tirto.id - Ada garis tepi yang jelas sebenarnya antara apa yang termasuk dalam kategori skandal seks (atau skandal perzinaan) dan skandal pornografi. Namun, dua perkara ini seringkali dicampuradukkan.
Dalam skandal perzinaan, domain privat dan domain publik punya posisi yang terang untuk tidak saling berbenturan satu sama lain dalam proses hukum di Indonesia. Dan bukan hak publik untuk menghakimi domain privat sang pelaku. Karena pasal-pasal perzinaan bukanlah delik umum. Apalagi jika zina dilakukan atas dasar konsensual.
Baru menjadi persoalan hukum bila salah satu, atau kedua pelaku zina, telah menikah. Ini dimungkinkan karena ada domain publik yang dilangkahi oleh salah satu dari keduanya karena pelaku zina telah dianggap melanggar hukum pernikahan yang berlaku di Indonesia.
Hanya saja, penjelasan di atas masih belum cukup untuk bisa memperkarakan pelaku zina. Harus ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam undang-undang di Indonesia, pelapor atas kasus zina bisa “siapapun” asalkan memiliki bukti-bukti yang cukup.
Pengaduan perilaku zina dalam perspektif hukum di Indonesia jauh berbeda dengan hukum Islam, bahkan perbedaan ini sudah ada sejak dari proses dan syarat pengaduan. Tidak seperti hukum negara Indonesia, hukum Islam punya syarat yang sangat sulit (bila bukan mustahil) untuk menuduh seseorang melakukan perbuatan zina.
Salah satu basis syarat itu: empat orang baligh dan berakal secara langsung melihat dengan mata kepala sendiri perbuatan sanggama. Semua kesaksian harus disampaikan dengan jelas dan eksplisit. Syarat yang sulit ini dipakai karena ancaman terhadap pelaku zina pun sangat berat: rajam sampai mati bagi yang sudah menikah, dan cambuk 100 kali bagi yang lajang.
Merunut hadis riwayat Abu Hurairah dari Bukhari Muslim, menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti termasuk dari tujuh dosa besar dalam Islam, selain syirik, sihir, membunuh, riba, memakan harta anak yatim, dan desersi perang.
Jika saksi yang melihat hanya ada tiga orang (kurang satu saksi), maka justru tiga pelapor inilah yang akan dihukum cambuk masing-masing 80 kali. Ini menunjukkan, sekalipun terkesan kejam, unsur kehati-hatian sangat diutamakan. Ketentuan ini digunakan tentu agar orang tidak bisa menuduh secara sembarangan, serampangan, atau sewenang-wenang. Ada berlapis-lapis ketentuan yang harus dipenuhi, dan ada tembok tinggi yang harus dipanjat, bila Anda hendak melaporkan perbuatan zina.
Sebuah riwayat dari Bukhari Muslim menceritakan bagaimana Nabi Muhammad pernah menolak menghukum rajam karena pelaku zina mengakui perbuatannya di hadapan Nabi dan memohon untuk dihukum. “Bersihkan aku (dengan dirajam),” kata si pelaku zina. Rasul menjawab: “Cukup, pulanglah dan mohon ampunlah kepada Tuhan dan bertobatlah kepada-Nya.”
Itu menunjukkan sejatinya zina termasuk perbuatan asusila pada domain privat. Ia melekat antara hamba dan Tuhan. Bukan domain publik yang merugikan pihak lain (kecuali ada pihak keluarga dari salah satu pelaku yang mengadu). Itulah mengapa ia perlu syarat mutlak butuh empat orang bersaksi. Ia tidak bisa didiskon. Pagar apinya jelas: kita tidak boleh seenaknya memindahkan domain privat menjadi persoalan publik.
Namun, jika mengacu pada hukum Indonesia, dengan ancaman penjara paling lama sembilan bulan bagi pelaku zina, tingkat kehati-hatian bagi penuduh zina diturunkan dengan enteng. Sekalipun tuduhan ini tidak terbukti, hal terburuk yang menimpa penuduh diancam pasal pencemaran nama baik. Pada akhirnya, informasi mengenai skandal perzinaan menjadi isu yang mudah tersebar begitu cepat, lempar batu sembunyi tangan, dan individu yang bertanggung jawab dalam mengembuskan tuduhan zina berlindung di balik moralitas.
Tetapi Indonesia, selain punya Undang-Undang ITE yang bermasalah dengan delik aduan pidana, juga punya Undang-Undang Pornografi yang banyak menjerat orang dengan pasal karet—keduanya berlaku pada 2008. Beleid terakhir ini bukan menangani subyek perbuatan, melainkan mempolisikan individu yang memproduksi dan menyebarkan konten asusila. Ia menjerat pelaku asusila maupun penyebar konten asusila tersebut.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Fahri Salam