tirto.id - Kencang sekali rentetan kasus yang menyerang Rizieq Shihab. Belum selesai urusan dengan penyidik soal kasus “penistaan Pancasila,” Imam Besar Front Pembela Islam ini kembali harus dihadapkan kasus yang berurusan ruang privat.
Sejak 29 Januari 2017, percakapan mesra yang diduga terjadi antara Rizieq dan Firza Husein, Ketua Yayasan Keluarga Cendana, tersebar meluas di beberapa situs dan media sosial. Konten itu adalah tangkapan layar memuat percakapan dan foto-foto mesum, yang sampai sekarang masih diselidiki oleh kepolisian.
Konten pornografi adalah skandal paling berbahaya dalam rentetan sejarah beberapa tokoh di Indonesia. Bahkan ketimbang kasus korupsi, kasus pornografi lebih memiliki daya rusak yang dahsyat untuk menghancurkan karier politik lawan. Ditarik ke belakang, ada banyak skandal pornografi dipakai untuk menjatuhkan citra lawan politik. Skandal ini juga pernah menyerang presiden Indonesia pertama Sukarno.
George Kennan, Kepala Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, pada 1948 mengatakan, sebagai presiden di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Sukarno lahir sebagai bintang di antara negara-negara dunia ketiga dan aktif dalam gerakan anti-imperialis nonblok. Beberapa kebijakannya yang lebih condong ke Uni Sovyet membuat khawatir AS saat itu.
Sukarno dianggap sebagai “duri dalam daging Amerika Serikat." Ia dekat dengan Partai Komunis Indonesia, partai terbesar ketiga di dunia (setelah Sovyet dan Tiongkok). Ideologi yang jadi musuh utama AS dalam kurun waktu Perang Dingin.
CIA, badan intelijen pemerintah federal AS, paham bahwa sulit untuk menyerang sosok pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya macam Sukarno. Didasari dari citra Sukarno yang gampang merayu wanita dan punya banyak istri, akhirnya langkah licik dipilih. CIA berencana merekayasa film porno yang “diperankan” oleh Sukarno. Langkah yang terlihat menjanjikan mengingat kultur masyarakat Indonesia yang religius.
Usaha ini benar-benar dikerjakan secara serius. Mantan agen CIA, Joseph Burkholder Smith dalam Potrait of a Cold Warrior (1976), membeberkan CIA berusaha menemukan aktor film porno yang punya kemiripan secara fisik dengan Sukarno.
Sekalipun ada beberapa aktor porno yang punya kulit gelap dari Los Angeles, Smith mengaku cukup sulit menemukan aktor yang benar-benar punya wajah hampir sama. Pada akhirnya, dibuatkanlah topeng khusus dengan beberapa sentuhan untuk semakin membuat sang aktor makin mirip Sukarno.
Film ini kemudian menggambarkan sosok Sukarno yang meniduri agen KGB dari Uni Sovyet. Si agen menyamar sebagai pramugari berambut blonde. Penggambaran yang mengesankan bahwa Sukarno tunduk atas bujuk rayu pemerintahan Moskwa yang komunis.
Lucunya, meski sudah dikerjakan secara serius, film ini tak pernah benar-benar dirilis.
“CIA salah perhitungan,” kata Barry Hillenbrand pada majalah Time. Film ini dikhawatirkan malah menunjukkan superioritas kulit berwarna sebagai representasi masyarakat negara dunia ketiga terhadap dominasi perempuan kulit putih, yang merepresentasikan Barat. Satu-satunya yang tersisa, tulis William Blum dalam Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II (2003), “Proyek ini sedikitnya menghasilkan beberapa foto.”
Dalam waktu yang tidak begitu jauh ke belakang, para politikus Indonesia kerap dihantam skandal-skandal pornografi. Yahya Zaini, anggota DPR periode 2004-2009—sekarang ditunjuk Setya Novanto dalam jajaran Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golar—pernah berurusan dengan skandal seks.
Pada akhir November 2006, video mesum Yahya Zaini dengan penyanyi dangdut Maria Eva beredar luas. Video yang direkam lewat telepon seluler itu bahkan sempat tayang di salah satu stasiun televisi selama beberapa detik. Skandal ini menjadi gelombang serangan luar biasa untuk karier politik Zaini. Sampai kemudian, setelah jadi bulan-bulanan pers, Zaini mengundurkan diri sebulan kemudian.
Abraham Samad, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, juga tak luput dari serangan adegan syur. Foto yang diduga Samad sedang tidur bersama seorang wanita bernama Feriyani Lim pada awal 2015 tersebar luas. Tak hanya itu, Samad diserang lewat foto berpose mesra dengan Elvira Devinamira, Putri Indonesia 2014.
Sekalipun Samad dinonaktifkan dari Ketua KPK atas kasus yang berbeda (pemalsuan dokumen), penyebaran konten porno ini cukup telak menghancurkan citranya sebagai politikus yang dikenal bersih dan pemberani.
Jangankan menjadi tontonan dalam konten pornografi seperti Samad atau Zaini, hanya menjadi penikmat konten pornografi saja sudah bisa jadi masalah besar jika domain yang digunakan bukan domain privat. Itulah yang terjadi dengan Anggota DPR Arifinto.
Politikus dari fraksi PKS ini harus melakukan klarifikasi saat fotonya tengah menonton video porno di sela-sela rapat di Gedung DPR tersebar luas di dunia maya. Arifinto berdalih tidak sengaja membuka tautan konten porno itu karena penasaran.
Namun, pengakuan Arifinto berbenturan dengan kesaksian fotografer yang mengabadikan insiden memalukan tersebut, yang mengatakan bahwa durasi Arifinto menonton video itu cukup lama. Tak kuasa menahan tekanan publik, Arifinto akhirnya mengundurkan diri pada 11 April 2011.
Bagaimana jika serangan lewat konten seksual, rekayasa maupun bukan, menimpa seorang yang dianggap panutan moral, yang setiap hari mengampanyekan kesalehan massal, memukul kaum minoritas sebagai kelompok bidah?
Itulah yang sepekan terakhir menghantam wibawa Rizieq Shihab. Sebagai sosok anti-maksiat, musuh kaum liberal—sebagaimana yang sering dilontarkan lewat pelbagai ceramah publiknya, arah serangan itu jelas: merusak citra Rizieq. Menangkap dari apa yang terjadi pada Samad sampai Zaini, skandal macam ini terbukti sukses menghancurkan karier politik (sementara) kaum politikus itu.
Perbedaan para politikus kiwari dengan Sukarno adalah martabat. Sukarno sengaja dibuatkan sebuah rekayasa skandal seks, oleh kekuatan anti-komunis, supaya ia segera terjungkal, dipermalukan oleh rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Perhitungan ini keliru. Namun CIA perlu beberapa tahun kemudian untuk menyingkirkan gerakan Kiri di Indonesia lewat upaya yang jauh lebih canggih: melihat dari dekat friksi di dalam tubuh angkatan bersenjata, menyokong kaum intelektual dan perwira anti-komunis, dan menunggu saatnya tiba ketika gelombang pembunuhan besar-besaran terjadi pada 1965-1966.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Fahri Salam