-buku] Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus untuk sejarah pergerakan buruh," demikian kutipan Socrates seperti dilansir Calcio Mercato.

Antonio Gramsci adalah filsuf Marxis dan ahli sejarah yang dikenal terutama berkat pemikirannya mengenai teori hegemoni yang ditulisnya selama dipenjara. Bagi seorang yang mempelajari Gramsci, tentu tidak sulit untuk memahami bagaimana sepakbola amat mudah digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.

Persoalannya, secara permainan rupanya Socrates rupanya tidak klop dengan cara Italia. Transfernya pun kelak dikenang sebagai salah satu transfer terburuk dalam sejarah liga tersebut. Orang Italia menganggap sepakbola sebagai sesuatu yang rumit sekaligus bertendensi pragmatis: menang. Sementara Socrates adalah seorang libertarian yang menganggap sepakbola sebagai salah satu alat untuk bersenang-senang. Pada titik inilah ia bertubrukan dengan kultur sepakbola Italia yang memang dikenal amat sulit, metodis, dan keras.

Salah seorang rekan Socrates di Fiorentina, Celeste Pin, mengungkapkan: "Sepakbola menyenangkan baginya. Kami pikir itu aneh. Mungkin itu terjadi ketika Anda masih kecil, tetapi tidak ketika Anda sudah menjadi seorang profesional."

Infografik Mozaik Socrates dan Demokrasi

Alhasil, Socrates pun kembali ke Brasil dan sempat memperkuat beberapa klub seperti Flamengo, Santos, dan Botafogo. Pada 2004. ketika usianya 50, ia bahkan masih menandatangani kontrak dengan klub semi profesional di Inggris, Garforth Town, sebagai pemain. Debut Socrates terjadi pada 20 November 2004 saat Garforth berjumpa dengan Tadcaster Albion. Ia masuk di babak kedua dan bermain selama 12 menit.

Simon Clifford, pemilik Garforth, memberikan kesaksiannya kepada Guardian: “Dia bermain sebagai pemain pengganti di babak kedua saat melawan Tadcaster. Setelah itu saya putuskan untuk tidak memainkannya lagi di pertandingan berikut karena ia melakukan pemanasan dengan cara meminum dua botol Budweiser serta tiga batang rokok yang kami miliki di ruang ganti. Saya kira bukan ide yang baik baginya untuk terus bermain terlalu sering, meskipun, ya, dia masih antusias."

Socrates wafat pada 4 Desember 2011, tepat hari ini 7 tahun lalu, ketika usianya 57. Penyebabnya penyakit liver akut yang diakibatkan dari kebiasaannya mabuk-mabukan. Sesuatu yang tentu saja pernah ia bantah: “Itu semua, kan, cuma semantik. Siapapun harus melakukan apa yang menurut mereka menyenangkan. Saya enggak kecanduan alkohol, kok. Saya juga enggak butuh rokok, meski saya perokok. Itu semua pilihan personal.”

Ia meninggalkan enam orang anak, seorang istri, gelar dokter dari Sekolah Kedokteran Ribeirão Preto. Warisan Socrates yang paling berharga: demokrasi Brasil yang kemudian tercapai berkat perjuangannya.

Baca juga artikel terkait TIMNAS BRASIL atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Ivan Aulia Ahsan