Menuju konten utama
Periksa Data

Semrawutnya Perkara Beras, Garam, dan Gula di era Jokowi

Soal pangan, pemerintahan Jokowi pada periode pertama tidak memiliki pencapaian berarti. Permasalahan terkait data dan koordinasi menjadi masalah utama yang menghantui.

Semrawutnya Perkara Beras, Garam, dan Gula di era Jokowi
Header Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi. tirto.id/Quita

tirto.id - Pemerintah Indonesia di bawah Joko Widodo (Jokowi) dan kabinetnya boleh dibilang tidak memiliki capaian berarti dalam mengurus soal pangan. Padahal, pada 2014 lalu, sesaat setelah menjabat sebagai presiden, Jokowi menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai, dan gula bisa terlaksana dalam tiga tahun sesuai dengan visi Nawacita yang ia gemakan.

Capaian angka beberapa komoditas bahan pangan utama memang tercatat meningkat. Seperti yang Jokowi sebutkan dalam "Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam rangka HUT Ke-73 Proklamasi Kemerdekaan RI (2018)", produksi padi pada 2016-2017, misalnya, telah meningkat sekitar 4 juta ton, sementara untuk jagung disebut-sebut meningkat sekitar 3 juta ton (lihat angka capaian produksi padi dan jagung di bagian Bab 4, Perkembangan Sektor Riil; PDF).

Namun, capaian peningkatan itu tidak sepadan dengan tren pertumbuhan penduduk. Di Indonesia, rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun dapat mencapai 3,2 juta jiwa atau tumbuh 1,27 persen. Menariknya, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian untuk komoditas bahan pangan (sub-indikator tanaman pangan) hanya di bawah 3 persen per tahun.

Laju pertumbuhan sektor pertanian secara umum (bersama dengan peternakan, perburuan dan jasa pertanian) juga masih di bawah pertumbuhan PDB di Indonesia yang rata-rata mencapai 5 persen per tahun. Hanya sektor perikanan yang pada 2014-2015 pernah mampu melampaui rata-rata PDB nasional. Namun, performanya pun kembali rendah di tiga tahun terakhir.

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi. tirto.id/Quita

Terkait komoditas bahan pangan ini, setidaknya ada dua kementerian koordinator patut bertanggung jawab: Kemenko Perekonomian dan Kemenko Kemaritiman.

Komoditas bahan pangan seperti beras dan gula ada dalam kewenangan Kementerian Pertanian, bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan dan Perum Badan Usaha Logistik (Bulog). Kementerian-kementerian itu berada dalam naungan koordinasi Kemenko Perekonomian.

Di sisi lain, komoditas bahan pangan dari sektor perikanan berada dalam kerja utama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan berkelindan pula dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.

Namun, sekalipun kementerian-kementerian itu berada dalam satu kabinet yang sama, tidak lantas koordinasi berjalan dengan baik. Tidak jarang pula mereka saling seteru akibat berbeda kebijakan. Hal ini terjadi setidaknya pada tiga komoditas: beras, garam, dan gula.

Data Produksi Beras yang Berbeda

Polemik soal beras selalu menjadi masalah yang menahun. Intinya berkisar pada soal apakah pemerintah harus impor atau sebaliknya. Perseteruan tidak terjadi hanya antara Mentan dengan Mendag saja, namun turut melibatkan Bulog.

Pada Mei 2018, misalnya, keputusan Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan izin impor beras sebanyak 500 ribu ton kepada Perum Bulog kembali menuai polemik. Persoalannya adalah data milik Kemendag dan Kementerian Pertanian (Kementan) berbeda.

Kejadian terkait data ini bukan untuk yang pertama kali. Persoalan serupa juga pernah muncul pada awal 2018. Kala itu, pemerintah hendak melakukan impor beras dari Vietnam dan Thailand.

Lebih lanjut, menjelang akhir 2018, Budi Waseso atau Buwas dan Enggartiasto sempat berpolemik soal penuhnya gudang-gudang Bulog akibat banyaknya impor. Buwas menuding, Enggartiasto seperti hendak lepas tangan, padahal yang mengeluarkan izin impor beras adalah kementeriannya.

Menariknya, Badan Pusat Statistik (BPS) lantas dijadikan tumbal dalam perseteruan itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla, menyebut bahwa kisruh soal beras berpangkal pada data BPS soal kebutuhan pangan, khususnya beras, sejak 1997 dianggap tidak akurat.

