Menuju konten utama

Satu Dekade FPCI, Tanda Kemajuan Diplomasi Indonesia

Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) yang diinisiasi FPCI berhasil menjadi forum politik luar negeri terbesar di Asia-Pasifik.

Satu Dekade FPCI, Tanda Kemajuan Diplomasi Indonesia
Ketua FPCI, Dino Patti Djalal, dalam pidatonya di CIFP 2024, Jakarta, Sabtu (30/11). tirto.id/Shofiatunnisa Azizah

tirto.id - Sebagai peringatan sepuluh tahun berdiri, pembukaan Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2024 dipenuhi oleh kemeriahan merayakan panjang usia perjalanan diplomasi di Indonesia melalui Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

Ketua sekaligus Pendiri FPCI, Dino Patti Djalal, membuka kegiatan yang berlangsung di The Kasablanka Hall, Jakarta, pada Sabtu (30/11), dengan menarik kembali perjalanan FPCI pada awal berdirinya.

“Ketika saya masih bekerja dalam pemerintahan, saya selalu jauh dari grassroot entah bagaimana. Itu terjadi secara alami dalam lingkar pekerjaan ini,” tutur Dino dalam video pembukaan CIFP 2024.

Disparitas dalam politik luar negeri yang condong pada elitis, kata Dino, menjadi dorongan awal dirinya dan beberapa rekan bergandeng tangan untuk membangun FPCI sampai hari ini. Alhasil, FPCI tercatat tidak hanya menjadi forum politik luar negeri terbesar di Indonesia, melainkan berhasil melampaui Asia-Pasifik.

Dino mengatakan, keberhasilan ini tidak lepas dari inisiasi awal yang mengacu pemahaman atas akar rumput atau lapisan masyarakat yang mendasar. Karena inilah, Dino menyebut tolok ukur keberhasilan FPCI sampai hari ini tidak berangkat dari hal-hal besar nan megah, melainkan dampaknya terhadap yang kerap terabaikan.

“Setelah semua pencapaian ini, keberhasilan FPCI tidak diukur melalui seberapa besar organisasi atau program yang telah kita buat. Tolok ukur FPCI yang sebenarnya berangkat dari kemampuan kita untuk meledakkan kecintaan generasi muda di seluruh Indonesia terhadap politik luar negeri,” ungkap Dino, dalam pidatonya.

Meskipun begitu, FPCI sebagai forum yang melibatkan generasi muda sejatinya telah berhasil menorehkan banyak pencapaian. Salah satunya, Dino menyebut, FPCI sebelumnya sukses menggelar Global Town Hall yang diikuti lebih dari 24.000 peserta dari 130 negara.

Menurut Dino, hal ini tidak lantas menjadi penanda bahwa FPCI merupakan organisasi yang berorientasi pada skala besar. Dirinya menggarisbawahi posisi FPCI yang mengarah pada kekuatan dalam hubungan antarmasyarakat.

“FPCI dengan tegas memposisikan diri untuk menjadi kekuatan dalam hubungan antarmasyarakat,” ujarnya.

Atas landasan tersebut, Dino menambahkan, ambisi FPCI ke depannya adalah untuk menyelenggarakan konferensi berskala ASEAN, “Ambisi kita pada tahun berikutnya adalah untuk menyelenggarakan ASEAN People’s Convention, untuk membuat ASEAN dapat benar-benar dipandang (sebagai perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara) terpercaya,” jelasnya.

Dalam rencana ini, Dino menyebut FPCI mengharapkan dukungan Menteri Luar Negeri Sugiono yang hadir dalam kesempatan tersebut. Dino mengatakan, dengan tema besar “Can Middle Powers Calm the Storm and Fix the World?” yang diangkat pada perhelatan konferensi ini, langkah untuk melaksanakan konferensi kelas Asia Tenggara bisa menjadi salah satu upaya Indonesia.

Lebih lanjut menyoal konferensi yang diadakan hari ini, Dino menjelaskan pemilihan tema tersebut mengacu pada peranan Indonesia sebagai negara middle power untuk menjadi negara menengah dan negara penengah.

“Ini (tema) relevan karena seiring meningkatnya persaingan geopolitik, ketegangan meningkat, dan menciptakan hubungan yang stagnan dalam sistem dunia. Middle power memiliki lebih banyak kebebasan untuk menciptakan dan membentuk tatanan regional dan dunia,” jelas Dino.

Maka, Dino memberikan catatan sebelum perhelatan berbagai diskusi dalam konferensi pada hari ini. Dirinya menyampaikan, Indonesia harus menjadi ‘a pivotal middle power with dynamic alignments’.

Alasannya, kata Dino, pivotal middle power berarti mempunyai kekuatan seperti seluruh dunia, tetapi tidak sama. Dalam hal ini, Dino menekankan Indonesia berupaya menjadi pivotal middle power yang tidak marjinal atau berorientasi ke dalam, melainkan yang dinamis.

“Kekuatan pivotal yang dapat memberikan kepemimpinan yang berdampak, kenegarawanan, memobilisasi pihak lain untuk kebaikan bersama, memperkuat tatanan regional, dan memajukan agenda global,” tambahnya.

Selanjutnya, Dino menyebut ‘alignment’ yang menjadi kunci dalam penyelarasan kekuatan tersebut tidak berarti pada gerakan non-blok. Meskipun dalam padanan bahasa akan diterjemahkan non-blok, tetapi aliansi ini diralat menjadi tidak terlibat dalam aliansi militer apapun dengan tetap dinamis dalam selaras dengan negara-negara lainnya.

Mengambil contoh pendanaan iklim, negara tentunya disebut perlu berpihak pada negara-negara tertentu. Sementara itu, dalam melindungi kebebasan di lautan, diperlukan penyelarasan yang sama pada negara lainnya.

“Jadi, agar kita memiliki penyelarasan yang dinamis dan istilah yang keliru ini, yang dalam Bahasa Indonesia disebut non-blok, saya pikir akan menjadi kunci bagi kebijakan luar negeri yang berkembang dan bersemangat dalam tahun-tahun mendatang,” pungkasnya.

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis