Menuju konten utama

Indikasi Maladministrasi dalam Praktik Impor Beras

Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan beras cukup namun Menteri Perdagangan Enggartisto Lukita menyatakan stok langka dan diperlukan impor beras.

Indikasi Maladministrasi dalam Praktik Impor Beras
(ilustrasi) Rencana impor beras. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman.

tirto.id - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan gejala maladministrasi pada impor beras yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Importasi ini rencananya akan dilakukan pada akhir Januari sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Ketua ORI Amzulian Rifai mengatakan kebijakan impor beras yang akan diambil oleh pemerintah pada awal 2018 ini menimbulkan pertanyaan publik, karena Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan beras cukup. Di lain sisi, Menteri Perdagangan Enggartisto Lukita menyatakan stok langka dan diperlukan impor beras.

“Impor beras informasi beda, impor juga akan dilakukan menjelang puncak panen segera terjadi. Kalau benar akan ganggu stabilitas harga. Kejadian ini berulang-ulang dan menjadi sorotan. Data simpang siur, sehingga ada gejala maladministrasi,” ujar Amzulian di kantor Ombudsman Jakarta pada Senin (15/1/2018).

ORI pun kemudian terdorong untuk melakukan pemantauan di 31 Provinsi sejak 10 Januari hingga 12 Januari 2018. Berdasarkan keluhan pedagang bahwa stok beras pas-pasan, tidak merata, dan harga meningkat tajam sejak Desember menurut Anggota ORI Alamsyah Saragih.

“Ada temuan pengelolaan pemerataan stok yang tidak tepat membuat stok tipis. Beras Sumatera Selatan diborong tiga provinsi berbeda. Jawa Tengah pasokan lancar, tapi ada rembeten naik diambil oleh (pasar induk beras) Cipinang,” ucap Alamsyah.

Selanjutnya, Alamsyah merincikan gejala maladminstrasi yang dimaksudkan ORI terkait adanya importasi ini, yaitu pertama, penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik. Kementerian Pertanian selalu menyatakan bahwa produksi beras surplus dan stok cukup, hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah, tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara rill.

Gejala kenaikan harga sejak akhir tahun, tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar, mengindikasikan kemungkinan proses mark-up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini. Akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan keputusan berpotensi keliru.

Kedua, mengabaikan prinsip kehati-hatian, dikarenakan keputusan impor beras untuk didistribusikan ke pasar secara langsung dilakukan dalam masa yang kurang tepat. Hasil pantauan ORI di 31 provinsi selama 10-12 Januari 2018, stok di masyarakat memang pas-pasan dan tak merata, tapi ada dalam situasi menjelang panen.

Ketiga, penggunaan kewenangan untuk tujuan lain. Pasal 6 huruf c Perpres No.48/2016 mengatur Perum Bulog melakukan pemerataan stok antar wilayah sesuai kebutuhan. Dalam situasi current stock pas-pasan dan tak merata, maka kewenangan yang harus dioptimalkan terlebih dahulu adalah pemerataan stok.

“Dalam situasi stok di Bulog menipis, dan psikologi pasar cenderung mengarah pada harga merangkak naik, maka jika pun harus impor tujuannya adalah untuk meningkatkan cadangan beras dan kredibilitas stok Bulog di hadapan pelaku pasar dalam kerangka stabilisasi harga. Bukan untuk mengguyur pasar secara langsung, apalagi pasar khusus yang tidak cukup signifikan permintaannya,” ungkapnya.

Keempat, penyalahgunaan kewenangan. Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Presiden (Perpres) No.48/2016, dan dictum ketujuh angka 3 Instruksi Presiden (Inpres) No.5/2015 mengatur bahwa yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga adalah Perum Bulog. Hal ini juga didukung oleh dokumen notifikasi World Trade Organizaion (WTO) terhadap Perum Bulog sebagai state trading enterprise (STE).

“Penunjukkan PT PPI sebagai importir berpotensi melanggar Perpres dan Inpres. Bulog yang punya notifikasi dari WTO. PT PPI enggak punya, kalau pun diproses, prosesnya enggak bisa cepat. Kalau dilanggar dampak internasional basa meluas,” kata Alamsyah.

Kelima, prosedur tak patut/pembiaran. Diktum kedelapan Inpres No.5/2015 mengatur bahwa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian melakukan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan Inpres tentang importasi tersebut. ORI menilai adanya simpang siur data mencerminkan Inpres tersebut belum difungsikan dengan baik.

Keenam, konflik kepentingan. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 1/2018 yang dibuat begitu cepat dan tanpa sosialisasi. Ini juga dinilai berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan.

Alamsyah mengungkapkan bahwa impor yang diatur pemerintah adalah beras umu (medium) dan yang mengalami kelangkaan dan mengalami kenaikan adalah beras umum (medium), bukan beras khusus. Namun, yang terjadi yang diimpor adalah beras khusus dari Vietnam dan Thailand. Kendati yang Kemendag menginstruksikan, PT PPI untuk mendistribusikan ke pasar kemudian dengan harga setara HET beras medium, yaitu Rp9.450 per kilogram.

“Mengingat margin yang tinggi antara harga beras impor dengan harga pasar domestik dan HET, siapa yang akan paling diuntungkan, jika impor dilakukan bukan untuk tujuan berjaga-jaga?” lontarnya.

Baca juga artikel terkait IMPOR BERAS atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yantina Debora