"Angka produksi beras sejak 1997 sampai dengan sekarang itu terjadi produksi yang bertambah terus, padahal di lain pihak sawah berkurang 1,5 persen per tahun, dan penduduk bertambah," kata JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa (23/10/2018).

Tirto sendiri pernah mengulas hal ini dalam artikel "Membedah Data Produksi Beras yang Simpang Siur" pada 29 Januari 2019. Dalam artikel itu disebutkan bahwa BPS memang sempat absen selama hampir tiga tahun dalam merilis data luas panen padi dan Gabah Kering Giling (GKG), sekalipun Kementan tetap mengeluarkan data produksi padi. Data yang dikeluarkan Kementan tersebut diklaim merupakan hasil rapat koordinasi bersama.

Seperti diketahui, BPS dan Kementan sudah bekerja sama mengumpulkan data pertanian melalui survei pertanian sejak 1970. Untuk mendapatkan nilai produksi padi, BPS punya rumus: luas panen dikali produktivitas. Data luas panen diolah dari laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan milik BPS.

Namun, hasil konversi data produksi padi ke produksi beras antara BPS dan Kementan yang berbeda membuat data beras sering menjadi tidak sinkron.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melakukan "Audit Tata Niaga Impor Tahun 2015-2017" (PDF) turut menegaskan tidak singkronnya data dan koordinasi antarkementerian. Hal serupa bahkan terjadi pada Kemenko Perekonomian itu sendiri yang semestinya mampu menjadi jembatan koordinasi antarlembaga (lihat tabel di bawah).

Laporan BPK itu sekaligus menjadi bukti bahwa selisih antara kebutuhan dan produksi beras nasional tidak lantas menjadi angka ukur untuk menentukan alokasi volume impor beras.

Masih dalam laporan yang sama, persoalan impor beras tidak hanya berpangkal pada tidak sinkronnya data, namun turut terjadi pada soal tata niaga impor. BPK menemukan bahwa impor beras antara tahun 2015 hingga semester I/2017 turut terjadi dalam kasus: (1) Pelaksanaan impor beras yang tanpa rekomendasi dari Kementan (hlm. 62); (2) Persetujuan impor beras yang tidak memenuhi dokumen persyaratan, melampaui batas waktu dan punya nomor izin yang ganda (hlm. 58).

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi. tirto.id/Quita

Seteru Impor Garam

Pada Juli 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kembali mempermasalahkan impor garam. Dia menuding adanya kebocoran dalam impor garam sebanyak 2,7 juta ton. Kebocoran ini ia sinyalir menjadi pangkal masalah anjloknya harga garam di tingkat petani hingga angka Rp300 per kg.

Namun, menariknya, tudingan Susi itu malah dibantah kementerian koordinator tempat Susi menginduk. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono menyebut belum ada data yang cukup kuat untuk membuktikan tudingan kebocoran impor garam pada Jumat (12/06/2019).

Pada Maret 2018, seteru soal impor garam juga pernah membuat ramai hubungan antarlembaga kementerian. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada saat itu merekomendasikan impor garam sebesar 2,1 juta ton untuk keperluan industri. Tapi, Kementerian Perindustrian dan Kemenko Perekonomian malah menyatakan membutuhkan impor garam sebesar 3,7 juta ton untuk industri.

Tirto pun pernah mengupas persoalan terkait bagaimana data garam nasional—yang sama seperti beras—turut menjadi pangkal seteru antarkementerian dalam artikel berjudul "Ruwetnya Perbedaan Hitungan Kebutuhan Garam Nasional." Dalam artikel tersebut, tampak bahwa impor garam menjadi polemik karena persoalan perhitungan kebutuhan.

Bagi KKP, perhitungan mengacu dari informasi industri, perkiraan produksi, dan stok sisa. Sementara itu, Kemenperin menghitung kebutuhan tersebut berdasarkan estimasi kebutuhan industri.

Laporan "Audit Tata Niaga Impor Tahun 2015-2017" dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperjelas bagaimana produksi nasional garam memang tidak mencukupi kebutuhan (lihat dalam tabel dibawah). Namun, data Kemenperin dan KKP sudah berbeda dalam urusan angka kebutuhan dan produksi.

"Data Proyeksi Neraca Garam 2015–2017" dari KKP merupakan data kebutuhan garam konsumsi nasional yang dihitung dari jumlah penduduk dikalikan standar kebutuhan garam (3 kg/orang), dan data kebutuhan garam untuk pengasinan/pengawetan ikan, serta data produksi garam rakyat.

