Menuju konten utama

Menanti Janji Swasembada Jokowi

Presiden Jokowi sudah terlanjur berikrar mencapai swasembada pangan khususnya beras dalam 3 tahun, tanpa impor. Dua tahun berlalu, Indonesia masih belum bisa lepas dari impor beras. Presiden Jokowi masih punya waktu setahun lagi untuk membuktikan ikrarnya.

Menanti Janji Swasembada Jokowi
Muspida plus melakukan penanaman padi perdana perluasan cetak sawah baru di Desa Peureupok Kecamatan Syamtalira Aron Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, Rabu (21/9). ANTARA FOTO/Rahmad.

tirto.id - Setop impor beras merupakan salah satu janji pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) yang sebentar lagi menginjak dua tahun. Targetnya, Indonesia sudah tidak lagi mendatangkan beras dari luar negeri pada tahun ketiga pemerintahan Jokowi - JK.

"Kalau ke depan Jokowi-JK yang jadi, kita harus berani setop impor pangan, setop impor beras, setop impor daging, bawang, kedelai, sayur buah, ikan, karena semua itu kita punya," kata Jokowi saat kampanye Pilpres di Cianjur, Jawa Barat, Rabu, 2 Juli 2014.

Jokowi-JK akhirnya memenangi pemilu. Target yang diusungnya ketika kampanye dijadikan program pemerintahan. Jokowi kembali menetapkan tekadnya untuk menghentikan impor pangan. Kali ini, ia memberi batasan tiga tahun untuk mewujudkan swasembada beras.

“Saya sampaikan berkali-kali bahwa dalam 3 tahun saya targetkan kepada Menteri Pertanian untuk bisa swasembada, tiga tahun tidak boleh lebih. Mungkin dimulai dengan beras, kemudian nanti jagung, kemudian gula, kemudian tahun berikut kedelai, terus daging, semuanya...Saya meyakini dalam tiga tahun kita akan kelimpahan yang namanya beras. Tidak ada impor lagi untuk beras setelah 3 tahun,” kata Jokowi saat Pembukaan Munas HIPMI XV Tahun 2015, di Bandung, 12 Januari 2015 seperti dikutip dari laman Setneg.

Dua tahun berlalu, impor beras ternyata masih terus berjalan, malah ada tren naik. Sisa waktu satu tahun dari target sepertinya sulit terealisasi.

Dua Tahun

Dalam dua tahun terakhir, impor beras masih harus dilakukan untuk mengamankan stok dan stabilitas harga. Pemerintah sendiri sempat gamang saat memutuskan impor beras, karena di atas kertas produksi beras terlihat begitu elok tapi kenyataannya stok beras pemerintah di Perum Bulog masih lemah. Padahal, pemerintah melalui menteri pertanian sudah melakukan upaya khusus, termasuk kebijakan subsidi bibit, pupuk, hingga pembagian alat mesin pertanian ke para petani.

Sayangnya, keputusan pahit impor beras medium di era pemerintahan Jokowi akhirnya tak bisa dihindari karena kondisi kekeringan yang melanda tahun lalu. Sempat ada perbedaan sikap antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang ngotot tak perlu ada impor beras, dengan Wapres Jusuf Kalla yang lebih realistis. Beras impor akhirnya tetap masuk ke Indonesia. Alasan JK memang masuk akal, adanya kekeringan hebat di Indonesia pada Agustus-November 2015 memicu mundurnya masa panen hingga berdampak pada stok beras di awal 2016, yang berisiko pada gonjang-ganjing harga beras hingga merembet ke risiko politik.

"Yang paling penting pemerintah menyiapkan cadangan (beras) nasional yang cukup. Nah termasuk dari impor tidak apa-apa," kata JK dikutip dari Antara November lalu.

Data berbicara, setelah keputusan yang menjatuhkan gengsi pemerintah itu, beras impor yang masuk ke Indonesia ada tren naik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama semester I-2016 sudah ada impor 1,073 juta ton beras, angka ini sudah naik 5 kali lipat atau 400 persen dari periode yang sama tahun lalu yang hanya 194,42 ribu ton. Pada triwulan I-2016 saat musim paceklik, ada impor 981,99 ribu ton beras yang sudah setara dari capaian satu tahun periode sebelumnya.

Secara tahunan, impor beras juga ada tren meningkat di era pemerintahan Jokowi. Pada 2015 tercatat impor beras secara total mencapai 861,58 ribu ton, realisasi impor beras sedikit naik dari periode 2014 yang mencapai 844,15 ribu ton. Rata-rata impor beras selama dua tahun tersebut sudah dua kali lipat dari realisasi 2013 yang hanya 472,63 ribu ton. BPS memang tak memisahkan jenis beras impor yang masuk, tapi pastinya impor beras khusus seperti untuk kebutuhan restoran dan jenis beras tak akan sebanyak kebutuhan beras medium di masyarakat. Ini harus sudah menjadi lampu merah buat pemerintah.

Torehan minus terkait impor beras sedikit terobati dengan capaian Indonesia bisa mengekspor beras meski dalam jumlah yang masih terbatas, dengan tren yang juga terus meningkat. Pada semester I-2016 kegiatan ekspor beras tercatat 884 ton, naik dari periode yang sama 2015 yang hanya 200 ton.

"Kepri (Kepulauan Riau) kita persiapkan untuk ekspor (beras organik) dan bisa memenuhi kebutuhan beras Singapura dan Malaysia yang selama ini kebutuhannya dipenuhi dari Vietnam, Thailand dan Myanmar," kata Mentan Amran dikutip dari Antara.

Kegiatan impor maupun ekspor beras merupakan sebuah output dari proses yang telah dilakukan pemerintah. Di atas kertas, realisasi produksi beras memang cukup meyakinkan. BPS mencatat produksi padi pada 2015 sebanyak 75,36 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 4,51 juta ton sekitar 6,37 persen dibandingkan 2014.

Artinya, dengan menggunakan hitungan konversi gabah ke beras 62,74 persen, maka produksi beras tahun lalu sekitar 47,2 juta ton. Capaian produksi jauh lebih tinggi dari 2014 yang hanya 41,2 juta ton. Sedangkan kebutuhan beras secara teori, dapat dihitung dari standar konsumsi beras orang Indonesia yang mencapai 124,89 kg per kapita per tahun dikali dengan penduduk 255,46 juta jiwa, maka diperoleh kebutuhan konsumsi beras 31,90 juta ton. Ini di luar dari kebutuhan beras untuk keperluan non pangan yang mencapai 1,45 juta ton. Sehingga total kebutuhan hanya 33,35 juta ton beras, jauh di bawah capaian produksi, alias surplus.

Namun, data-data ini memang sempat diragukan oleh pemerintah, khususnya oleh Wapres JK. Sehingga menjadi landasan pemerintah mengimpor beras. Ini membuktikan masih ada yang salah dalam upaya mengejar target swasembada beras.

"Angka yang 75 ton itu kita evaluasi karena itu terlalu tinggi, sehingga berbahaya untuk landasan perhitungan yang akan datang," kata JK, pada September lalu dikutip dari Antara.

Pola produksi beras memang tak bisa terjadi sepanjang tahun, ada masa-masa musim paceklik di awal tahun yang biasanya rentan terhadap gejolak harga karena faktor stok. Stok beras yang menjadi benteng pertahanan pemerintah memang masih bergantung dengan Bulog. Masalahnya, Bulog tak bisa diandalkan sepenuhnya menyerap beras lokal karena terbentur harga pembelian hingga kalah saing dengan jaringan para tengkulak. Target pengadaan 4 juta ton beras lokal di gudang Bulog sering meleset. Kalau sudah begini, cara termudah mengisi gudang-gudang itu dengan membeli beras dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand.

Jadi, apakah swasembada diartikan dengan bebas impor? Ya, tentunya sesuai dengan janji Presiden Jokowi saat kampanye dua tahun lalu. Pada waktu itu mungkin Jokowi tak berpikir bahwa merealisasikan swasembada tak hanya bebas dari impor dengan menggenjot produksi padi. Namun ada faktor-faktor lain seperti kemampuan Bulog dan realita perkembangan harga di pasar. Kenyataannya stok beras mayoritas tersebar di pedagang dan masyarakat umum.

Apapun alasannya, impor pangan apalagi beras mencerminkan kinerja pemerintah. Presiden Jokowi telah memberi tantangan sendiri bagi dirinya agar bebas dari impor beras dalam 3 tahun. Publik tentunya akan melihat hal yang sama, persoalan impor dan kondisi harga beras jadi pegangan mereka juga.

Dalam sebuah survei terbaru yang dilakukan CSIS terhadap 1.000 orang di 34 provinsi pada Agustus lalu, tentang “2 Tahun Jokowi: Optimisme Publik, Konsolidasi Kekuasaan dan Dinamika Elektoral, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi memang meningkat dibandingkan Oktober tahun lalu dengan Agustus 2016. Kepuasan meningkat dari 30 persen menjadi 46,8 persen. Khusus di bidang pangan, keyakinan publik terhadap pemerintah dalam komitmen meningkatkan ketahanan pangan relatif masih cukup tinggi, sebanyak 68,2 persen publik masih yakin, sisanya 29,9 persen tidak yakin.

Masih adanya masyarakat yang tak yakin terhadap persoalan ketahanan pangan, membuktikan bahwa pemerintah masih harus kerja keras menjalankan komitmennya mencapai swasembada tak hanya di atas kertas. Apalagi pemerintah akan menapaki tahun ketiga. Masih ada kesempatan setahun untuk menebus janji. Namun setelah itu, janji-janji lain menunggu ditepati untuk swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging.

Baca juga artikel terkait SWASEMBADA PANGAN atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti