tirto.id - Sejarah reformasi Indonesia pada 1998 ditandai dengan lengsernya Soeharto pada 21 Mei, yang kemudian diperingati sebagai Hari Reformasi Nasional. Namun apa sebetulnya yang melatarbelakangi peristiwa tersebut? Apa saja dampaknya untuk Indonesia?
Sejarah reformasi Indonesia pada 1998 hingga kini menjadi peristiwa yang tak terlupakan meski telah lama dimakan waktu. Pasalnya, insiden tersebut merupakan puncak kekecewaan terhadap masa pemerintahan Orde Baru (Orba).
Reformasi terjadi bukan tanpa alasan, ada motif di balik aksi besar-besaran yang lantas memukul mundur presiden Soeharto dari jabatannya. Serangkaian protes diserukan demi menghendaki perubahan kehidupan bernegara menuju lebih baik secara konstitusional.
Aksi tersebut didorong oleh daftar panjang ketidakpuasan rakyat terhadap rezim Orde Baru dengan krisis moneter pada 1997-1998 sebagai klimaksnya. Jauh dari adil dan makmur, rakyat kemudian jengah dengan buruknya situasi ekonomi Indonesia, lebih-lebih harga bahan pokok kian mengganas.
Krisis ekonomi, yang kala itu berkecamuk di Asia dan berimbas hingga ke Indonesia, merupakan impuls eskalasi drama runtuhnya kekuasaan Orba. Mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 kemudian menjadi titik balik persilihan dari Era Orde Baru menjadi Era Reformasi.
Latar belakang Reformasi 1998
Lengsernya Soeharto tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Namun, bukan juga karena kelegawaan dia untuk melepas mandat sebagai presiden.
Sudah sejak lama rakyat bersambat terkait harga-harga yang melambung serta kebijakan yang semena-mena. Bibit-bibit ketidakpuasan sudah timbul sejak 1997. Terlebih, tahun itu merupakan puncak krisis finansial di Asia, yang kemudian juga berimpak ke Indonesia.
Memasuki 1998, Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang porak-parik. Nilai tukar rupiah anjlok, bahan-bahan pokok melonjak, sedangkan Soeharto kala itu masih denial dan mencoba menenangkan rakyatnya.
Pada 15 Januari tahun itu, Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan IMF. Lewat prosesi itu, ia mencoba meyakinkan rakyatnya, yang kadung panik melihat meroketnya harga-harga, bahwa keadaan ekonomi bakal membaik.
Soeharto menegaskan, kesepakatan dengan IMF membuatnya tak lagi mencantumkan angka pertumbuhan 4 persen di RAPBN 1998/99, melainkan 0, dengan laju inflasi 20 persen dan kurs Rp5.000 per dolar.
Namun, apa daya, rupiah justru semakin melemah pada periode menjelang akhir Januari. Di pasar uang antarbank kala itu, rupiah menyentuh angka psikologis Rp10.600 per dolar.
Menginjak Februari 1998, Soeharto tak lagi bisa tenang melihat kemelut di negeri yang telah dipimpinnya selama lebih dari tiga dekade ini.
Walakin, kepanikan itu tak membuatnya kehilangan kepercayaan diri. Ia tetap ingin menjadi presiden pada periode berikutnya, dengan menetapkan Habibie sebagai pendampingnya.
Niat itu jelas menimbulkan berbagai kritik dari masyarakat. Media massa, yang sebelumnya dibungkam dan tak berani mengkritik pemerintah, mulai frontal memberitakan bobroknya pemerintahan, termasuk kabar penculikan aktivis.
Sepanjang Februari, aksi massa terjadi di mana-mana. Tidak hanya kalangan mahasiswa, dosen dan elemen masyarakat lain juga secara tegas menunjukkan simpatinya.
Namun, bagai mencincang air, upaya demonstrasi besar-besaran itu tak membuat niat Soeharto untuk menjadi presiden lagi lenyap. Pada 10 Maret tahun itu, ia ditetapkan sebagai presiden untuk yang ke-7 kalinya, melalui Sidang Umum MPR.
Pada saat yang sama, krisis moneter tak juga membaik. Bahkan, empat hari sebelum penetapan itu, tepatnya 6 Maret, nilai rupiah tembus Rp12.000 per dolar AS. Di tengah situasi itu, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya terus menggelorakan protes di berbagai daerah.
Intensitas dan partisipan protes terus meningkat seiring April menyambut. Akan tetapi, pada saat yang sama pula aparat tak segan main kasar, bahkan menembak para demonstran. 6 April 1998, Media Indonesia melaporkan 38 mahasiswa hilang pasca-unjuk rasa.
Pintu bulan Mei terbuka, tetapi upaya reformasi ekonomi Soeharto masih buntu. Pada tanggal 5 bulan itu, Republika melaporkan bahwa BBM dan tarif dasar listrik naik, masing-masing sebesar 46,3 persen dan 60 persen.
Soeharto sempat meminta bantuan ke berbagai negara seperti Jepang, Australia, dan Malaysia. Dari Negeri Kangguru, Indonesia memperoleh bantuan 30 juta dolar berupa bahan pokok.
Pada titik itu--krisis ekonomi yang semakin suram--Soeharto masih optimistis. Ia terus menggemakan agar rakyat tenang serta mencegah timbulnya reformasi. Namun pada kenyataannya, titah itu berwujud tragedi penghilangan paksa para mahasiswa, termasuk Tragedi Trisakti.
Dampak Reformasi 1998
Reformasi 1998 meninggalkan dampak besar bagi negara, utamanya bagi mereka yang memiliki darah etnis Tionghoa. Mereka adalah kelompok paling terdampak dan korban utama dari kerusuhan dan penjarahan menjelang 21 Mei.
Reformasi merupakan agenda yang tak bisa ditawar lagi dan harus lekas dilaksanakan, memaksa orang nomor satu lengser dari jabatannya. Sebab, rangkaian perubahan, termasuk terbentuknya kabinet baru yang masih dipimpin Soeharto, tidak mampu memberikan faedah bagi rakyat.
Krisis ekonomi berkepanjangan dan beban utang luar negeri yang jatuh tempo nyaris membawa negeri ini ke liang kubur, ditambah tuntutan agar berpihak pada rakyat kecil. Itu semua menjadi rentetan kendala upaya pemulihan kondisi Indonesia.
Lantas dampak apa yang terjadi setelah jatuhnya rezim Orde Baru? Apakah reformasi yang diidamkan rakyat betul terwujud?
Indonesia yang kala itu dinahkodai Presiden Bacharudin Jusuf (BJ) Habibie mulai menyiasati sejumlah perubahan sebagaimana diinginkan rakyat segmen demi segmen. Mantan Wakil Presiden dari Soeharto tersebut perlahan membawa negara ini bangkit dari keterpurukan.
Upaya yang dilakukan BJ Habibie antara lain adalah menumbuhkan kembali demokrasi dan kebebasan berpendapat, menamatkan pembungkaman menahun yang dilakukan rezim Orde Baru. Putusan tersebut dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang memuat 10 bab dan 21 pasal.
Habibie juga memberikan otonomi kepada daerah-daerah melalui UU No.22 Tahun 1999. Ia menghapus sentralisasi--karakteristik rezim Orde Baru yang sudah mendarah daging--dengan menerbitkan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kedua undang-undang tersebut kemudian mengembalikan semangat demokrasi yang dampaknya dapat dirasakan hingga saat ini. Walakin, selama berkuasa, Habibie pernah mengambil langkah kontroversial, yakni memberikan referendum kepada Timor Timur yang diintegrasikan secara paksa lewat invasi militer pada 1975.
Referendum diakhiri dengan perolehan suara yang didominasi oleh rakyat Timor Timur yang menghendaki melepaskan diri dari Indonesia dengan persentase sebesar 78,50 persen.
Perubahan setelah reformasi dapat dikatakan cukup signifikan. Sebagai misal, partai politik baru bermunculan usai runtuhnya rezim Orde Baru. Partai-partai tersebut berangkat dari berbagai latar belakang dan tujuan.
Tuntutan pembebasan tapol (tahanan politik) dan napol (narapidana politik) Islam dari sejumlah organisasi kepada pemerintah juga merupakan wujud upaya transformasi.
Reformasi juga memberikan dampak besar di bidang sosial. Meski pemerintahan otoriter telah tumbang, sebagian masyarakat masih menyisakan trauma.
Pada hari-hari menjelang 21 Mei 1998, banyak masyarakat melakukan penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, terutama terhadap etnis Tionghoa. Itu jelas membuat traumatis mendalam bagi para korban, serta pecahnya kerukunan antarmasyarakat.
Terakhir, reformasi juga meninggalkan dampak dalam bidang ekonomi. Layaknya jauh panggang dari api, keadaan ekonomi Indonesia pasca-reformasi, menurut Ikhsan Sirot & Hamdan Tri Atmaja dalam Journal of Indonesian History 9 (2), justru semakin melemah.
Pasalnya, selama proses reformasi banyak Instansi perbankan yang dibekukan sebab utang luar negeri yang menggunung. Kondisi ini menyebabkan perekonomian Indonesia semakin buruk, bahkan digadang-gadang belum bisa menyamai progres pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru yang sempat bertumbuh hebat.
Penulis: Aisyah Yuri Oktavania
Editor: Fadli Nasrudin