Menuju konten utama

Siswa Sulbar Wajib Baca 20 Buku, Efektif Tingkatkan Literasi?

Gubernur Sulbar wajibkan siswa baca 20 buku untuk lulus. Pengamat meniai inisiatif baik tapi perlu dukungan sistem dan akses, jika tak ingin gagal.

Siswa Sulbar Wajib Baca 20 Buku, Efektif Tingkatkan Literasi?
Pelajar SMA Negeri 2 mencari buku di ruang perpustakaan milik sekolah, Tangerang, Banten, Kamis (13/10). Berdasarkan data Dapodik Kemdikbud 2016, sebanyak 74.552 dari 213.811 sekolah di Indonesia belum memiliki perpustakaan. ANTARA FOTO/Lucky R/foc/16.

tirto.id - Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Suhardi Duka, mewajibkan setiap siswa jenjang SMA/SMK, di provinsinya membaca 20 buku sebagai salah satu syarat kelulusan. Hal ini tertera dalam Surat Edaran Gubernur Sulbar No.000.4.14.1/174/11/2-25 tentang Kewajiban Siswa SMA/MA Membaca 20 buku.

"Setiap siswa-siswi SMA/SMK sederajat wajib membaca minimal 20 judul buku selama masa studi mereka sebagai bagian dari pembinaan literasi, sekaligus syarat kelulusan," ucap Suhardi Duka dalam acara gerakan peningkatan literasi masyarakat di Mamuju, Minggu (13/7/2025) seperti dikutip dari Antara.

Sebagai bagian dari strategi membangun ekosistem literasi yang mendukung, Gubernur Suhardi juga menginstruksikan seluruh instansi pemerintah, termasuk sekolah dan perangkat daerah, untuk menyediakan pojok baca atau perpustakaan mini.

Selain itu, ia menetapkan kebijakan kunjungan rutin ke perpustakaan minimal satu kali dalam seminggu bagi siswa, guna membiasakan interaksi dengan bahan bacaan dan menumbuhkan budaya membaca secara konsisten.

Kebijakan yang dituangkan melalui surat edaran ini ditujukan kepada seluruh kepala daerah, perangkat daerah, dan instansi vertikal se-Sulbar. Suhardi menyebut dari 20 judul buku ini, buku tentang Andi Depu dan Baharuddin Lopa, menjadi buku wajib. Sebab, kedua tokoh asal Sulbar tersebut mengukir sejarah penting bagi perjalanan Indonesia.

Tingkat Literasi Masyarakat Rendah?

Kebijakan wajib membaca 20 buku dari Gubernur Suhardi, disebut sebagai bagian dari pembinaan literasi, sekaligus syarat kelulusan bagi siswa. Alasan tersebut sekilas masuk akal.

Selama ini publik Indonesia kerap disuguhkan berbagai data yang menyoroti rendahnya tingkat literasi masyarakat. UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001 persen atau hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang rajin membaca.

Selain itu, hasil studi berjudul 'World’s Most Literate Nations Ranked' yang dirilis oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 turut memperkuat gambaran tersebut. Dalam riset ini, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara yang dikaji berdasarkan indikator literasi, tepat di bawah Thailand (peringkat 59) dan hanya sedikit lebih tinggi dari Botswana (peringkat 61).

Data serupa mengenai kemampuan literasi juga tercermin dalam laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Berdasarkan hasil PISA 2022 yang dirilis pada Desember 2023, Indonesia memperoleh skor 366 pada domain matematika, 359 pada membaca, dan 383 pada sains. Dari ketiga domain tersebut, skor terendah yang diraih Indonesia terdapat pada kategori literasi membaca.

Skor literasi membaca Indonesia sebesar 359 berada jauh di bawah rata-rata negara OECD yang mencapai 476. Skor Indonesia bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam PISA 2022, Singapura menempati posisi teratas dengan skor membaca 543, diikuti oleh Vietnam (462), Brunei Darussalam (429), Malaysia (388), dan Thailand (379). Indonesia berada di posisi berikutnya dengan skor 359, sedikit di atas Filipina (347) dan Kamboja (329).

Selain itu, selama satu dekade terakhir tren capaian literasi pada laporan PISA juga terlihat mengalami penurunan drastis. Mulai 371 pada tahun 2000, 382 pada tahun 2003, 393 pada tahun 2006, 402 pada tahun 2009, 396 pada tahun 2012, 397 pada tahun 2015, 371 pada tahun 2018 dan 359 pada tahun 2022.

Skor Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat di Sulbar cenderung rendah

Khusus untuk Sulawesi Barat secara spesifik, data Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat 2024 (dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS)), memang memperlihatkan bahwa skor yang dimiliki provinsi tersebut masih di bawah rata-rata nasional.

Skor Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat di Sulbar tercatat hanya sebesar 63,65 angka ini di bawah sejumlah provinsi lain di Pulau Sulawesi yakni Sulawesi Selatan (88,24), Sulawesi Tengah (71,70), Sulawesi Tenggara (72,3), dan Gorontalo (77,46). Sementara, skor rata-rata nasional Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat adalah 73,52.

Apakah Kewajiban Membaca 20 Buku bagi Siswa Tepat untuk Meningkatkan Literasi?

Menanggapi kebijakan yang mewajibkan siswa membaca 20 buku sebagai syarat kelulusan, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, memberi apresiasi. Menurut dia secara prinsip, penguatan literasi merupakan langkah positif. Namun, pendekatan yang menekankan pada kewajiban membaca tanpa membangun ekosistem yang mendukung justru berpotensi gagal.

“Yang paling utama supaya gerakan literasi ini berhasil adalah bagaimana membangun ekosistem dan budaya membaca di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Jadi, kebijakan ini jangan hanya dijadikan program di sekolah, tapi gubernur harus menjadikan program ini menjadi program provinsi yang melibatkan semua aktor, bukan hanya sekolah,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (15/7/2025).

Ubaid menegaskan jika nantinya kebijakan ini hanya dibebankan kepada sekolah, apalagi hanya menyasar peserta didik, maka program tersebut akan sulit berkelanjutan. Menurutnya, keberhasilan literasi harus melibatkan seluruh ekosistem pendidikan, termasuk guru dan tenaga kependidikan.

Akses terhadap bahan bacaan perlu mendapat perhatian

Ia juga menyoroti persoalan serius terkait akses terhadap bahan bacaan. Menurutnya, bagi masyarakat khususnya yang tinggal di daerah, buku seakan masih menjadi barang mewah.

Ia mempertanyakan bagaimana siswa bisa gemar membaca jika buku tidak tersedia, tidak terjangkau, dan perpustakaan sekolah dalam kondisi yang kadang memprihatinkan.

“Perlu diingat, buku sampai hari ini adalah barang elite. Mana ada toko buku di daerah-daerah? Di ibu kota provinsi saja susah, apalagi di daerah-daerah. Bagaimana bisa baca buku, kalau buku saja tidak terbeli dan tidak terjangkau? Bahkan tumpuan utama siswa, yaitu perpustakaan sekolah, kondisinya sangat memprihatinkan, banyak yang jadi sarang tikus dan tidak terurus,” ujarnya.

Penurunan kunjungan perpustakaan modern Sulawesi Tenggara

Seorang pengunjung membaca buku di Perpustakaan Modern Sultra, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (17/4/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah/nym.

Oleh sebab itu, Ubaid menekankan pentingnya komitmen politik yang tercermin dalam alokasi anggaran yang memadai. Ia menilai, tanpa dukungan anggaran yang jelas dari pemerintah daerah, kebijakan ini tak lebih dari sekadar retorika.

“Jadi omong kosong, kalau ada gerakan literasi tapi tidak didukung oleh komitmen anggaran yang jelas dari gubernur. Urusan makan saja kita bisa serius sampai triliunan, masa urusan literasi kita anggap tidak penting untuk dianggarkan lebih,” ujarnya.

Kewajiban Baca Buku Tak Serta Merta Tingkatkan Literasi

Pemerhati kebijakan pendidikan, Rakhmat Hidayat, menilai kebijakan Gubernur Sulbar mewajibkan siswa membaca 20 buku sebagai syarat kelulusan siswa berlebihan dan tidak proporsional.

Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu menyatakan bahwa keputusan kelulusan seharusnya berada di tangan sekolah. Terutama, keputusan itu sebaiknya dibuat oleh guru yang mendampingi proses belajar siswa secara langsung dan berkesinambungan.

Menurutnya, guru adalah pihak yang paling memahami kondisi pedagogis dan psikologis siswa. Mereka juga memiliki kapasitas asesmen yang lebih tepat dibandingkan pejabat pemerintahan

“Gubernur atau pemimpin wilayah –dari manapun itu– sebenarnya tidak punya ruang, tidak punya otoritas untuk mewajibkan, memaksakan dan meregulasikan mengenai syarat kelulusan. Dan itu secara pedagogik, secara administrasi pendidikan, mereka (guru) yang paling berwenang menentukan kelulusan dari seorang anak tersebut melalui lembaga formal yang bernama sekolah,” ujarnya saat dihubungi oleh Tirto, Selasa (15/7/2025).

Rakhmat menekankan, gubernur, wali kota, atau bupati adalah pemimpin wilayah yang mewakili kepentingan politik atau dalam hal ini partai politik. Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa kebijakan pendidikan tidak seharusnya dijadikan instrumen politik atau sekadar strategi populis tanpa kajian substansi yang mendalam.

“Jangan semata-mata hanya untuk kepentingan sensasional atau untuk kepentingan yang bersih kuat populis tapi miskin dengan substansinya, kajian mendalam,” ujarnya.

Kunjungan perpustakaan modern Sultra selama 2024

Sejumlah pengunjung berdiskusi pada ruang baca di Perpustakaan Modern Sultra, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (25/2/2025).ANTARA FOTO/Andry Denisah/Spt.

Pemahaman literasi, kualitas lebih penting dibanding kuantitas

Lebih lanjut, Rakhmat menyoroti bahwa pemahaman literasi tidak boleh disederhanakan hanya sebagai kewajiban membaca sejumlah buku. Menurutnya, literasi bukan semata-mata soal jumlah buku yang dibaca.

Substansi literasi itu bukan semata-mata soal kuantitas buku yang dibaca. Tetapi tentang kualitas pemahaman dan keterlibatan anak-anak terhadap isi bacaan tersebut. Jadi literasi itu pertama harus dipahami secara teks dari bahan bacaan yang dibaca oleh anak-anak. Tapi bukan hanya semata-mata kuantitas tapi lebih kualitas juga,” tegas Rakhmat.

Selain itu, ia menegaskan substansi literasi yang sebenarnya mencakup kemampuan untuk memahami teks secara kritis dan menghubungkan dengan realitas di sekitarnya. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan yang bersifat top-down seperti di Sulbar menurutnya tidak akan efektif dalam membentuk budaya literasi yang berkelanjutan.

“Perlu proses, perlu inisiatif, guru-gurunya juga perlu dilatih, anak-anak juga peserta murid perlu dilatih, bikin training, bikin kompetisi gitu kerja sama dengan film, dengan sastrawan, dengan penulis buku gitu. Jadi, literasi itu bukan semata-mata menjadi regulasi yang dipaksakan bersifat top down. Ini adalah soal pembudayaan, pembiasaan, menjadi nilai-nilai sehari-hari di keluarga, di sekolah,” sambungnya.

Ilustrasi Modul Pelajaran

Ilustrasi Modul Pelajaran. foto/Istockphoto

Ia juga menanggapi secara kritis soal hubungan antara jumlah buku yang dibaca dengan kualitas literasi siswa. Menurutnya, secara sosiologis, kuantitas bacaan bukanlah indikator tunggal atau utama dalam mengukur literasi. Terpenting, justru adalah kemampuan berpikir kritis, kemampuan siswa mengaitkan informasi dari teks dengan konteks kehidupan nyata.

“Membaca 20 buku itu tidak menjamin peningkatan literasi. Jika buku tersebut gak relevan, gak ada hubungannya, gak ada kaitannya, siswa gak mampu memahami isinya apa dan kemudian gak ada proses refleksinya," tutur dia."Tapi jika ada satu buku yang menginspirasi, yang menggerakkan hati dan emosinya yang membangun masa depan optimisnya, itu adalah esensi dari buku itu dan itu harus digali, dibaca, direfleksikan, didiskusikan secara lebih komprehensif,” ujar Rakhmat lagi.

Ia mengusulkan agar literasi dikembangkan melalui pendekatan yang lebih komprehensif dan partisipatif, misalnya dengan melibatkan guru dalam merancang program literasi yang inspiratif.

“Guru-guru merancang program literasi yang menarik, inspiratif. Dengan berbagai macam program kampanye literasi. Dengan mengundang tokoh-tokoh seniman, tokoh-tokoh budayawan, penulis novel, cerita untuk berbagi pengalamannya, melatih guru-gurunya dengan kemampuan literasi, membuat karya tulis, membuat film dan seterusnya,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto