tirto.id - Drama kecelakaan mobil yang melibatkan Setya Novanto, pada November 2017 mulai terungkap. Kesaksian dr Bimanesh Sutardjo di persidangan kasus dugaan merintangi upaya penyidikan KPK dalam korupsi e-KTP dengan terdakwa Fredrich Yunadi menguatkan dugaan skenario kecelakaan.
Bimanesh, yang juga terdakwa dalam kasus yang sama, mengaku ditelpon Fredrich bahwa Novanto akan masuk rumah sakit dengan skenario kecelakaan. “[...] Telepon, saya dengar suara terdakwa sendiri yang bicara, terdakwa mengatakan, 'dok, skenarionya kecelakaan',” kata Bimanesh saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Ketua KPK, Agus Rahardjo menilai, keterangan Bimanesh justru menjadi penguat komisi antirasuah tentang skenario dalam kecelakaan mobil Novanto. Menurut Agus, KPK pun akan menelusuri pihak-pihak yang terlibat dalam drama kecelakaan tersebut.
“Itu, kan, sebenarnya membenarkan sangkaan kami bahwa ada skenario. Itu sudah diatur. Dari situ nanti, ya, sangat terbuka kemungkinan siapa yang terlibat dalam skenario itu kami buka,” kata Agus, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Agus berkata, KPK tidak menutup kemungkinan memeriksa ulang pihak-pihak yang terlibat dalam kecelakaan itu. Menurut Agus, KPK akan menindaklanjuti semua yang terlibat, seperti Hilman Mattauch yang berperan sebagai sopir, hingga ajudan Novanto AKP Reza Pahlevi.
“Kemungkinan untuk membuka penyelidikan baru masih sangat terbuka,” kata Agus.
Dosen hukum pidana dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Miko Susanto Ginting mendukung upaya KPK memproses semua orang yang terlibat dalam skenario kecelakaan itu. Pria yang juga peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini bahkan mendorong agar hakim menjatuhkan vonis maksimal.
“Perlu dihukum, sesuai dengan level keterlibatannya. Penilaiannya kepada hakim. Saya yakin hakim mempertimbangkan semua fakta dengan arif,” kata Miko kepada Tirto, Minggu (22/4/2018).
Pengacara Fredrich, Bimanesh, dan Novanto Saling Bantah
Mujahidin, salah satu penasihat hukum Fredrich enggan menanggapi kemungkinan keterangan Bimanesh dapat memperberat vonis kliennya. “Yang bisa memperberat [hukuman] hakim, jaksa nuntut hakim mutus,” kata Muhajidin saat dihubungi Tirto.
Muhajidin berdalih, perkara Fredrich sendiri masih berjalan di pengadilan. Menurut dia, pemeriksaan saksi belum mencapai 50 persen dari total 42 saksi yang akan dihadirkan. Ia menilai, bisa saja pada persidangan berikutnya, ada saksi yang akan membuka siapa pelaku utama dari dugaan skenario tersebut.
“Bisa saja nanti tiba-tiba terbukti ada otak di balik itu. Bisa saja yang menjadi [aktor terjadinya] kecelakaan Hilman Mattauch, kita enggak tahu juga, atau Setya Novanto sendiri yang bikin kecelakaan atau AKP Reza, kita enggak tahu juga sementara ini,” kata Muhajidin.
Di saat yang sama, Muhajidin menegaskan, tim penasihat hukum masih mempertanyakan klaim Bimanesh tentang telepon pada sore hari. Mujahidin berkata, pihaknya masih menanyakan bukti otentik pernyataan ada skenario atau tidak dari telepon antara Bimanesh dan Fredrich.
“Kalau memang ada translate dari HP Bimanesh, kan, cuma ada jam sekian. Benar enggak? Paling di depan hakim, kan, gua lihat mana tulisannya? Enggak ada. Itu namanya tebak-tebak,” kata Muhajidin.
Mujahidin menambahkan, “jadi sementara ini, kami percaya sama klien dulu. Kalau bohong enggak-nya urusan lainlah. Tapi secara hukum, kan, harus dibuktikan itu.”
Sementara Wawan Adnan, penasihat hukum Bimanesh, keberatan bila kliennya dihukum berat akibat skenario kecelakaan Novanto. Meskipun berharap hukuman seringan-ringannya, Adnan tidak sepakat dengan pandangan bahwa Bimanesh bekerja sama dengan Fredrich.
Menurut Adnan, jika kliennya dituding berkerja sama, maka Bimanesh seharusnya mempunyai pandangan yang sama dengan Fredrich dalam merintangi penyidikan Novanto. “Syarat adanya kerja sama itu ada perencanaan bersama. Ini, kan, tidak pernah ada rencana bersama,” kata Adnan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat lalu.
Adnan mencontohkan, Fredrich menggunakan keterangan jangan dibesuk. Pernyataan itu, kata Adnan, justru digunakan Fredrich untuk melarang penyidik KPK. Padahal Bimanesh tidak bermaksud untuk menghalangi proses penyidikan.
Namun demikian, Adnan mengaku tidak mengetahui secara detail kisah skenario itu. Alasannya, kata dia, Bimanesh sendiri tidak mengetahui secara spesifik skenario Novanto masuk rumah sakit. Adnan pun enggan menanggapi bahwa perkara ini akan mengarah kepada Novanto.
“Saya enggak tahu Novanto. Saya fokus pada Fredrich,” kata Adnan.
Adnan berharap, keterangan soal skenario kecelakaan tidak hanya mengungkap pihak Novanto. Ia ingin agar keterangan skenario juga membuktikan kesalahan di lingkungan rumah sakit. Adnan melihat, ada mismanagement sehingga seharusnya ikut bertanggung jawab dalam merintangi penyidikan Novanto.
“Itu semua, kan, terlibat untuk terjadinya [kecelakaan] SN. Kok hanya dr Bima yang dimasukkan? Itulah yang harusnya diungkap keterlibatan rumah sakit,” kata Adnan.
Novanto sebagai Dalang Skenario Kecelakaan?
Aktivis antikorupsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting menilai keterangan Bimanesh menjadi celah bagi KPK untuk mengusut keterlibatan Novanto dalam skenario kecelakaan. Menurut Miko, meski kesaksian Bimanesh berkaitan dengan kasus Fredrich, tetapi tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh pada vonis Novanto dalam korupsi e-KTP.
“Bisa diperberat oleh hakim dengan dasar 'alasan yang memberatkan' yaitu alasan atau kondisi yang menurut penilaian hakim memperberat penjatuhan hukuman,” kata Miko.
Miko menerangkan, kasus yang menjerat Novanto dan Fredrich merupakan perkara yang saling berhubungan. Sebab Fredrich ditetapkan tersangka lantaran menghalang-halangi pemeriksaan Novanto dalam kasus korupsi e-KTP. Apalagi, kata Miko, perkara obstruction of justice adalah persoalan yang melekat pada sebuah tindak pidana.
“Tentu dengan prasyarat bahwa SN [Setya Novanto] juga memang terlibat dalam upaya penghalang-halangan itu. Penilaiannya nanti ada pada hakim,” kata Miko.
Dalam kasus korupsi e-KTP ini, JPU KPK menuntut majelis hakim agar menjatuhkan hukuman 16 tahun bagi politikus Golkar. Akan tetapi, kata Miko, bisa saja vonis yang diberikan hakim melebihi tuntutan jaksa.
Hal tersebut, kata Miko, dimungkinkan dalam undang-undang. Ia menilai, hakim bisa saja menggunakan alasan Pasal 182 ayat 4 KUHAP yang mensyaratkan hakim dalam memutus berdasarkan dakwaan dan fakta persidangan.
“Dengan basis itu, hakim tidak terkurung pada berat ringannya tuntutan yang diajukan penuntut umum,” kata Miko.
Selain itu, kata Miko, KPK bisa juga menetapkan Novanto sebagai tersangka kembali dalam kasus upaya menghalang-halangi proses penyidikan. Namun, penetapan tersangka ini harus memenuhi unsur dan bukti permulaan yang cukup.
Miko juga mengatakan KPK bisa saja menjerat Hilman Mattauch atau nama-nama lain selama ditemukan bukti permulaan bahwa mereka terlibat dalam tindak pidana.
“Poinnya pengusutan kasus ini harus tuntas dan menjerat semua pihak yang terlibat. Tujuannya tiga. Pertama, untuk kepentingan kasus itu sendiri. Kedua, untuk memberikan efek gentar kepada calon-calon pelaku tindak pidana, terutama korupsi. Ketiga, untuk memberikan keadilan kepada publik,” kata Miko.
Menanggapi hal itu, Maqdir Ismail, pengacara Novanto membantah ada upaya skenario dalam tabrakan mobil pada November 2017. Maqdir mengklaim, peristiwa yang terjadi adalah murni kecelakaan.
“Itu memang benar kecelakaan. Enggak ada skenario-skenarioan,” kata Maqdir saat dihubungi Tirto.
Maqdir mengingatkan, Fredrich meminta rekam medis mantan ketua DPR itu kepada istrinya, Deisti Astriani. Selain itu, Maqdir mengklaim, dirinya pernah menanyakan langsung kebenaran skenario tersebut dan Novanto membantah terlibat.
“Kemarin sempat saya tanya gitu. Apa, sih, keterlibatan beliau terhadap skenario itu? Dia bilang enggak ada," kata Maqdir.
Namun demikian, Maqdir enggan berandai-andai tentang keterlibatan Novanto dalam perkara merintangi penyidikan. Ia pun pasrah saat dikonfirmasi kemungkinan hukuman Novanto diperberat seandainya kisah skenario tersebut melibatkan kliennya. Ia menyerahkan semua keputusan kepada majelis hakim.
“Ya, pokoknya kami lihat sajalah Selasa. Ya, kami harapkan bahwa hakim tidak terpengaruh dengan putusan lain,” kata Maqdir.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz