tirto.id - “Aku adalah entah yang tak berkesudahan.”
Dari ketinggian sebatang pohon, seorang perempuan menceburkan diri ke dalam kubangan. Perempuan itu tak sendiri, ia mencebur bersama dengan tiga pria lainnya. Mereka merasakan kegamangan dalam hidupnya.
Keempatnya, para pesakitan yang menceburkan diri itu, lantas bangkit dari kubangan. Tubuh mereka yang kini penuh dengan lumpur mengitari empang seluas 10x15 meter dengan raut muka letih, dibayangkan sebagai dampak usaha mencari makna kehidupan. Tiap karakter asyik menjalani perjalanan masing-masing yang mereka yakini sebagai perjalanan spiritual. Sepanjang perjalanan, karena terlalu masyuk mencari, mereka sampai mengabaikan realitas di sekitarnya. Dalam perjalanan yang panjang, keempat orang itu malah makin memupuk ke-aku-an masing-masing, ego sendiri-sendiri, sehingga mereka pun merasakan keletihan yang tak tertanggungkan.
Sayup-sayup di antara bunyi rintik hujan, terdengar celetukan penonton: “Iya, sering kita begitu, mencari tapi lupa esensi yang dicari.”
Bak sisifus yang tak bosan-bosannya mendaki gunung Olympus sembari memanggul batu, selama si-aku belum usai dengan perjalanannya maka si-aku akan terus mencari, sementara yang dicarinya tak kunjung dipahami. “Apa yang sebenarnya dicari?”
Abdullah Wong, sutradara pada pementasan Suluk Sungai, yang membuka Indonesia Dance Festival (IDF) memunculkan fenomena sehari-hari yang sering dihadapi manusia. Ia mementaskan lakon yang mengisahkan usaha mencari Tuhan yang berakhir menjadi keterjebakan pada fatamorgana pikiran, kemudian menjadi limbung saat mentok pada pengulangan pencarian tak berujung.
Titik balik haluan pencarian hidup tergambarkan saat para penampil membuat benteng-benteng untuk menutupi diri. Bagi mereka, perjalanan spiritual adalah menyepi dalam ruang-ruang kesendirian. Benteng di tengah-tengah kubangan dibangun sebagai upaya agar tak ada pihak manapun yang dapat mengganggu, hanya boleh ada dirinya sendiri, semua yang lain adalah penghalang dan pengganggu perjalanan batin.
Begitulah manusia. Seringkali sibuk mencari Tuhan, sibuk beribadah, mencari bekal untuk kehidupan kedua, tapi lupa hubungan antar sesama manusia. Akibatnya, ego yang menguasai, menganggap diri sebagai yang paling suci, sementara yang lain kotor. Kekerasan atas nama keyakinan pun dimungkinkan bermunculan dari cara berpikir semacam itu.
Sayangnya, semua yang dilakukan itu sia-sia. Mereka kembali keluar dari persembunyiannya, menghancurkan benteng-benteng, melengking menyayat hati mereka sendiri.
“Aku kuasa, aku mencintainya, entah yang tak berkesudahan.”
Kidung panjang dari sungai kehidupan, begitulah kira-kira Suluk Sungai digambarkan. Wong menempatkan "suluk" dalam beberapa makna. Pertama diartikan sebagai “jalan”, dengan “salik” berarti “orang yang berjalan”, menempuhi jalan. Dalam konteks pementasan ini, suluk merupakan potret realitas manusia yang tengah menempuh perjalanan kehidupan.
Kedua, “suluk” juga bermakna kidung atau tembang, sedangkan “sungai” menggambarkan aliran, kehadiran yang berkesinambungan. Sehingga Suluk Sungai diartikan sebagai jalan, tembang, kidung yang mengalir dan berkesinambungan. Sampai pada akhir kidung, mereka melepas semua keegoan dan berserah menjalani kehidupan.
“Aku mencari Tuhan, jika memang aku berasal darinya tak perlu aku cari, toh aku pasti kembali kepadanya.”
Pentas Tanpa Panggung Konvensional
Suluk Sungai dipentaskan bukan di atas panggung yang berada di dalam gedung pertunjukan. Pertunjukan yang dari awal sampai akhir berlangsung di bawah guyuran hujan itu berlangsung dalam sebuah kubangan empang yang berlumpur. Dalam sejarah festival tari bertaraf Internasional berumur 24 tahun, pemilihan setting yang mengesampingkan bentuk panggung konvensional, jauh dari gedung-gedung kesenian di Jakarta, baru pertama ini dilakukan. Sebelum Suluk Sungai, pementasan berjudul Phase juga digelar di tempat yang sama dengan setting pohon-pohon bambu yang tumbuh di dalam hutan.
Hutan Kota Pesanggrahan di bilangan Lebak Bulus dipilih sebagai tempat alternatif mempertunjukkan tari dan teater. Para penonton dari berbagai kalangan pun tak bergeming ketika cipratan lumpur dari para pemain mewarnai wajah dan pakaian yang dikenakan. Di bawah guyuran hujan, mereka ajeg menikmati pementasan. Secara keseluruhan, dapat diartikan, Wong mampu membuat seni menjadi alat, medium, dan metode menggugah serta menggerakkan masyarakat pada kehadiran alam, menerima alam apa adanya, alam yang mendatangkan hujan yang membasahi, lumpur yang mengotori.
Walau tempat cenderung minimalis, namun pertunjukaan Suluk Sungai disokong tata lampu yang ciamik dari Aidil Utsman, sosok yang sudah berpengalaman mengerjakan tata lampu di dunia pertunjukkan. Penataan cahaya yang pas ini menghadirkan efek tambahan, seakan menghadirkan ruang tersendiri bagi mata penonton.
Model pementasan dengan menanggalkan panggung di dalam gedung sebenarnya bukan barang baru. Dalam sejarah seni pertunjukkan Indonesia, sangat biasa pertunjukan seni berlangsung di alam terbuka. Kesenian-kesenian rakyat yang tumbuh di tengah masyarakat biasa dipentaskan di berbagai tempat yang sehari-hari menjadi bagian aktivitas warga.
Pada Festival 2010, berbagai pertunjukan juga banyak dilakukan di ruang-ruang publik yang terbuka. Para aktor bebas memilih tempat pementasan. Ada yang memilih terminal, kuburan, rel kereta, bahkan tempat pembuangan sampah.
Saat itu, bahkan para penontonnya, orang-orang yang melakukan kegiatan di sekitar, tak sadar sedang menonton sebuah pertunjukan. Misalnya saja saat seorang aktor mencoba bunuh diri dan meminta seorang perempuan membantunya membuatkan simpul pada tali yang akan digunakan untuk gantung diri. Si perempuan malah kabur. Ia tak sadar bahwa itu hanyalah pertunjukkan teater. Sambil bergidik, perempuan itu meracau: “Masak gue bantuin orang bunuh diri!”
Beberapa yang lain memandang si aktor dengan tatapan aneh, seperti sedang menatap orang gila. Celoteh-celoteh yang mewakili perasaan ganjil pun berloncatan dari mulut orang-orang yang tak sadar sedang dilibatkan dalam sebuah pertunjukkan: “Ih, dia kenapa sih? Itu orang lagi ngapain, sih?”
Pementasan di ruang publik juga pernah dilakukan Teater CCL. Kelompok teater yang dipimpin oleh Iman Soleh ini memilih segala penjuru lapangan sebagai panggung bagi para aktornya.
Juga Lab Teater yang membawakan lakon berjudul Kubangan di Mall Senayan City. Mulanya, para aktor berpencar di tiap-tiap lantai mall. Dengan tubuh gemetar mereka masuk ke toko-toko dan menarik perhatian pengunjung selama sekitar setengah jam. Setelah itu, pengunjung dibawa mengikuti alur langkah pemain hingga satu titik pertemuan semua aktor di lantai dasar. Di situlah pementasan dilakukan, dan tanpa panggung.
Seiring perkembangan, seni pertunjukkan memiliki berbagai jenis panggung. Tentu, disesuaikan juga dengan harapan visualisasi penonton yang butuh pembaharuan. Maka kini bentuk panggung tak melulu berarti papan dengan level setingkat lebih tinggi dari penonton atau setingkat lebih rendah dari bangku penikmat seni. Bisa di mana saja. Di tempat yang tak terbayangkan sekali pun.
Ini memang bukan hal baru. Metode lama yang diolah kembali dalam cita rasa baru yang kemudian disebut sebagai: kontemporer.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS