tirto.id - Yuli, warga Surabaya mengeluh gara-gara harga beras medium di Pasar Manyar naik menjadi Rp10.000 per kg. Padahal, pada awal Januari 2018, ibu rumah tangga ini mengaku harga beras masih di kisaran Rp9.000 per kg.
“Sudah harganya mahal, [kualitas] berasnya malah jelek. Remuk-remuk, pecahan berasnya juga kecil-kecil. Terpaksa beli karena tidak ada lagi. Cari beras Bulog, tapi sudah enggak ada yang jual,” katanya kepada Tirto.
Kenaikan harga beras yang cepat juga dirasakan Yulia, warga Bandung yang mengaku harga beras pada pekan lalu masih Rp12.000 per kg. Namun sekarang, harga beras di Bandung sudah menyentuh Rp13.500 per kg.
Meski harga beras medium melonjak, Yuli dan Yulia sama-sama tidak mengurangi konsumsi beras. Mereka biasa membeli beras sebanyak 10 kg untuk dikonsumsi sampai dengan dua pekan ke depan.
Kondisi yang sama juga terjadi di Jakarta. Kementerian Perdagangan mencatat harga beras per 11 Januari 2018 sudah di atas ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium sebesar Rp9.450 per kg. Di Pasar Senen Blok VI misalnya, harga rata-rata sudah mencapai Rp12.500 per kg.
Akibat harga beras medium naik tidak terkendali, pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan impor sebanyak 500.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand, yang akan masuk akhir Januari 2018. Impor beras ini bukan yang pertama, sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam konteks untuk keperluan pemerintah, impor terjadi pada 2015. Namun, setiap tahun impor beras selalu terjadi, terutama untuk kebutuhan beras komersial seperti restoran dan kebutuhan beras khusus lainnya di luar yang dilakukan pemerintah melalui Perum Bulog.
“Beras itu komoditi utama. Ini bicara soal perut. Kita sendiri menyaksikan dan semua media memberitakan mengenai kenaikan harga beras yang terus naik signifikan,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita
Dasar kebijakan impor beras tersebut diatur Peraturan Menteri Perdagangan No. 1/2018 tentang Ekspor dan Impor Beras. Nantinya, beras yang diimpor adalah beras khusus yang akan dijual ke masyarakat sesuai dengan HET beras medium.
Meski impor beras bertujuan untuk dapat menstabilkan harga beras medium di dalam negeri, keputusan mengimpor beras dinilai kontraproduktif. Pasalnya, pemerintah menargetkan untuk tidak melakukan impor beras sampai dengan 2019, bahkan saat kampanye Pilpres dan awal-awal pemerintahan Presiden Jokowi, swasemba beras dibidik tercapai pada tiga tahun pertama.
Lantas apa yang menjadi penyebab adanya kebutuhan impor beras? Benarkah karena data mengenai persediaan beras nasional yang tidak akurat ?
Kalangan akademisi menilai data persediaan beras nasional dari Kementerian Pertanian (Kementan) sampai dengan saat ini belum akurat. Data yang diambil hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi beras, tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil di lapangan. Hal ini pun menjadi catatan oleh Ombudsman RI sebagai salah satu maladministrasi pengelolaan data beras.
“Soal data memang enggak bisa dipercaya lagi. Sulit untuk menaksir apakah produksi beras kita ini sudah memenuhi kebutuhan nasional, apa belum,” tutur Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Instistut Pertanian Bogor (IPB) kepada Tirto.
Oleh karena itu, data yang diyakini keakuratannya, terutama terkait ketersediaan beras adalah dapat dilihat dari pergerakan harga. Prinsip yang diambil adalah permintaan dan penawaran. Semakin banyak stok beras, semakin rendah harga beras, begitupun sebaliknya.
Stok beras yang menipis di pasar sudah terlihat ketika harga beras medium pada Agustus 2017 mengalami kenaikan 0,39 persen menjadi Rp10.616 per kg, dari harga beras rata-rata nasional pada Juli 2017 sebesar Rp10.574 per kg. Kenaikan harga beras pada Agustus tersebut disebabkan berbagai faktor, di antaranya antara lain mencuatnya kasus kecurangan oleh PT Indo Beras Unggul (IBU).
Kasus tersebut dinilai membuat pedagang beras kesulitan dalam mengelola stok berasnya terutama di Jakarta dan sekitarnya. Ini juga membuktikan bahwa stok beras di lapangan sangat kompleks, karena bisa ada di tangan petani, pedagang, masyarakat umum, hingga gudang-gudang Perum Bulog.
Selain itu, pada saat bersamaan, produksi beras juga terganggu akibat serangan hama yang masif. Saat melakukan peninjauan bersama asosiasi bank benih tani ke sejumlah sentra padi pada Juli 2017, Dwi menemukan sedikitnya 400.000 hektare terkena hama.
“Berangkat dari situ, kami mengambil kesimpulan bahwa produksi beras pada 2017 itu akan lebih rendah ketimbang realisasi produksi pada 2016, dan perlahan-lahan harga beras akan naik,” ujarnya.
Prediksi Dwi tidak salah. Dari data Kemendag, harga beras medium rata-rata nasional setelah Agustus, terus merangkak naik. Pada September, harga beras tercatat Rp10.635 per kg, lalu naik menjadi Rp10.710 per kg pada Oktober, dan menjadi Rp10.793 per kg pada November.
