Menuju konten utama

Lagu Lama Polemik Impor Beras yang Berpangkal Soal Data

Menko Darmin Nasution mengatakan basis data produksi beras telah menggunakan satelit sebagai dasar menghitung produksi beras.

Lagu Lama Polemik Impor Beras yang Berpangkal Soal Data
Sejumlah buruh panggul memikul beras hasil serapan dari petani di Gudang Bulog Lingga Jaya, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (15/5/2018). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi.

tirto.id - Keputusan Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan izin impor beras sebanyak 500 ribu ton kepada Perum Bulog kembali menuai polemik. Persoalan data yang jadi acuan oleh Kemendag dan Kementerian Pertanian (Kementan) sering berbeda.

Kemendag menyatakan impor beras dibutuhkan untuk menjaga stabilisasi ketersediaan dan harga beras apalagi menghadapi Puasa dan Lebaran. Sementara itu, pihak Kementan selalu berdalih ketersediaan beras cukup. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution hanya tersenyum saat ditanya mengenai polemik yang mewarnai impor beras

“Mereka mah berdebat,” kata Darmin di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (24/5/2018).

Pemerintah melalui kantor Kemenko Perekonomian telah memutuskan impor beras berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin Darmin, yang turut dihadiri Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Perum Bulog sebagai BUMN yang mendapat tugas impor beras.

Darmin mengatakan, koordinasi antar-kementerian/lembaga selama ini berjalan dengan baik. “Koordinasi [di rapat koordinasi] oke-oke saja mereka. Begitu di luar [rakor] mulai berbeda pendapat,” kata Darmin.

Menurut Darmin, saat ini basis data produksi beras telah menggunakan satelit untuk menjadi tolok ukur dalam menghitung ketersediaan dan kekurangan atas kebutuhan konsumsi beras. Kendati demikian, data tersebut selama ini sering ditafsirkan berbeda-beda.

“Sebetulnya memang sawah itu luas, kan. Satelit itu cuma gambar tetap harus diterjemahkan menjadi ini sawah apa alang-alang. Itu orang [berpendapat] bisa berbeda. Sehingga biarpun pakai satelit, itu selalu ada perbedaan,” kata Darmin.

Selain itu, kata Darmin, tafsiran yang berbeda itu ditambah dengan melihat kenyataan harga beras di pasaran. "Kalau Anda bilang beras cukup, tapi harga naik, kan, repot itu," kata Darmin.

Secara stok beras di gudang Bulog saat ini memang mencapai 1,3 juta ton. Jumlah ini memang sedikit di atas batas minimum stok sesuai keputusan rakor terbatas April 2018 yang mencapai 1-1,5 juta ton.

Hal itu diakui Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, pada Rabu (23/5/2018). Menurut Enggartiasto, keputusan impor beras ini merupakan hasil rapat koordinasi antara pihaknya dengan Menko Perekonomian, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama Bulog, serta perwakilan dari Kementerian BUMN.

“Jadi, itu keputusan Rakortas dan sudah disampaikan di kabinet. Beras impor itu akan jadi CBP (Cadangan Beras Pemerintah)” kata Enggartiasto.

Impor beras itu, kata Enggartiasto, telah dipastikan karena sudah dilakukan tender yang dilakukan Bulog. “Saya hanya meneruskan persetujuan dari rakor. Kemudian permintaan dari Bulog, atas perintah rapat koordinasi. Maka, saya mengeluarkan surat persetujuan impor," kata dia.

Pernyataan Enggartiasto yang terang-terangan ini berbanding terbalik dengan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Ia selalu mengelak soal kebutuhan impor beras dalam negeri tahap kedua di 2018 sebesar 500 ribu ton. Amran tetap bersikukuh bahwa pasokan beras dalam negeri sudah cukup besar.

“Suplai di Cipinang dulu 15 ribu, hari ini 41 ribu ton. Kenapa harga tinggi? Itu pertanyaan kami juga,” kata Amran di Kantor Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Jakarta, Senin (21/5/2018).

Saat ditanya lebih lanjut mengenai rekomendasi Kemendag terhadap impor beras tahap kedua tersebut, Amran berdalih bahwa saat ini fokus kementeriannya adalah di sektor produksi. “Kami sekarang fokus produksi, domainnya pertanian produksi, teknologi, mendampingi produksi dan menyediakan sarana produksi,” kata Amran.

Persoalan serupa juga muncul pada awal tahun, saat pemerintah memutuskan impor sebanyak 500.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand, yang akan masuk akhir Januari 2018. Persoalan data, menjadi polemik antara kementerian teknis Kementan dan Kemendag.

Ketahanan Pangan Tidak Tercipta

Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi mengatakan, polemik data pangan yang sering terjadi setiap tahun sebagai cerminan tidak terciptanya ketahanan pangan untuk masyarakat/konsumen sebagai pihak yang rentan terdampak.

"Sebenarnya konsumen ini, kan, paling rentan. Dari harga naik atau turun, itu menjadi kendala pada saat harga naik. Naik, tapi tidak ada barangnya. Negara punya tanggung jawab di ketahanan pangan," kata Sularsi kepada Tirto, Kamis (24/5/2018).

Menurutnya, ketahanan pangan menjadi tanggung jawab pemerintah, yang meliputi ketersediaan dan keterjangkauan barang di pasaran. Sularsi berkata, jangan sampai ada kesenjangan ketersediaan beras di setiap daerah.

“Adanya ketersediaan pangan, tapi tidak bisa diakses oleh konsumen, sama saja tidak memberikan ketahan pangan. Adanya ketahanan pangan ini, kan, bisa membuat kedaulatan pangan," kata Sularsi.

Sularsi menyatakan, ketahanan pangan dapat dimulai dari mendorong produktivitas pertanian. Ia mengatakan, kebijakan pemerintah untuk impor beras dan operasi pasar hanya solusi sesaat.

“Yang dibutuhkan masyarakat, kan, ada kestabilan," kata Sularsi.

Infografik CI Harga eceran beras nasional

Sementara itu,Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso menjelaskan, impor beras biasanya diperhitungkan dengan membandingkan produksi terkini dengan prediksi produksi mendatang.

"Pada dasarnya produksi nasional kita, kan, berfluktuasi, karena ada perubahan iklim. Tahun lalu, kan, ada masalah, sehingga harga naik. Sekarang kita prediksi bagaimana situasi akhir tahun nanti sampai awal tahun depan pada masa paceklik," kata Sutarto kepada Tirto, Kamis (24/5/2018).

Ia mengatakan bahwa produksi tahun ini lebih baik dari tahun lalu, tapi stok akhir tahun lalu sampai awal tahun ini produksinya kurang.

“Sekarang kekurangan tahun lalu berapa? Produksi saat ini berapa? Nah [jumlah] itu, lalu dibagi sampai kebutuhan awal tahun depan. Bisa enggak buat sampai awal tahun depan. Pemerintah menghitungnya dari situ,” kata dia.

Sutarto menyatakan, kendati produksi tahun ini relatif lebih bagus dari tahun lalu, namun harga masih relatif tinggi di pasaran. Hal ini terjadi, karena pemerintah sempat menetapkan Bulog membeli gabah petani dengan fleksibilitas hingga 20 persen.

Pada Februari lalu, kata Sutarto, pemerintah melalui Kemendag dan berdasarkan hasil rapat koordinasi bidang ekonomi memutuskan memberikan fleksibilitas harga kepada Bulog sebesar 20 persen untuk membeli harga gabah dari petani. Artinya, Bulog dapat membeli gabah dari petani lebih tinggi 20 persen dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan. Aturan ini diberlakukan hingga April.

Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.5/2015 besaran HPP Perum Bulog untuk gabah kering panen (GKP) adalah Rp3.700 per Kg di tingkat petani dan Rp3.750 per Kg di tingkat penggilingan. Sementara untuk gabah kering giling (GKG) HPP ditetapkan Rp4.600 per Kg di tingkat penggilingan dan Rp4.650 di gudang Bulog.

Seharusnya daya serap beras petani oleh Bulog bisa lebih besar dengan adanya fleksibelitas pembelian beras, termasuk untuk kepentingan CBP maupun stok beras di gudang Bulog. Impor beras akan terus terjadi bila persoalan data dan kesanggupan Bulog dalam menyerap beras petani secara maksimal masih jadi persoalan.

Baca juga artikel terkait IMPOR BERAS atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz