tirto.id - Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-74 diperingati hari ini, Rabu, 1 Juli 2020. Sejarah penamaan Hari Bhayangkara sendiri berasal dari nama pasukan elite yang pernah dipimpin Mahapatih Gajah Mada pada zaman Kerajaan Majapahit di abad ke-14 Masehi.
Tanggal 1 Juli 2020 ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara oleh seluruh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara 2020, Presiden RI Joko Widodo memberikan tujuh instruksi sebagai pedoman pelaksanaan tugas Polri pada peringatan ke-74 Hari Bhayangkara di Istana Negara, Jakarta, Rabu (1/7/2020).
"Saya menyampaikan beberapa instruksi sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas Polri," ujar Presiden dalam amanatnya saat memimpin Upacara Peringatan ke-74 Hari Bhayangkara secara virtual dari Istana Negara, Jakarta, Rabu (1/7/2020) dikutip Antara.
Instruksi Presiden Jokowi di Hari Bhayangkara 1 Juli 2020
1. Polri terus memegang teguh serta mengamalkan nilai-nilai luhur Tribrata dan Catur Prasetya dalam setiap pelaksanaan tugas, serta menjaga kehormatan, kepercayaan dan kebanggaan sebagai anggota Polri.
2. Polri terus melakukan reformasi diri secara total, membangun sistem dan tata kelola yang partisipatif, transparan dan akuntabel serta membangun kultur kerja Polri yang profesional, modern dan terpercaya.
3. Polri terus memantabkan soliditas internal, memperkuat sinergi dengan TNI dan seluruh elemen Pemerintah maupun masyarakat untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
4. Polri menerapkan strategi proaktif serta tindakan persuasif dan humanis dalam menangani masalah sosial yang terjadi ditengah masyarakat.
5. Terus meningkatkan pelayanan publik yang modern dan profesional, melakukan penanganan hukum secara transparan dan berkeadilan sehingga Polri semakin dipercaya masyarakat.
6. Terus menjaga kedisiplinan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan agar masyarakat produktif dan aman dari COVID-19.
7. Harus ikut mendukung proses pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan Polri dengan penuh tanggung jawab.
Sejarah Hari BhayangkaraIstilah Bhayangkara pada akhirnya melekat dengan institusi Polri seiring berlakunya Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946 yang diteken Presiden Sukarno.
Sebelumnya, kepolisian dinaungi Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara dan hanya bertanggung jawab atas masalah administrasi, sedangkan untuk masalah operasional berada di bawah wewenang jaksa agung.
Setelah Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946 diterapkan, dikutip dari buku Perkembangan Kepolisian di Indonesia (1952) karya M. Oudang, kepolisian bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri terhitung sejak 1 Juli 1946. Maka itu, setiap 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara oleh segenap elemen Polri.
Sebelum zaman Majapahit, istilah Bhayangkara sebenarnya sudah dikenal pada era Kerajaan Singasari, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Kertanegara yang dalam Kitab Negarakertagama disebut bertakhta sejak 1254 hingga 1292 Masehi. Namun, dalam riwayatnya nanti, Bhayangkara justru lekat dengan sosok Gajah Mada.
Gajah Mada mengawali kariernya pada 1313 sebagai prajurit, kemudian ditunjuk sebagai bekel atau komandan Bhayangkara, pasukan elite pengawal raja. Di bawah komando Gajah Mada, Bhayangkara semakin kuat dan solid. Ia menanamkan empat prinsip yang disebut Catur Prasetya kepada para personel Bhayangkara.
Dikutip dari Sejarah Kepolisian diIndonesia (1999) buku terbitan Polri, Catur Prasetya kemudian diadaptasi sebagai salah satu Landasan Kerja Kepolisian RI yang diresmikan pada tanggal 4 April 1961.
Bunyi dari Catur Prasetya yang dirumuskan Gajah Mada itu antara lain:
- Satya Haprabu (setia kepada pemimpin negara),
- Hanyaken Musuh (mengenyahkan musuh-musuh negara),
- Gineung Pratidina (mempertahankan negara), dan
- Tan Satrisna (sepenuh hati dalam bertugas).
Gajah Mada yang memimpin kesatuan Bhayangkara beberapa kali berhasil mencegah ancaman dan upaya-upaya pemberontakan terhadap kekuasaan Majapahit, juga menjaga ketenteraman warga, demikian ditulis Purwadi dalam Sejarah Raja-Raja Jawa (2007).
Menurut buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) yang ditulis Slamet Muljana, Gajah Mada bersama 15 orang prajurit Bhayangkara sukses mengamankan Raja Jayanegara dari pemberontakan yang dimotori salah seorang petinggi istana bernama Ra Kuti.
Setelah menumpas aksi pembangkangan Ra Kuti, Gajah Mada menyatakan berhenti sebagai komandan pasukan Bhayangkara. Namun, Jayanegara –putra Raden Wijaya yang melanjutkan takhta ayahnya sebagai penguasa Majapahit sejak 1309– kemudian justru mengangkatnya sebagai patih.
Tahun 1328, Jayanegara ditemukan tewas di kamarnya. Konon, pelaku atau otak pembunuhan ini adalah Ra Tanca, tabib pribadi raja yang juga seorang komandan Bhayangkara, jabatan yang pernah diemban oleh Gajah Mada.
Sementara itu, berdasarkan buku Jejak Nasionalisme Gajah Mada (2004), dituliskan bahwa Gajah Mada menangkap Ra Tanca, lantas dihukum mati.
Sehingga, adik Jayanegara, Tribhuwana Tunggadewi (1328-1351), dinobatkan sebagai penguasa Majapahit selanjutnya.
Editor: Iswara N Raditya