Pada Desember, rata-rata harga beras turun menjadi Rp10.778 per kg. Adapun, harga beras yang menurun itu terjadi setelah pemerintah, Satgas Pangan, dan Bulog melakukan operasi pasar pada November dan Desember 2017.
Selain harga, adanya gangguan produksi beras juga turut memengaruhi daya serap beras oleh Bulog. Sepanjang 2017, Bulog hanya menyerap 2,16 juta ton beras, atau 58 persen dari target sebesar 3,7 juta ton. Di awal tahun, stok beras di gudang-gudang Bulog hanya tersisa 950 ribu ton.
“Akibat serapan beras rendah, stok beras Bulog itu tinggal 900.000 ton. Dipotong operasi pasar, maka stoknya tinggal 300.000 ton, ini sudah terlampau tipis,” kata Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag kepada Tirto.
Dengan melihat data dari stok beras Bulog yang sudah tipis tersebut, Kemendag mengambil keputusan untuk melakukan impor beras. Karena bagaimanapun, stok beras di Bulog harus tetap dijaga tetap aman sampai dengan panen selanjutnya. Alibi semacam ini juga sering diutarakan oleh pemerintah sebelumnya saat akan impor beras.
Impor Beras antara Janji dan Realitas
Di lain pihak, stok beras medium yang seret justru disangkal Kementan. Pihak Kementan menegaskan produksi beras terus tumbuh, dan tidak mengalami gangguan yang berarti. Apalagi, sepanjang 2017, ada kenaikan luas panen sebanyak 350.000 hektare.
“Gubernur dan bupati melaporkan bahwa beras di daerahnya itu cukup, harganya pun di bawah HET. Itu artinya stok beras itu cukup,” kata Sumardjo Gatot Irianto, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian kepada Tirto.
Sayangnya, Kementan tidak merinci besaran volume produksi beras sepanjang 2017. Meski begitu, dia meyakini pasokan beras pada 2017 mengalami surplus. Keyakinan itu terlihat dari luas panen dan produktivitas lahan per hektare.
Di sisi lain, pernyataan Kementan yang selalu mengatakan produksi beras surplus dan stok cukup, tanpa disertai data yang akurat, membuat pemerintah "telat" dalam mengeluarkan kebijakan impor beras.
“Impor beras itu bisa dipahami apabila dikarenakan adanya gangguan produksi. Hanya saja, akibat data yang keliru, keputusan pemerintah mengimpor beras menjadi sangat terlambat,” tambah Dwi.
Rencana pemerintah untuk mendatangkan beras impor pada akhir Januari dinilai terlalu dekat dengan panen raya pada Maret 2017. Tidak menutup kemungkinan distribusi beras impor itu justru malah akan merugikan petani.
Melihat kondisi di atas, data yang tidak akurat terkait stok perberasan nasional memang perlu segera diperbaiki. Selain menjadi akar permasalahan, data yang tidak akurat juga berpotensi membuat pemerintah mengambil kebijakan yang keliru.
Setiap adanya keputusan impor beras selalu menjadi polemik yang sering mengulang hampir di setiap akhir atau awal tahun. Persoalan data-data yang dianggap tak akurat menjadi masalah yang mengulang, di sisi lain saat Kementan punya sikap sendiri terhadap keyakinan data yang mereka yakini soal produksi, dan berseberangan dengan realitas.
Persoalan data ini pun sudah menjadi catatan Ombudsman Republik dalam laporan "Gejala maladministrasi dalam pengelolaan data persediaan beras nasional dan kebijakan impor beras", salah satu saran Ombudsman kepada pemerintah adalah "memberi dukungan maksimum kepada BPS untuk menyediakan data produksi dan stok yang lebih akurat."
Di luar persoalan data, masalah kinerja Perum Bulog dalam kemampuannya menyerap beras para petani pun perlu jadi bahan evaluasi. Selama empat tahun penyerapan beras Bulog hanya berkisar di angka 1,9 juta ton hingga 2,9 juta ton. Jumlah sebesar itu akan keteteran untuk mengendalikan harga untuk kebutuhan operasi pasar maupun kebutuhan pemerintah seperti beras subsidi dan untuk keperluan bantuan bencana, dan lainnya.
Dengan stok beras di gudang Bulog yang minim di akhir dan awal tahun tentu jadi posisi yang tak bisa membuat pemerintah mengelak dari kebijakan impor beras. Pemerintah pun melupakan janji-janjinya seperti yang pernah disampaikan Jokowi saat kampanye pilpres dan di awal-awal berkuasa.
“Saya sampaikan berkali-kali bahwa dalam 3 tahun saya targetkan kepada Menteri Pertanian untuk bisa swasembada, tiga tahun tidak boleh lebih. Mungkin dimulai dengan beras, kemudian nanti jagung, kemudian gula, kemudian tahun berikut kedelai, terus daging, semuanya...Saya meyakini dalam tiga tahun kita akan kelimpahan yang namanya beras. Tidak ada impor lagi untuk beras setelah 3 tahun,” kata Jokowi saat Pembukaan Munas HIPMI XV Tahun 2015, di Bandung, 12 Januari 2015.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra