Menuju konten utama

Ide Dirut Bulog Buwas Jual Beras Saset Dinilai Kontraproduktif

Rencana Buwas dinilai tidak cocok, bahkan kontraproduktif. Alih-alih menurunkan harga, beras saset ini justru akan lebih mahal dari yang dijual per kilogram.

Ide Dirut Bulog Buwas Jual Beras Saset Dinilai Kontraproduktif
Ilustrasi. Petugas bersiap mendistribusikan beras medium saat operasi pasar di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah,Solo, Selasa (9/1/2018). ANTARA FOTO/Maulana Surya.

tirto.id - Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) berencana membuat beras dalam kemasan kecil atau renceng berukuran 200-250 gram dengan harga yang dinilai ekonomis, yaitu Rp2.000 per saset. Direktur Utama Bulog, Budi Waseso menyebut, ide itu sebagai bentuk intervensi agar masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah dapat menjangkaunya.

“Gimana caranya sampai ke tingkat terbawah, maka saya bilang ke direksi kemas beras renceng 200 gram atau 250 gram untuk dapat dibeli oleh masyarakat dengan penghasilan paling rendah. Dengan uang Rp2.000 saja tetap bisa beli nasi. Kalau yang satuan kilogram, kan, paling enggak Rp9000-an,” kata pria yang akrab disapa Buwas ini, di kantor Bulog, Jakarta, Senin (14/5/2018).

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ini mengumpamakan beras sebagai produk seperti kopi. Buwas berharap beras dapat dibeli dengan mudah, semudah masyarakat membeli kopi di warung kelontong.

“Kalau kita mau minum kopi, udah ada kopi saset. Mau makan nasi [cukup] Rp2.000 perak bisa langsung beli, sobek [bungkusnya], masak,” kata Buwas.

Selain itu, Buwas meyakini cara ini dapat menekan keberadaan mafia pangan. Pria kelahiran Pati, 19 Februari 1961 ini berkata, beras kiloan atau curah sangat mudah diserap dan dipermainkan oleh para tengkulak dan mafia pangan. “Kalau saset silakan saja mereka mabuk bukain satu-satu,” kata Buwas.

Namun demikian, rencana Buwas tersebut dikritik oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) karena dinilai tidak cocok, bahkan kontraproduktif. Alih-alih menurunkan harga, beras saset ini justru akan lebih mahal dari yang dijual per kilogram.

Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, menyatakan, karakter produk beras berbeda dengan kopi. Menurut dia, beras adalah bahan pokok, sedangkan kopi merupakan bahan pendukung makanan atau minuman.

“Maka, enggak bisa dilakukan dengan cara pengemasan saset. Perlu kajian detail,” kata Agus kepada Tirto, Selasa (15/5/2018).

Agus menyatakan, ide tersebut juga bisa menjadi kontraproduktif dengan misi keterjangkauan harga yang diniatkan Bulog. Sebab, kata Agus, jika dihitung secara kasar saja, maka harga beras saset ini tidak ekonomis dibandingkan beras kilogram.

Misalnya, Agus mencontohkan, harga beras saset dibanderol Rp2.000 untuk beras ukuran 200 gram, maka 1 kilogramnya diperlukan biaya Rp10.000. Sedangkan, harga beras 1 kilogram hanya Rp9.450.

“Perlu kajian ulang. Kalau Rp2.000 per 200 gram sama saja 1 kilogram Rp10 ribu. Masyarakat lebih memilih beli setengah kilogram atau satu kilogram sekaligus,” kata Agus mencontohkan.

Dengan kondisi seperti itu, kata Agus, apabila Bulog tetap bersikukuh membuat dan memasarkan beras saset, maka segmen konsumennya juga perlu dipertanyakan. Sebab, Agus meyakini mayoritas masyarakat enggan membelinya.