Sementara itu, data "Kebutuhan dan Pasokan Garam Tahun 2011–2017" yang disusun oleh Direktorat Industri kimia Hulu, Ditjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kemenperin adalah data kebutuhan garam industri yang berasal dari data realisasi impor tahun sebelumnya, data kebutuhan dari asosiasi dan perusahaan, serta hasil analisis atas data rencana kebutuhan dan kapasitas produksi dari masing-masing perusahaan.

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi. tirto.id/Quita

Sama seperti yang terjadi dalam impor beras, alokasi untuk impor garam pun tidak didasarkan pada basis neraca kebutuhan dan produksi garam. BPK malah menyebut, penerbitan persetujuan impor garam dari tahun 2015 hingga semester I/2017 tidak sesuai dengan data kebutuhan dan produksi dalam negeri dan berusaha 'melangkahi' kewenangan KKP (Laporan Audit Tata Niaga Impor Tahun 2015-2017; hlm.40).

Padahal, Undang-Undang No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam telah menyatakan bahwa pemerintah pusat yang berhak mengendalikan impor komoditas perikanan dan pergaraman.

Namun, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, pemerintah seolah mencari perlindungan terkait kebijakan dan penerbitan izin impor garam.

Pemerintah memang tampaknya berupaya keras pro terhadap industri. Saat impor garam menjadi perdebatan di publik, Jokowi berupaya membela keras dan menyatakan bahwa industri bakal mati jika impor tidak dilakukan. "Kalau tidak impor garam industri, akibatnya industri bisa berhenti meski penggunaannya hanya 2 persen," terang Jokowi, Rabu (4/4/2018).

Persoalan terkait tidak adanya koordinasi yang sinkron dan matang soal izin impor garam pernah dibahas pula dalam laporan mendalam Tirto berjudul "Saat Menteri Susi Ditelikung PP Impor Garam Jokowi." Dalam laporan tersebut terlihat bagaimana Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meminta Menteri Maritim Luhut Panjaitan selaku kementerian koordinator tempat KKP menginduk agar segera memutuskan mengimpor garam untuk bahan baku kebutuhan industri.

Padahal, rapat pada tanggal 21 Desember 2017 itu sebenarnya diperuntukkan hanya membahas perluasan lahan petani garam di Nusa Tenggara Timur.

Akal-Akalan Produksi Gula yang Stagnan?

"Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam rangka HUT Ke-73 Proklamasi Kemerdekaan RI (2018)" memang memperlihatkan rata-rata capaian produksi gula (gula kristal putih/GKP) tidak pernah tembus ke angka 3 juta ton per tahun selama periode 2014-2018 (lihat Bab 4, Perkembangan Sektor Riil). Angka yang hampir sama turut ditemukan BPK dalam laporan "Audit Tata Niaga Impor Tahun 2015-2017."

Namun, tiga data dari lembaga berbeda, yakni data Badan Ketahanan Pangan-Kementerian Pertanian, data Kementerian Pertanian dan data Kemenko Perekonomian menunjukkan angka yang berbeda-beda. Bukan hanya itu, cara mereka memutuskan alokasi impor juga tidak mendasarkan pada neraca kebutuhan dan produksi--sama seperti garam dan beras.

Beberapa temuan BPK diantaranya: (1) Penerbitan persetujuan impor gula tidak melalui rapat koordinasi (Audit Tata Niaga Impor Tahun 2015-2017; hlm. 46); (2) Penerbitan persetujuan impor juga tidak didukung dengan data analisis kebutuhan (hlm. 55).

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi

Infografik Periksa Data Evaluasi Kabinet Jokowi. tirto.id/Quita

Lagi-lagi, Kemenko Perekonomian tampak tidak dapat menyelesaikan sengketa koordinasi antar kementerian. Walau memang perlu diakui, peningkatan produksi gula nasional merupakan hal yang sulit dilakukan.

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen pernah memberikan alasan: selain lahan pertanian tebu yang menyusut, petani juga banyak yang tidak tertarik menanamnya. Selain itu, permasalahan pabrik gula yang tidak efisien lantaran sebagian besar sudah tua juga menjadi sebab lainnya.

Stagnasi peningkatan produksi gula nasional ini pula yang membuat keran impor gula menjadi hal yang lantas tidak terelakkan. Masalahnya, jika formula yang sama terjadi dalam setidaknya tiga komoditas bahan pangan dalam tulisan ini, lantas, apa yang sebenarnya Jokowi dan kabinetnya telah lakukan dalam prioritas ketahanan pangan? Tentu, Jokowi mesti berkaca pada problem dasar ini.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara