tirto.id - Amerika Serikat (AS) saat itu masih berumur 39 tahun saat Perang Napoleon yang berkobar di daratan Eropa berakhir pada 1815. Napoleon kalah dan mimpinya membangun Imperium Eropa kandas.
Spanyol sebagai salah satu koalisi imperium yang bertarung melawan Napoleon cukup menderita keterpurukan akibat perang tersebut. Kondisi ini membawa angin segar di daratan Amerika Latin yang dikoloni Spanyol sejak akhir abad ke-15.
Gerakan kemerdekaan di wilayah Amerika Latin bersemi. Pada periode 1820-an, banyak bermunculan negara-negara baru bekas koloni Spanyol seperti Meksiko, Argentina, Chili, Venezuela dan lainnya, juga kemerdekaan Brazil dari Portugal.
Namun, situasi di Eropa berbeda. Pasca kekalahan Napoleon, kekaisaran besar Prusia, Rusia dan Austria membentuk aliansi bernama Holy Alliance (Persekutuan Suci).
Edward Renehan dalam The Monroe Doctrine: The Cornerstone of American Foreign Policy (2007) menyebut, tujuan pembentukan Holy Alliance untuk mengembalikan kekuatan monarki di Eropa yang sempat rapuh karena penyerangan dan upaya peleburan yang dilakukan Napoleon. Mereka sepakat untuk memadamkan segala bentuk revolusi yang mengancam upaya restorasi monarki di Eropa.
Usaha Holy Alliance berbuah hasil seperti mengembalikan kekuasaan Raja Ferdinand VII atas Spanyol, menumpas pemberontakan di Italia, mengembalikan kekuasaan monarki Bourbon di Perancis dan secara luas berdampak pada kembalinya kekuatan monarki lainnya di Eropa.
Pelindung Benua Amerika
AS yang sedang membangun reputasi sebagai negara independen melihat gerakan kemerdekaan di Amerika Latin adalah momentum persatuan untuk bersama-sama lepas dari cengkeraman Eropa.
Melihat langkah Holy Alliance, AS mulanya tak begitu khawatir. Namun, saat aliansi tersebut merencanakan ingin mengembalikan wilayah Amerika Latin ke tangan Spanyol juga Perancis, AS mulai cemas. AS juga was-was dengan langkah Rusia yang melebarkan sayap teritorialnya ke pantai barat laut Amerika Utara.
Inggris yang tidak ikut tergabung dalam Holy Alliance turut merasa terancam jika Spanyol kembali menguasai Amerika Latin. Sebabnya, Inggris khawatir aktivitas perdagangannya di Amerika Latin bakal terganggu jika Spanyol kembali berkuasa di wilayah tersebut.
Dikutip dari Encyclopaedia Britannica, Menteri Luar Negeri Inggris George Canning kemudian mengusulkan deklarasi bersama AS-Inggris yang akan melarang aksi intervensi di Amerika terutama oleh Perancis dan Spanyol.
James Monroe Presiden AS kelima kala itu, beserta mantan presiden dan mantan Presiden James Madison dan Thomas Jefferson setuju dengan gagasan Canning. Namun, Menteri Luar Negeri AS John Quincy Adams di depan pertemuan kabinet AS pada 7 November 1823 tegas menentang usulan Canning. Adams berpendapat AS harus mengeluarkan kebijakan sendiri ketimbang harus berkoalisi dengan Inggris.
Usaha Adams tidak sia-sia. Ia berhasil meyakinkan kabinet untuk mengeluarkan kebijakan independen yang ia inginkan. Dalam sebuah catatan harian Adams, ia menginginkan bahwa AS sungguh-sungguh memprotes campur tangan kekuatan Eropa di Amerika Latin. Sebaliknya, AS juga tidak akan ikut campur urusan di Eropa.
Pada 2 Desember 1823, amanat Adams dibawakan oleh James Monroe saat kongres tahunan yang kemudian dikenal sebagai Doktrin Monroe sebagai sebuah produk kebijakan luar negeri AS.
Isi dari Doktrin Monroe tak jauh dari pemikiran Adams. Ada empat prinsip dasar. Dua yang pertama isinya janji AS bahwa mereka tidak akan ikut campur dalam urusan negara-negara Eropa, baik itu perang atau politik internal. AS tidak akan mengganggu perusahaan-perusahaan kolonial Eropa yang masih ada. Sebagai gantinya, Belahan Bumi Barat (Amerika) tidak lagi terbuka untuk dikolonisasi oleh Eropa. Setiap upaya dari kekuatan Eropa untuk menjajah wilayah Belahan Barat akan dipahami AS sebagai tindakan agresi.
Doktrin Monroe dipandang oleh Amerika Latin sebagai bentuk dukungan atas kemerdekaan lepas dari pengaruh Eropa. Namun, meski melarang kekuatan Eropa untuk kembali menyambangi benua Amerika, saat itu AS sebenarnya tidak punya kekuatan militer untuk menegakkan Doktrin Monroe. Mereka masih menggantungkan kekuatan armada Angkatan Laut Inggris untuk melindungi Amerika Latin. Alhasil, selama hamper 30 tahun, kebijakan Monroe itu tidak begitu dianggap penting oleh Eropa.
Saat Inggris menduduki Kepulauan Falkland di ujung selatan Amerika Latin pada 1833, AS tidak berkutik menentang aksi tersebut. Begitu pulau dengan perambahan Inggris di beberapa kawasan Amerika Latin.
Di era Presiden James Knox Polk, ia pernah kembali menegaskan prinsip Doktrin Monroe ketika memperingatkan Inggris dan Spanyol pada 1845 dan 1848 untuk tidak membikin pangkalan di Oregon, California, dan Semenanjung Yucatán di Meksiko. Di akhir Perang Sipil (1861-1865) AS juga menekan Perancis agar mengakhiri intervensi di Meksiko.
Menjelma Menjadi Alat Penindasan
Seiring berjalannya waktu dan membesarnya kekuatan AS, interpretasi Doktrin Monroe menjadi semakin liar. Namun, sebenarnya ini tidak begitu mengejutkan manakala melihat maksud Adams yang mencetuskan Doktrin Monroe demi menyingkirkan Eropa dari Amerika Latin dan pada gilirannya memperlancar agenda ekspansionis AS atas Amerika Latin.
Dalam catatan Michigan State University, ketika Meksiko menolak pembelian tanah yang sekarang dikenal sebagai wilayah California, Oregon, New Mexico dan Southwest oleh Amerika Serikat, Presiden James Knox Polk mengerahkan militer ke Meksiko untuk memaksakan kehendak dan berujung Perang Meksiko – Amerika (1846 – 1848).
Doktrin Monroe juga bukanlah dokumen pertama yang menampilkan keinginan AS memiliki lebih banyak tanah. Pada 1803, AS melakukan pembelian tanah besar-besaran terhadap wilayah Louisiana seluas 828.000 mil persegi yang kemudian dikenal dengan istilah Pembelian Lousiana. Wilayah tersebut sebelumnya dikoloni oleh Perancis.
Pada 1904 Doktrin Monroe makin menjadi alat intervensi ketika Presiden Theodore Roosevelt menambahkan "Roosevelt Corollary" ke Doktrin Monroe. Itu mendefinisikan bahwa intervensi AS ke urusan dalam negeri Amerika Latin diperlukan demi menjaga keamanan nasional.
Dalam kacamata AS, mereka menginginkan negara-negara tetangga punya iklim politik yang stabil, tertib, sejahtera serta terus menjalin kerja sama. Walhasil, hal inilah yang dipakai untuk membenarkan intervensi AS di Kuba, Haiti, Nikaragua, Republik Dominika dan banyak lagi.
John Henry Coatsworth sejarawan Amerika Latin dari Columbia University merinci, dalam waktu kurang dari seratus tahun (1898 - 1994), pemerintah AS sudah melakukan intervensi setidaknya sebanyak 41 kali untuk mengubah arah kebijakan pemerintahan di Amerika Latin.
Dari 41 kasus, 17 di antaranya merupakan intervensi langsung, yang melibatkan kekuatan militer AS, agen intelijen, atau warga lokal yang dipekerjakan oleh lembaga pemerintahan AS. Dalam 24 kasus lainnya, pemerintah AS memainkan peran tidak langsung. Artinya, aktor lokal memainkan peran utama, tetapi tidak akan bertindak atau tidak akan berhasil tanpa dorongan dari pemerintah AS.
Ini belum termasuk upaya intervensi AS yang gagal ketika menggulingkan suatu pemerintahan di Amerika Latin dan kasus di mana AS bertindak melindungi rezim pemerintahan tertentu agar tidak digulingkan.
Tindakan AS mengintervensi banyak negara di Amerika Latin umumnya untuk kepentingan politik dan ekonomi. AS berperan penting dalam pendirian perusahaan monopolis The United Fruit Company (UFCO) yang menguasai lahan pertanian di wilayah Karibia dan berkongsi dengan penguasa lokal.
Demikian halnya dengan motif politik di mana sejak memasuki era Perang Dingin, Washington terus ikut campur dalam urusan penegakan pemerintahan anti-komunis di negara-negara Amerika Latin yang dapat mengganggu agenda AS, yang semula berawal dari Doktrin Monroe.
Editor: Suhendra