Menurut Agus, mayoritas masyarakat tinggal dalam rumah tangga yang membutuhkan konsumsi beras tiap harinya, tidak terkecuali masyarakat ekonomi rendah. Karena itu, kata Agus, maka kecenderungan masyarakat akan lebih memilih menyimpan beras dengan jumlah lebih banyak dengan harga lebih murah.

“Kalau diedarkan tidak banyak masyarakat beli, karena masyarakat banyakan di rumah, bukannya camping [berkemah]” kata Agus.

Agus juga menentang anggapan Buwas yang menyebut cara tersebut dapat menjadi strategi untuk menekan keberadaan mafia pangan, khususnya di sektor beras.

Seharusnya, kata Agus, cara yang efektif dan perlu dilakukan Bulog adalah bersinergi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta pihak terkait lainnya dengan skema yang matang dan jangka waktu yang panjang.

“Kalau mau mendekatkan dan memberikan keterjangkauan masyarakat terhadap beras, caranya enggak gitu. Tapi, gimana Bulog dengan kementerian terkait melakukan cara penjualan tertutup dengan subsidi penuh dengan harga murah,” kata dia.

Ia menambahkan “memberantas mafia beras juga perlu bersinergi dengan kementerian, seperti [Kementerian] Perdagangan dan [Kementerian] Pertanian dan pihak terkait lain.”

Hal senada juga diungkapkan pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori. Menurut dia, produk beras dengan kemasan kecil atau saset seperti yang diwacanakan Budi Waseso justru akan membuat harga semakin mahal.

“Dengan kemasan kecil itu bakal membuat biayanya tinggi, baik untuk keperluan kemasan maupun distribusinya. Saya enggak punya hitungan, tapi sudah pasti dengan mengemas lebih kecil itu butuh effort yang lebih besar ketimbang kemasan besar. Kemasan kecil juga membuat ongkos kemasan lebih mahal,” kata penulis buku Ironi Negeri Beras (2008) ini kepada Tirto.

Selain itu, kata Khudori, juga tidak tepat menjadikan kelas ekonomi bawah menjadi sasaran, karena warga yang tergolong miskin sudah biasa membeli beras dalam ukuran literan di toko-toko kelontong, yang harganya bisa lebih murah.

“Paling kecil setengah liter atau kira-kira 3500-an gram. Kalau satu liter Rp8.500 berarti setengah liter Rp4.259. Jadi, dalam praktik sehari-hari pembelian dalam gram itu sudah terjadi. Bukan hal baru,” kata Khudori.

Khudori menyatakan, sebetulnya untuk menjangkau kebutuhan warga miskin, pemerintah sudah punya banyak skema bantuan agar konsumsi dan gizi mereka tetap terjaga baik. Salah satunya bantuan pangan non-tunai dan bansos beras sejahtera (rastra).

“Jika bantuan ini disalurkan sesuai jadwal dan tidak mundur, warga miskin sudah cukup terbantu 30-40 persen kebutuhan karbohidratnya. Itu jika semua uang bantuan pangan non-tunai dibelikan beras,” kata dia.

Menjawab sejumlah kritikan itu, Direktur Pengadaan Bulog, Andrianto Wahyu Adi mengatakan bahwa produk beras kecil/renceng memang masih dalam pengkajian. Ia belum dapat menjelaskan secara detail efisiensi biaya dalam pengemasan dan pendistribusiannya.

Skema pendistribusian, kata Andrianto, juga masih dibahas secara internal. “Beras renceng masih kami kaji. Khususnya biaya mengemas, kemasannya, dan biaya distribusi ke titik distribusi," kata Andrianto kepada Tirto, Selasa (15/5/2018).

Akan tetapi, kata Andrianto, pihaknya memastikan bahwa ihwal pengadaan beras saset bertujuan untuk membantu kalangan masyarakat kelas ekonomi bawah. Sehingga, beras yang akan digunakan adalah beras medium yang harganya juga medium.

Baca juga artikel terkait BERAS BULOG atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz