tirto.id - Anda pernah melihat atau bahkan mengikuti akun Instagram apolloniasaintclair, @alphachanneling, @nudegrafia, atau @petiteluxures? Akun-akun itu semua dikelola perempuan dan semuanya mengetengahkan tema senada: seksualitas.
Media sosial memang semakin tak bisa dinafikan perannya dalam kebudayaan. Ia menjadi wadah ekspresi, termasuk bagi perempuan yang ingin "berbicara" hal yang selama ini dianggap tabu seperti seksualitas. Dalam tulisan yang bertajuk “Feminist Self-Imaging and Instagram: Tactics of Circumventing Sensorship”, Magdalena Olszanowski (2014) mengungkapkan Instagram dimanfaatkan oleh sejumlah perempuan untuk membuat citra diri dan menemukan orang-orang dengan minat serupa.
Sejumlah cara dan saluran digunakan, salah satunya lewat media sosial berbasis visual seperti Instagram. Banyak ilustrator berbicara lewat gambar soal seksualitas, khususnya dari sudut pandang perempuan.
Ketika menemukan orang-orang yang memiliki kesamaan pemikiran, pengguna Instagram akan merasa mendapat penguatan untuk menyuarakan ide-ide yang sulit untuk dikemukakan dalam praktik kehidupan sehari-hari di muka umum. Terlebih saat melihat apresiasi melalui fitur like dan komentar dalam platform media sosial tersebut.
Namun, mengunggah karya seni bermuatan seksual di Instagram tak otomatis memerdekakan mereka seratus persen dari normativitas dalam kehidupan nyata. Pengalaman tiga ilustrator perempuan Indonesia yang diwawancarai Tirto.id menggambarkan peliknya tantangan yang harus mereka hadapi untuk bisa vokal di ranah digital.
Kasus-Kasus Ilustrator perempuan Indonesia
Pada pertengahan 2016 silam, Candrika Soewarno, pemilik akun bernama serupa, mengunggah ilustrasinya yang bermuatan seksual. Dalam caption, ia menceritakan pengalamannya terkait gambar yang diunggah.
“Ceritanya tadi siang saya berniat scan gambar-gambar untuk zine saya di sebuah rental dekat rumah. Suasana rental sangat ramai, banyak yang menunggu fotokopi atau jilid mereka jadi. Seorang pria menghampiri [dan berkata], 'ada yang bisa dibantu?' Lumayan ramah. Lalu saya bilang, mau scan gambar-gambar saya (salah satunya yang saya posting ini). Setelah dia buka mapnya, dia langsung menghadapkan kertas-kertas itu ke saya dan ke pelanggan-pelanggan lain yang sedang mengantri. 'Ini gambarmu? Kok perempuan mesum begini gambarnya, maaf ga bisa.'”
Reaksi negatif atas gambar-gambar bermuatan seksual yang dibuatnya tak hanya datang di kehidupan nyata. Intensitas tinggi dalam memuat gambar-gambar sejenis di Instagram membuat ia disasar pengguna Instagram lain yang kontra terhadap aksinya.
Bahkan, saat ini, gambar yang dirujuk Candrika dalam caption tidak bisa lagi ditemukan. Candrika menjelaskan soal itu dalam posting berikutnya: gambar telah dihapus oleh Instagram karena dianggap melanggar regulasi dalam Community Guidelines.
Komentar yang diterimanya saat mengunggah konten seksual juga kerap bernada pedas. Misalnya, bahwa perempuan tidak layak memublikasikan gambar-gambar (yang dianggap) pornografis seperti yang diunggahnya. Gambar-gambar itu juga disebut merusak moral dan Candrika disebut tidak beragama. Tak sedikit pula gambar-gambarnya yang dilaporkan, sehingga akhirnya disirnakan oleh Instagram.
Dulu, Candrika kerap berapi-api menghadapi para pengecam. "Tetapi lama kelamaan saya sudah terbiasa. Saya cukup berpikir kalau karya sudah dilempar ke publik, reaksinya pasti bermacam-macam dan timbul pro-kontra.”
Tak cuma @candrikasoewarno yang pernah mengalami penghakiman masyarakat seperti ini. Beberapa ilustrator perempuan Indonesia lain yang mengekspresikan seksualitasnya melalui gambar seperti @laviaminora dan @ayuhz juga kerap ditanggapi negatif, baik lewat dunia digital maupun dalam kehidupan nyata.
Farah, pemilik akun @laviaminora yang tengah menjalani studi magister dan berdomisili di Yogyakarta misalnya, mengaku pernah mendapat pesan-pesan langsung di Instagram dan komentar negatif yang merendahkan dirinya sebagai perempuan.
“Aku pernah dapat kiriman gambar penis di DM sama orang yang enggak kukenal,” papar Farah.
Sementara Ayu, pemilik akun @ayuhz, mengungkapkan dirinya bahkan pernah diajak tidur oleh salah satu orang tak dikenal yang mengiriminya pesan langsung di Instagram. “Langsung aku block-lah akunnya.”
Seni sebagai Wujud Resistensi dan Eksistensi
Kendati sering mendapat serangan di Instagram, para ilustrator ini tak henti mengekspresikan seksualitasnya dalam gambar. “Stay horny for art,” tulis Candrika dalam salah satu caption gambar yang diunggahnya.
Bahkan, mereka menganggap penolakan publik itu sebagai penyemangat. Ada satu benang merah tujuan yang ingin mereka capai dengan melakukan mengetengahkan isu ini: membawa isu tubuh dan kenikmatan dari sudut pandang perempuan.
Alih-alih dilihat sebagai karya visual erotika seperti yang mereka maksudkan, gambar-gambar mereka dicap pornografi. Maka, mereka pun menyisipkan edukasi dan sosialisasi mengenai seksualitas perempuan dalam caption gambar. Candrika pernah mengangkat isu “ask first” dalam salah satu gambarnya. Hubungan intim haruslah melibatkan persetujuan dari semua pihak, atau pendeknya: konsensual.
Farah juga pernah mengusung wacana pentingnya edukasi seks sejak dini lewat gambar erotisnya. Secara umum, gambar mereka menunjukkan bahwa perempuan tak perlu jadi penurut dalam kehidupan di ranjang. Perempuan adalah pemilik tubuh, bukan tubuh-yang-dimiliki pasangan seksualnya.
Di lain sisi, Ayu, mahasiswa institusi seni di Yogyakarta, ingin memperoleh pengakuan dari publik lewat karya-karya yang diunggahnya di Instagram.
Jika menilik penelitian Toshie Takahashi (2016) dari Waseda University, “Creating The Self in the Digital Age: Young People and Mobile Social Media,” harapan Ayu adalah hal yang jamak. Menurut Takahashi, jumlah komentar dan like yang diterima seseorang di media sosial menunjukkan pengakuan dari netizen atas eksistensi dan ekspresi dirinya.
Dalam dunia digital yang mengaburkan batasan geografis dan kultural, pengakuan terhadap diri dan karya seseorang dapat datang dari publik yang begitu luas, tak terkecuali dari orang-orang yang tak dikenal.
Betapapun gambar mereka mendatangkan cacian, bahkan "hukuman" dari Instagram, toh banyak juga yang mengikuti dan mendukung akun-akun itu. Media sosial, jika melihat dukungan itu, bisa juga jadi medium perubahan cara pandang soal seksualitas dalam masyarakat.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani