tirto.id - Data kebutuhan dan produksi beras yang berbeda antara kementerian kerap memicu perdebatan. Pada awal 2018, misalnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan impor beras dibutuhkan untuk menjaga stabilisasi ketersediaan dan harga beras, sementara Kementerian Pertanian (Kementan) selalu berdalih ketersediaan beras cukup.
Silang pendapat di antara dua kementerian ini disebabkan pendekatan masing-masing kementerian atau lembaga berbeda. Kemendag misalnya, menggunakan stabilisasi komoditas di pasar, arahnya ke supply demand, beras mesti lebih dari cukup untuk cegah kenaikan. Kementan sebaliknya, lebih menggunakan pendekatan luas area lahan pertanian, dengan bilangan rumusan hasil panen rata-rata.
Perbedaan itu diperparah dengan kenyataan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) soal kebutuhan pangan, khususnya beras sejak 1997 memang tidak akurat. Akibatnya, setiap pengambilan keputusan soal kebutuhan beras, perdebatannya selalu berkutik soal data kebutuhan dan produksi yang berbeda-beda antar-institusi pemerintah.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui, data produksi beras sejak 1997 keliru dari realisasi lapangan dengan melihat faktor jumlah luas tanam semakin berkurang, sedangkan konsumsi semakin meningkat karena jumlah penduduk semakin bertambah.
"Angka produksi beras sejak 1997 sampai dengan sekarang itu terjadi produksi yang bertambah terus, padahal di lain pihak sawah berkurang 1,5 persen per tahun, dan penduduk bertambah," kata JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, seperti dikutip Antara, Selasa (23/10/2018).
Kementan memprediksi produksi gabah kering giling (GKG) secara nasional pada 2018 mencapai sekitar 80 juta ton. Data proyeksi produksi beras nasional itu didasarkan pada penghitungan luas lahan yang dilakukan Kementan.
Penghitungan luas lahan panen GKG oleh Kementan selalu naik setiap tahunnya, sementara kata Jusuf Kalla, luas sawah pasti berkurang karena ada pembangunan di daerah. Sehingga, JK menginstruksikan BPS mencari metode penghitungan baru mencakup luas lahan dengan benar dan secara akademis.
"Itu [luas sawah] berkurang terus, [tapi] tidak dikurangi di penghitungan, karena itu makanya naik terus beras itu, padahal sebenarnya tidak. Tapi konsumsi [beras] juga tidak menurun, jangan lupa," kata JK.
Karena itu, pemerintah akhirnya sepakat menyempurnakan metode penghitungan produksi beras dengan menggunakan data pengawasan satelit untuk memperkirakan luas lahan sawah. Selain itu, pemerintah juga memutuskan data BPS akan menjadi satu-satunya data yang menjadi acuan dalam menentukan kebijakan beras.
Data BPS Jadi Satu-satunya Acuan
Terkait ini, BPS telah mengeluarkan data produksi beras dengan metodologi baru dan hasilnya berbeda dengan hasil hitungan Kementan. BPS memperkirakan produksi panen padi di Indonesia hingga akhir tahun 2018 mencapai 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka ini lebih rendah dari data Kementan yang menyebut GKG 2018 mencapai 80 juta ton.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan angka itu dihitung dari luas sawah produktif penghasil padi sejak Januari hingga Desember yang luasnya mencapai 10,9 juta hektare. Penghitungan produksi padi di Indonesia kini telah diperbaiki menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA).
Cara tersebut telah dikembangkan beberapa kementerian/lembaga antara lain: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Badan Informasi dan Geospasial, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Jika GKG dikonversi menjadi beras, produksi padi tersebut setara dengan 32,42 juta ton beras. Lagi-lagi, angka ini lebih rendah dari data Kementan yang mencatat produksi beras mencapai 46,5 juta ton.
"Dibandingkan dengan data konsumsi beras yang diperkirakan mencapai 29,57 juta ton hingga akhir tahun, maka terjadi surplus produksi beras sekitar 2,85 juta ton," kata Suhariyanto di kantor BPS Jakarta, Rabu kemarin (24/10/2018).
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Kementan Syukur Iwantoro mengaku sangat senang dan mengapresiasi rilis data BPS itu. Menurutnya, pihaknya menyambut baik perbaikan metodologi perhitungan kebutuhan pangan, khususnya beras.
Akan tetapi, Syukur menampik tudingan Kementan selama ini merilis data produksi beras yang tidak akurat dengan metodologi yang salah. Menurut Syukur, Kementan selama ini hanya mengacu kepada data yang dirilis BPS.
"Dalam undang-undangnya satu-satunya sumber data yang jadi referensi itu BPS. Jadi kami tidak pernah mengeluarkan data produksi pertanian selain berdasarkan sumber BPS," kata Syukur, kemarin.
"Jadi, dengan adanya perubahan ini, kami mengacu ke BPS. Itu masalah perhitungan metodelogi saja. Perubahan ya tanya BPS," kata dia menambahkan.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan, momentum ini baik bagi pemerintah memperbaiki data pangan, khususnya beras yang selama ini kurang baik.
"Memang selama ini [pemerintah] enggak jujur. Lebih mementingkan citra ketimbang realitas lapangan," kata Said kepada Tirto.
Menurut Said, pihaknya sudah memperingatkan pemerintah jauh-jauh hari terkait polemik data kebutuhan dan produksi beras ini. Sayangnya, kata dia, selama ini pemerintah kerap tidak menghiraukan dan produksi masih dianggap konstan.
"Artinya sistem pangan kita masih lemah. Karena sistem [yang baik] dimulai dari perencanaan baik, dan perencanaan terjadi hanya akan terjadi kalau basis data dan argumentasinya baik kan. Selama ini kita gagal dalam konteks itu," kata Said.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz