tirto.id - "Boro-boro untung, buntung yang ada. Retail-retail pilih putus kontrak karena terus-terusan diperiksa polisi. Pemasaran kami anjlok."
Anton Apriyantono, Komisaris Utama dan Komisaris Independen PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (TPS Food) curhat bagaimana bisnis beras perusahaannya terkena terpaan kasus yang sempat melanda TPS Food Juli 2017 lalu. Anak usaha TPS Food, PT Indo Beras Unggul (PT IBU) terlilit skandal kasus hukum kecurangan menjual beras premium.
Reputasi perusahaan pada segmen bisnis beras sudah hancur hingga tidak mampu lagi memberikan keuntungan. Padahal, beras menjadi kontributor terbesar pada penjualan perseroan di bawah bendera TPS Rice. Sejak 2013 hingga 2016, kontribusi produk beras pada penjualan per tahunnya rata-rata 62,26 persen.
"Sekarang ini kami sudah dihancurkan reputasinya. Jadi, ya sudah kita tutup dulu (bisnis beras), sampai nanti kondisi sudah membaik, kebijakan pemerintah sudah membaik, mungkin baru nanti kami muncul lagi. Peluang itu kan kita nggak boleh tutup,” kata Anton kepada Tirto.
Persoalan yang melilit TPS Food berimbas pada harga saham perseroan dengan kode saham AISA ini. Pada perdagangan 4 Januari 2018, sahamnya hanya di level Rp470, setelah sempat mencapai titik tertinggi pada awal April 2017 yang menembus Rp2.300.
Rontoknya saham TPS cukup beralasan karena kinerja keuangan TPS Food memang terjungkal. Selama sembilan bulan di 2017, penjualan bersih TPS Food tercatat hanya Rp4,1 triliun, turun dari Rp4,9 triliun pada periode yang sama 2016 lalu.
Setelah meninggalkan bisnis beras yang diumumkan Desember lalu, TPS Food memilih fokus pada segmen bisnis mereka yang lainnya, yakni produk makanan dasar dan makanan ringan. Namun, keputusan itu harus ditebus dengan penutupan pabrik dan merumahkan para pekerja
"Produk-produk makanan lain akan terus kita tingkatkan. Kita lakukan inovasi dan efisiensi. Insya Allah kita akan jalan terus,” kata Anton.
Namun, apapun alasannya, fundamental bisnis di masa depan TPS Food masih menjadi pertanyaan besar. Ini karena pilar bisnis TPS Food didominasi penjualan beras, antara lain dari merek Maknyuss dan Cap Ayam Jago.
Beras Maknyuss dan Ayam Jago Hilang di Pasar
Di pasar umum, kini produk beras andalan TPS Food yaitu beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago sudah tidak lagi ditemukan di retail-retail modern. Tirto sempat mengunjungi sejumlah ritel modern yang ada di Jakarta, Depok, dan Bogor, pada pekan ini.
Di Hypermart Mall Pejaten Village, beras premium yang dijual hanya ada merek Topi Koki dan Hoki yang diproduksi PT Buyung Poetra Sembada Tbk. Kondisi serupa juga terjadi toko retail Giant, Depok, Jawa Barat.
“Semenjak ada aturan HET (Harga Eceran Tertinggi), beras yang masuk cuma Topi Koki aja. Padahal tadinya ada Si Pulen dan lainnya. Maknyuss juga ada tapi semenjak ada kasus itu jadi nggak masuk lagi,” kata Budi, seorang pekerja Giant di Depok.
Saat TPS Food meninggalkan bisnis beras karena alasan reputasi yang buruk akibat kasus hukum. Namun, faktor lain yang tak kalah penting mewarnai nasib pebisnis beras premium termasuk TPS Food adalah kebijakan pemerintah soal Harga Eceran Tertinggi (HET) terhadap produk beras. HET secara langsung membatasi peluang produsen beras mengambil untung lebih besar.
Sesuai Permendag Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan HET Beras yang berlaku sejak 1 September 2017, beras kualitas medium untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi adalah dipatok Rp9.450 per kg dan Rp12.800 per kg untuk jenis beras premium.
Adanya HET memperburuk kondisi bisnis beras TPS Food. Beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago yang semula bisa dijual hingga sekitar Rp20 ribu per kg harus diturunkan harganya menyesuaikan HET beras premium.
“Jauh sebelum HET ditetapkan ritel-ritel sudah memutuskan kontrak. Lalu ditambah lagi ada HET. Ya, sudahlah, tamat sudah,” kata Anton yang juga mantan Menteri Pertanian.
Persoalan HET ini memang menjadi kontroversi di kalangan pelaku bisnis beras. Bahkan penggerebekan gudang PT IBU milik TPS Food Juli 2017 lalu tak terpisahkan dari kebijakan ini.
Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Beras dan Padi (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, perhitungan HET saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan.
Formula HET yang berlaku mengacu pada harga gabah petani di kisaran Rp4.500 per kg, sedangkan fakta lapangan tercatat harga gabah di tingkat petani sudah mencapai Rp5.500-6.000 per kg. Sutarto mencatat di Karawang, harga gabah sudah mencapai Rp6.700 kg.
Harga gabah di tingkat petani adalah angka dasar dalam menentukan harga jual di pasar. Setelah itu akan ditambah dengan biaya panen, biaya pengeringan, biaya angkut, dan biaya giling yang mencakup komponen SDM, listrik, tenaga transportasi, hingga pengemasan.
“Nah, kalau di tingkat petani sudah tinggi, lalu di atasnya sudah ada harga yang dibatasi, jadinya bagaimana. Keuntungan dari beras premium dengan kondisi saat ini di mana gabah mencapai Rp6.000 ya sudah tentu sangat tipis sekali (margin). Bahkan untuk beras medium pun sudah tidak masuk (hitungan bisnis),” ungkap Sutarto kepada Tirto.
Reputasi bisnis yang hancur memang jadi alasan yang logis untuk meninggalkan bisnis beras. Namun, kebijakan HET yang dipatok pemerintah tak bisa dipungkiri menentukan keputusan bisnis produsen beras premium seperti TPS Food.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra