Menuju konten utama

Sejarah Reformasi 1998, Latar Belakang, dan Dampaknya

Sejarah Reformasi 1998 mengakibatkan lengsernya Soeharto pada 21 Mei. Berikut penjelasan mengenai latar belakang, hal pokok, hasil, dan dampaknya.

Sejarah Reformasi 1998, Latar Belakang, dan Dampaknya
FOTO ARSIP: Mahasiswa meluber hingga ke kubah Grahasabha Paripurna ketika menggelar unjuk rasa yang menuntut reformasi menyeluruh dalam agenda Reformasi 1998, Selasa (19/5/1998). FOTO ARSIP ANTARA FOTO/Saptono/RF02/ss/hp/asf.

tirto.id - Sejarah Reformasi 1998 mengakibatkan lengsernya Soeharto pada 21 Mei silam kini diperingati sebagai Hari Reformasi Nasional. Simak latar belakang Reformasi 1998, tuntutan, dan dampaknya di dalam artikel ini.

Masa Reformasi 1998-sekarang masih menjadi peristiwa yang tak terlupakan, kendati telah lama dimakan waktu. Pasalnya, gerakan Reformasi 1998 merupakan puncak kekecewaan terhadap masa pemerintahan Orde Baru (Orba).

Reformasi terjadi bukan tanpa alasan, ada motif di balik aksi besar-besaran yang lantas memukul mundur presiden Soeharto dari jabatannya. Untuk memahaminya secara lebih rinci, simak rangkuman Masa Reformasi berikut.

Apa yang Dimaksud Reformasi 1998?

Pada peristiwa Reformasi 1998, masyarakat menyerukan perubahan kehidupan bernegara agar bisa lebih baik secara konstitusional. Daftar panjang ketidakpuasan rakyat terhadap rezim Orde Baru dan krisis moneter pada 1997-1998 sebagai klimaksnya mendorong aksi tersebut.

Jauh dari adil dan makmur, rakyat pun merasakan jengah terhadap buruknya situasi ekonomi Indonesia. Lebih dari itu, berbagai harga kebutuhan bahan pokok melambung tinggi.

Krisis ekonomi kala itu mengkhawatirkan masyarakat Asia, bahkan di Indonesia dianggap sebagai impuls eskalasi drama runtuhnya kekuasaan Orba. Mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 kemudian menjadi titik balik peralihan dari Era Orde Baru menjadi Era Reformasi.

Sesuai penjelasan di atas, gerakan Reformasi 1998 adalah upaya masyarakat dalam menuntut perubahan ke Era Reformasi. Tepatnya agar Indonesia menjadi lebih baik, tidak mengalami masalah ekonomi, maupun praktik KKN.

Latar Belakang dan Penyebab Gerakan Reformasi 1998

Lengsernya Presiden Kedua RI, Soeharto, tidak terjadi secara cepat dan begitu saja tanpa sebab. Bahkan, bukan juga karena keinginan dia untuk melepas mandat sebagai presiden.

Berikut daftar latar belakang Reformasi 1998 dan penjelasannya.

Krisis Ekonomi

Sudah sejak lama rakyat merasakan resah terhadap harga-harga yang melambung serta kebijakan yang semena-mena. Bibit-bibit ketidakpuasan sudah timbul sejak 1997, bahkan saat itu menjadi puncak krisis finansial di Asia.

Memasuki Agenda Reformasi 1998, Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang porak-parik. Nilai tukar rupiah anjlok dan bahan-bahan pokok melonjak, sedangkan Soeharto masih denial dan mencoba menenangkan rakyatnya.

Pada 15 Januari tahun itu, Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan IMF. Ia mencoba meyakinkan rakyat yang terlanjur panik bahwa keadaan ekonomi bakal membaik.

Soeharto menegaskan, kesepakatan dengan IMF membuatnya tak lagi mencantumkan angka pertumbuhan 4 persen di RAPBN 1998/99. Akan tetapi, berangka 0 dengan laju inflasi 20 persen dan kurs Rp5.000 per dolar.

Namun, nilai rupiah justru semakin melemah pada periode menjelang akhir Januari. Di pasar uang antarbank kala itu, rupiah menyentuh angka psikologis Rp10.600 per dolar.

Pada Februari 1998, Soeharto tak lagi bisa tenang melihat kemelut di negeri yang telah dipimpinnya selama lebih dari tiga dekade. Kepanikan itu tak membuatnya kehilangan kepercayaan diri, tetapi tetap ingin menjadi presiden periode berikutnya.

Saat itu, ia menetapkan Habibie sebagai pendampingnya. Niat itu menimbulkan berbagai kritik dari masyarakat, termasuk media massa yang mulai frontal memberitakan bobroknya pemerintahan dan kabar penculikan aktivis.

Kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Trisakti

Sepanjang Februari, aksi massa terjadi di mana-mana. Tidak hanya kalangan mahasiswa, dosen dan elemen masyarakat lain juga secara tegas menunjukkan simpatinya.

Namun, bagai mencincang air, upaya demonstrasi besar-besaran itu tak membuat niat Soeharto untuk menjadi presiden lagi lenyap. Pada 10 Maret tahun itu, ia ditetapkan sebagai presiden untuk yang ke-7 kalinya, melalui Sidang Umum MPR.

Pada saat yang sama, krisis moneter tak juga membaik. Bahkan, empat hari sebelum penetapan itu, tepatnya 6 Maret, nilai rupiah tembus Rp12.000 per dolar AS. Di tengah situasi itu, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya terus menggelorakan protes di berbagai daerah.

Intensitas dan partisipan protes terus meningkat seiring April menyambut. Akan tetapi, pada saat yang sama pula aparat tak segan main kasar, bahkan menembak para demonstran. 6 April 1998, Media Indonesia melaporkan 38 mahasiswa hilang pasca-unjuk rasa.

Pintu bulan Mei terbuka, tetapi upaya Reformasi ekonomi Soeharto masih buntu. Pada tanggal 5 bulan itu, Republika melaporkan bahwa BBM dan tarif dasar listrik naik, masing-masing sebesar 46,3 persen dan 60 persen.

Soeharto sempat meminta bantuan ke berbagai negara seperti Jepang, Australia, dan Malaysia. Dari Negeri Kangguru, Indonesia memperoleh bantuan 30 juta dolar berupa bahan pokok.

Pada titik itu, krisis ekonomi yang semakin suram dan Soeharto masih optimistis. Ia terus menggemakan agar rakyat tenang serta mencegah timbulnya Reformasi. Namun pada kenyataannya, titah itu berwujud tragedi penghilangan paksa para mahasiswa, termasuk Tragedi Trisakti.

Tidak Adilnya Sistem Politik dan Dwifungsi ABRI

Latar belakang Reformasi 1998 lainnya adalah ketidakadilan sistem politik dan adanya Dwifungsi ABRI. Pada dasarnya, kedua hal ini memiliki keterkaitan satu sama lain.

Melalui adanya Dwifungsi ABRI, aparat militer negara dapat melakukan peran ganda di bidang politik dan pemerintahan. Ketentuan ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat dan militer memiliki hak serupa dalam menentukan kebijakan dan pelaksanaan negara.

Soeharto memberlakukan aturan ini mulai tahun 1982 silam. Selama pemerintahannya berlangsung, Dwifungsi ABRI memberikan efek dominasi kepada pihak eksekutif maupun legislatif di Indonesia.

Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang Marak

Salah satu permasalahan yang negara Indonesia hadapi saat Orde Baru adalah praktik-praktik KKN. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme hadir bagaikan noda hitam pemerintahan saat itu.

Berbagai pihak kerap mengandalkan status dan jabatan melalui praktik-praktik tersebut. Kemudian, mereka yang memiliki status kerap mengambil keuntungan dari jabatannya.

Ketiga aktivitas tersebut berimbas kepada ketidakstabilan negara di berbagai sektor. Lebih parahnya, permasalahan ini menjerumuskan masyarakat ke jurang status tidak sejahtera.

Penyatuan antara bisnis dan perpolitikan ini menghasilkan berbagai bentuk konflik kepentingan. Kemudian, menyebabkan tidak adanya pelayanan yang tulus dan transparan dalam pembuatan kebijakan.

Hal Pokok dan Tuntutan Gerakan Reformasi pada Tahun 1998

Hal pokok dari tujuan gerakan Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 adalah mengubah Indonesia menjadi lebih demokratis. Kemudian bersih dari KKN, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) maupun hukum.

Mengutip laman Perpustakaan Komnas Perempuan, ada enam tuntutan dalam sejarah Reformasi 1998 berikut.

  • Menegakkan supremasi hukum
  • Pemberantasan KKN
  • Mengadili Soeharto dan pihak yang terlibat
  • Amandemen konstitusi
  • Menghilangkan Dwifungsi ABRI
  • Pemberian hak otonomi daerah

Apa Hasil Gerakan Reformasi 1998?

Reformasi 1998 memperlihatkan hasil tertentu bagi negara, utamanya bagi mereka yang memiliki darah etnis Tionghoa. Mereka adalah kelompok paling terdampak dan korban utama dari kerusuhan dan penjarahan menjelang 21 Mei.

Reformasi merupakan agenda yang tak bisa ditawar lagi, bahkan memaksa orang nomor satu lengser dari jabatannya. Sebab, rangkaian perubahan, termasuk terbentuknya kabinet baru yang masih dipimpin Soeharto, tidak mampu memberikan faedah bagi rakyat.

Krisis ekonomi berkepanjangan dan beban utang luar negeri yang jatuh tempo nyaris membawa negeri ini ke liang kubur, apalagi tuntutan agar berpihak pada rakyat kecil. Itu semua menjadi rentetan kendala upaya pemulihan kondisi Indonesia.

Soeharto meninggalkan jabatan Presiden RI Kedua pada 1998 silam, sesuai dengan narasi yang menginginkan ia untuk bertanggung jawab. Setelah itu, kebebasan pers yang sebelumnya ketat mulai mengendur.

Ada juga hasil berupa desentralisasi pemerintahan karena pemerintah memberikan hak pelaksanaan otonomi daerah. Sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada satu titik mulai diganti dengan banyak titik harapan negara.

Dampak Gerakan Reformasi 1998

Presiden Bacharudin Jusuf (BJ) Habibie yang menggantikan Soeharto mulai menyiasati perubahan sesuai keinginan rakyat. Mantan Wakil Presiden dari Soeharto tersebut perlahan membawa negara ini bangkit dari keterpurukan.

Upaya yang dilakukan BJ Habibie antara lain adalah menumbuhkan kembali demokrasi dan kebebasan berpendapat dan menamatkan pembungkaman menahun yang dilakukan rezim Orde Baru.

Ia mengukuhkan itu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang memuat 10 bab dan 21 pasal. Kemudian, memberikan otonomi kepada daerah-daerah melalui UU No.22 Tahun 1999.

Sebagai dampak Reformasi 1998, Habibie juga menghapus sentralisasi--karakteristik rezim Orde Baru yang sudah mendarah daging--dengan menerbitkan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Kedua undang-undang tersebut mengembalikan semangat demokrasi yang dampaknya dapat dirasakan hingga saat ini. Selama berkuasa, Habibie pernah mengambil langkah kontroversial dengan memberikan referendum kepada Timor Timur, diintegrasikan secara paksa lewat invasi militer pada 1975.

Perolehan suara mengakhiri referendum tersebut karena didominasi oleh rakyat Timor Timur. Mereka ingin melepaskan diri dari Indonesia dengan persentase sebesar 78,50 persen.

Selain itu, partai politik mulai muncul usai runtuhnya rezim Orde Baru. Partai-partai tersebut berangkat dari berbagai latar belakang dan tujuan.

Tuntutan pembebasan tapol (tahanan politik) dan napol (narapidana politik) Islam dari sejumlah organisasi kepada pemerintah juga merupakan wujud dampak transformasi.

Reformasi juga memberikan dampak besar di bidang sosial. Meski pemerintahan otoriter telah tumbang, sebagian masyarakat masih menyisakan trauma atas rasa pemerintahan sebelumnya.

Pada hari-hari menjelang 21 Mei 1998, banyak masyarakat melakukan penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, terutama terhadap etnis Tionghoa. Hal itu membuat traumatis mendalam bagi para korban serta pecahnya kerukunan di masyarakat.

Terakhir, Reformasi juga meninggalkan dampak dalam bidang ekonomi. Layaknya jauh panggang dari api, keadaan ekonomi Indonesia pasca-Reformasi, menurut Ikhsan Sirot & Hamdan Tri Atmaja dalam Journal of Indonesian History 9 (2), justru semakin melemah.

Pasalnya, selama proses Reformasi banyak Instansi perbankan yang mengalami pembekuan sebab utang luar negeri yang menggunung. Kondisi ini menyebabkan perekonomian Indonesia semakin buruk, bahkan dianggap belum bisa menyamai laju pertumbuhan ekonomi masa Orde Baru.

Tirto telah merangkum berbagai peristiwa sejarah di Indonesia dan internasional untuk kebutuhan pembelajaran siswa. Simak terus materi ajar terbaru agar tidak ketinggalan infonya.

Kumpulan Materi Ajar Kurikulum Merdeka

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Aisyah Yuri Oktavania

tirto.id - Edusains
Kontributor: Aisyah Yuri Oktavania
Penulis: Aisyah Yuri Oktavania
Editor: Fadli Nasrudin
Penyelaras: Yuda Prinada