Menuju konten utama

Beitar Trump Jerusalem & La Familia: Klub Sepakbola Paling Rasis

Melihat klub paling rasialis di dunia bercita-cita dan bekerja untuk menjaga kemurnian Israel.

Beitar Trump Jerusalem & La Familia: Klub Sepakbola Paling Rasis
Para penggemar Beitar Nordia Jerusalem mengangkat scarf tim mereka saat mereka bersorak dari tribun selama pertandingan di Teddy Stadium di Yerusalem, 29 Januari 2018. REUTERS / Ronen Zvulun

tirto.id - Ada klub sepakbola Israel yang para suporternya dengan tegas mengaku anti Arab dan membenci muslim. Jika manajemen klub mengontrak pemain yang memiliki keterkaitan dengan kedua hal tadi, dengan senang hati mereka melemparkan caci maki. Klub tersebut adalah Beitar Jerusalem dan grup supoter hardcore mereka dikenal dengan: La Familia.

Beitar Jerusalem mulanya merupakan klub untuk pemain muda yang didirikan pada 1936 oleh David Horn dan Shmuel Kirchstein. Horn sendiri adalah serdadu Betar Movement untuk menentang pendudukan Otoritas Inggris sebelum negara Israel didirikan. Sedangkan Betar Movement merupakan gerakan pemuda Revisionist Zionist yang didirikan Ze'ev Jabotinsky, reporter Ukraina keturunan Yahudi yang kemudian memilih menjadi militer zionis.

Pada medio 1930-an dan 1940-an, Betar menjadi organisasi yang terhitung aktif menyuarakan agar orang Yahudi kembali ke Palestina untuk mendirikan negara Israel. Namun begitu, afiliasi politik Beitar bersama Revisionist Zionist saat itu juga kerap menimbulkan konflik dengan Mapai, salah satu partai buruh di Israel yang kelak menjadi cikal bakal Partai Buruh Israel Modern.

Selain Betar Movement, Beitar juga memiliki hubungan dengan Irgun -- ormas paramiliter zionis yang berdiri sejak 1931-1948. Salah satu bekas striker Beitar, Haim Corfu, dulunya merupakan kombatan Irgun yang dikenal sebagai ahli peledakan. Keahlian tersebut kelak ia gunakan untuk membunuh Ralph Cairns dan Ronald Barker, dua polisi British Mandate yang bertugas menjaga daerah Yahudi di Palestina.

Beberapa pemain Beitar yang saat itu menjadi anggota Irgun kerap dicokok otoritas keamanan Inggris dan lalu dideportasi ke negara-negara di Afrika Timur seperti Sudan, Kenya, dan Eritrea. Namun pembuangan tidak membuat para eksil tersebut bungkam. Yang terjadi justru sebaliknya: mereka membentuk klub Beitar Eritrea FC di Eritrea.

Maraknya aktivitas politik yang terkait dengan Beitar membuat klub tersebut dicap sebagai organisasi ilegal oleh British Mandate pada 1947. Nama Beitar pun diubah menjadi Nordia Jerusalem. Barulah ketika Israel mendeklarasikan diri sebagai negara pada Mei 1948, nama Beitar Jerusalem kembali digunakan.

Hanya saja, dalam beberapa dekade sejak kemerdekaan Israel, Beitar tidak terdengar gaungnya. Hal tersebut dikarenakan parlemen dikuasai Partai Buruh dan Histradut (serikat buruh Israel) dan klub-klub yang berafiliasi dengan mereka adalah Hapoel dan Maccabi Tel Aviv. Adapun Beitar lebih condong ke partai Likud--partai sayap kanan di Israel.

Di Israel, hal lumrah klub sepakbola menjalin relasi atau bahkan menjadi representasi partai politik di lapangan hijau. Namun, bagi La Familia, semua ini bukan sekadar simbiosis mutualisme saja. Bukan pula soal menang atau kalah, meraih banyak gelar atau tidak.

Ada yang lebih penting dari itu semua: mewujudkan kemurnian etnis.

“Kami adalah Tim Paling Rasialis di Israel”

Dalam setiap seragam klub sepakbola sekarang, selalu terselip kalimat berbunyi: Stop Racism. Beitar pun tak terkecuali. Akan tetapi, bagi siapapun yang mengetahui bagaimana sikap ideologis La Familia, slogan itu lebih tampak sebagai humor kering yang sama sekali tak lucu.

La Familia sebetulnya baru berdiri pada 2005 lalu, tapi fondasi historis mereka sudah ada sejak lama. Tak ada rujukan pasti siapa figur utama yang mendirikan grup suporter garis keras ini. Pada 2008, David Goldblatt dari BBC pernah berupaya mencari tahu orang di balik La Familia. Ia pun datang ke Israel untuk menonton langsung laga antara Ahi Nazareth versus Beitar dan menemui pimpinan La Familia saat itu, Guy Israeli.

Profesi Israeli sehari-hari adalah seorang konsultan pajak. Tapi tiap akhir pekan ia bersalin rupa menjadi seorang propagandis sayap kanan paling militan di La Familia. Kepada Goldblatt, sebagaimana dikutip dari Football and Politics in The Holy City, Israeli menjelaskan mengapa menempuh jalan seperti itu.

“Israel adalah negara saya. Ketika saya melihat satu juta muslim beribadah di sini, membuat saya gugup. Bangsa Arab memiliki 10, 11 negara, kami hanya punya satu. Dan mereka masih pula menginginkan negara ini. Pemerintah selalu mengatakan sepakbola membentuk perdamaian. Tapi kami tidak ingin damai, kami ingin perang.”

La Familia dengan tegas menyebut Beitar sebagai "klub paling rasialis yang di Israel". Posisi ideologis mereka konkrit belaka: anti Arab dan anti muslim. Semua kebencian itu dituangkan dalam beberapa chant favorit mereka yang provokatif, dari memaki bangsa Arab hingga mengata-ngatai Nabi Muhammad SAW.

Para anggota La Familia percaya keberadaan mereka adalah menjaga kemurnian Beitar dari pemain non-Israel -- SEPERTI slogan mereka: ‘Forever Pure’. Maka ketika pada Januari 2013 manajemen Beitar memutuskan merekrut dua pesepakbola Muslim asal Chechnya, Dzhabrail Kadiyev dan Zaur Sadayev, La Familia pun mengamuk.

Teror pertama muncul di pagi hari, 8 Februari 2013. Setelah melompati pagar baja setinggi 10 kaki, dua orang anggota La Familia, Evyatar Yosef dan Matan Navon, langsung merangsek menuju salah satu ruangan di perkantoran Beitar. Dengan ganas mereka menghancurkan beberapa jendela, menerobos masuk, lalu mengguyur bensin di segala sisi ruangan. Berselang detik setelahnya, api dinyalakan, dan blar! Semuanya ludes terbakar.

Ruangan tersebut kemudian diketahui milik salah satu pengawas klub, Meir Harush. Sepanjang 20 tahun ia telah menyulap ruangannya sebagai museum tak resmi Beitar. Di dalam ruangan tersebut ia menyimpan berbagai pernak pernik bersejarah Beitar seperti jersey para legenda klub hingga replika trofi.

Asisten pelatih Beitar, Jan Talesnikov, mengutuk habis teror tersebut. Ia mengatakan: “Sekarang mereka membakar gedung, esok bisa jadi mereka membakar orang.”

Betapa sudah kelewatannya teror tersebut sampai-sampai bekas Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang juga dikenal sebagai salah seorang suporter Beitar yang cukup vokal, ikut merasa geram.

"Kami tidak dapat menerima sikap rasialisme seperti itu. Orang-orang Yahudi, yang selama ini menderita akibat boikot dan pengucilan, mestinya harus menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain," katanya seperti tertuang dalam tulisan Armos Barshad yang berjudul How Soccer Explain Israel.

Untuk beberapa saat setelah berbagai kecaman datang, teror memang berhenti. Tetapi sikap Beitar yang mendatangkan Kadiyev dan Sadayev tetap tak tak dapat diterima La Familia. Nyaris di tiap pertandingan, bahkan pula sejak latihan, mereka selalu mendapat ancaman dari La Familia.

Ketika Sadayev kemudian mencetak gol pertamanya untuk Beitar kala melawan Maccabi Netanya, 3 Maret 2013, anggota La Familia justru meninggalkan stadion Teddy.

Daftar Ulah La Familia

Perekrutan pemain muslim sebetulnya juga pernah dilakukan Beitar pada 2005 dengan mendatangkan Ibrahim Nadallah dari Nigeria. Namun tak sampai setengah musim, Nadallah memutuskan untuk mengundurkan diri dari klub karena tak tahan dengan serangan rasialis La Familia yang ditujukan kepadanya.

Adapun pemain Beitar lain yang juga sering mendapat cemoohan dari La Familia adalah Baruch Dego. Sebagaimana Nadallah, Dego juga orang Nigeria. Namun pada usia dua tahun ia diadopsi oleh perempuan Israel. Nasib naas juga menimpa Toto Tamuz. Dalam laga antara Beitar dengan Hapoel Tel Aviv, Tamuz berkali-kali diteriaki rombongan La Familia: “Berikan Toto pisang!”.

Pada dasarnya, prinsip menjaga kemurnian etnis dalam sebuah klub sebetulnya bukan hanya dilakukan Beitar. Athletic Bilbao, misalnya, juga selalu berusaha menggunakan pemain asli Basque daripada pemain luar. Hal yang sama juga dilakukan JS Kabylie, sebuah klub sepakbola di Algeria yang didirikan untuk menghimpun orang-orang Berber.

Namun La Familia dengan sadar memilih jadi ekstrimis dan mewujudkan kemurnian ras sebagai harga mati. Bahkan demi tercapainya cita-cita tersebut, mereka tidak menyempitkan perjuangan lewat jalan sepakbola saja. Tak sekali dua anggota La Familia pernah ditangkap akibat sikap rasialis mereka di luar stadion.

  • Maret 2011: 20 suporter Beitar kedapatan merusak mobil milik suporter Hapoel Tel Aviv. Ketika si pemilik tiba, mereka juga memukulinya dengan berbagai peralatan seperti tongkat, linggis, batu, balok.
  • Maret 2012: Ratusan anggota La Familia membuat onar di dalam Malha Mall sambil menyanyikan lagu-lagu anti Arab.
  • Oktober 2013: salah seorang suporter Beitar, Avi Elkayam, ditangkap karena terbukti melakukan penyerangan terhadap tiga orang keturunan Arab yang merupakan pegawai McDonalds di Jerusalem.
  • Juli 2014: enam orang anggota La Familia ditahan karena terlibat pembunuhan remaja Palestina.
  • Agustus 2016: 19 anggota La Familia ditangkap karena percobaan pembunuhan terhadap suporter rival yang muslim.

infografik beitar jerusalem

Ada kisah lain untuk mengetahui betapa absurd perangai La Familia sebagai suatu grup suporter garis keras. Suatu hari, ketika Beitar tengah melakoni laga kandang, La Familia kembali meneriakkan cemoohan kepada Sadayev:

“Sadayev, pergi saja kamu ke Al-Aqsa! Apa-apaan, ada pemain Arab di tim kami!”

Olok-olok tersebut menunjukkan bahwa La Familia bukan saja rasialis, tetapi lebih buruk lagi: mereka tak peduli dengan fakta yang ada. Perlu saudara-saudara ketahui, Sadayev, sebagaimana Kadiyev, memang muslim, tapi mereka jelas bukan orang Arab.

Pencapaian Terbaru La Familia: Beitar “Trump” Jerusalem

Seberapa berpengaruh La Familia bagi Beitar?

Dalam liputan Vice berjudul ‘La Familia, The Hate Group That Influences One of Israel's Top Soccer Teams’, jurnalis olahraga Israel, Ouriel Daskal, mencoba menjawabnya: “La Familia sebetulnya tidak terlalu penting untuk Beitar, tetapi mereka dapat menentukan siapa yang akan menjalani klub dengan tenang dan siapa yang akan mendapat kesulitan.”

Daskal menambahkan: “Mantan chairman Beitar, Itizk Korenfein, berusaha untuk melawan La Familia dan ia kalah. Eli Tabib, pemiliki Beitar saat ini, lebih ‘cerdas’. Tabib bekerja sama dengan La Familia, namun pada dasarnya, ia membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau.”

Melihat fakta yang terjadi, Daskal sepertinya tak sembarangan bicara. Sudah berkali-kali Beitar mendapat hukuman karena sikap rasialis La Familia, tetapi nyaris tak ada perubahan yang berarti.

Pada Desember 2007, ketika Beitar bertanding melawan Bnei Sakhnin (satu-satunya klub di Israel yang mayoritas skuatnya diisi orang-orang Arab-Palestina) dalam partai semifinal Piala Toto, La Familia meneriakan yel-yel yang mengejek Nabi Muhammad.

Asosiasi Sepakbola Israel (IFA) kemudian menghukum Beitar bertanding tanpa penonton di laga selanjutnya. Namun La Familia yang tak terima hukuman tersebut segera melakukan pembalasan: mencoret-coret gedung IFA dan mengancam mati ketua IFA saat itu, Avi Luzon.

Salah satu hukuman terburuk yang pernah diterima Beitar terjadi pada Mei 2015. Kala itu, Beitar tengah melakoni laga kandang kontra Hapoel Kiryat Shmona yang diperkuat pemain keturunan Israel-Arab, Ahmad Abed. Para anggota La Familia yang mengetahui hal tersebut tentu saja langsung bersikap seperti yang sudah-sudah: melontarkan caci maki kepada pemain yang berposisi sebagai gelandang tersebut.

Pasca laga, Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA) memberi hukuman telak untuk Beitar: dilarang memainkan laga kandang selama tiga bulan. Ironisnya, setelah menjalani hukuman tersebut, Beitar kembali berlaga melawan Shmona di kandang sendiri. Tebak apa yang terjadi? La Familia tetap menyerang Abed dengan cara yang sama.

Bagi Daskal, jika sikap semacam ini masih terus berlanjut, bukan hanya Beitar dan La Familia yang wajib kena hukuman, tetapi juga Asosiasi Sepakbola Israel. “FIFA dan UEFA harus menghukum mereka, termasuk Asosiasi Sepak Bola Israel, sampai Beitar segera menendang keluar para suporter rasialis itu."

Beberapa hari lalu, setelah Amerika Serikat secara resmi mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel dan akan memindahkan kedutaan besar mereka kesana, Beitar kembali membuat kontroversi. Dalam laman ofisial mereka di Facebook, Beitar mengumumkan akan mengganti nama klub menjadi Beitar Trump Jerusalem sebagai bentuk penghormatan kepada presiden AS tersebut.

Berikut isi pernyataan Beitar:

“Selama 70 tahun Jerusalem telah menunggu pengakuan dunia internasional, hingga kemudian presiden Donald Trump, dengan langkah berani, mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Presiden Trump telah menunjukkan keberanian, cinta sejati, kepada orang-orang Israel dan ibukota mereka, dan sejak hari ini negara-negara lain akan mengikuti langkahnya untuk mengakui status Jerusalem yang sah.

Beitar Jerusalem sebagai salah satu simbol Jerusalem, merasa terhormat atas cinta dan dukungan Trump. Atas sejarah yang telah ia buat, pemilik klub, Eli Tabib, dan chairman Eli Ohana, telah memutuskan menambahkan nama presiden ke dalam nama klub. Mulai sekarang, nama kami menjadi Beitar Trump Jerusalem.”

Baca juga artikel terkait RASIALISME atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Reporter: Eddward S Kennedy
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Eddward S Kennedy