tirto.id - Tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional sesuai yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak 2015 silam. Mengenai sejarah dan asal-usul kata "santri" ternyata ada beberapa versi. Salah satunya meyakini istilah itu berasal dari bahasa Sanskerta. Benarkah?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “santri” setidaknya mengandung dua makna. Arti pertama adalah orang yang mendalami agama Islam, dan pemaknaan kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.
Santri selama ini digunakan untuk menyebut kaum atau orang-orang yang sedang atau pernah memperdalam ajaran agama Islam di pondok pesantren. Kata “pesantren” oleh sebagian kalangan diyakini sebagai asal-usul tercetusnya istilah “santri."
Kendati begitu, ada cukup banyak pendapat yang memaparkan kemungkinan sejarah atau asal usul kata “santri”. Bahkan, tidak sedikit ahli yang meyakini bahwa tradisi nyantri sudah ada sejak sebelum ajaran Islam masuk ke Nusantara, atau dengan kata lain pada masa Hindu dan Buddha.
Asal-Usul Kata Santri
Salah satu versi mengenai asal usul istilah “santri”, seperti dikutip dari buku Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan (2001) karya M. Habib Mustopo, mengatakan kata “santri” berasal dari bahasa Sanskerta.
Istilah “santri”, menurut pendapat itu, diambil dari salah satu kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu sastri yang artinya "melek huruf" atau "bisa membaca". Versi ini terhubung dengan pendapat C.C. Berg yang menyebut istilah “santri” berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti "orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu".
Sanskerta merupakan bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddha, dan ajaran Jainisme, serta salah satu dari 23 bahasa resmi di India. Sanskerta pernah digunakan di Nusantara pada masa Hindu dan Buddha yang berlangsung sejak abad ke-2 Masehi hingga menjelang abad ke-16 seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Karel A. Steenbrink, seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofir dalam buku Tradisi Pesantren (1985), mendukung rumusan Berg dan meyakini bahwa pendidikan pesantren, yang kemudian lekat dengan tradisi edukasi Islam di Jawa, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya.
Nurcholis Madjid lewat buku Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999) menautkan pendapat tersebut dengan menuliskan bahwa kata “santri” bisa pula berasal dari bahasa Jawa, yakni cantrik yang bermakna "orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya".
Ada pula yang mengaitkan asal usul istilah “santri” dengan kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu sun (matahari) dan three (tiga), menjadi tiga matahari.
Dinukil dari tulisan Aris Adi Leksono bertajuk “Revitalisasi Karakter Santri di Era Milenial” dalam NU Online, maksud tiga matahari itu adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Istilah “santri” bisa pula dimaknai dengan arti “jagalah tiga hal”, sebagaimana yang tertulis di buku Sejarah Pergerakan Nasional (2015) karya Fajriudin Muttaqin dan kawan-kawan, yaitu menjaga "ketaatan kepada Allah, menjaga ketaatan kepada Rasul-Nya, dan menjaga hubungan dengan para pemimpin".
Dari bahasa Arab, asal usul istilah “santri” juga bisa ditelaah. Kata “santri” terdiri dari empat huruf Arab, yakni sin, nun, ta’, dan ro’ yang masing-masing mengandung makna tersendiri dan hendaknya tercermin dalam sikap seorang santri, demikian dikutip dari buku Kiai Juga Manusia: Mengurai Plus Minus Pesantren (2009).
Menurut ulama dari Pandeglang, Banten, K.H. Abdullah Dimyathy, huruf sin merujuk pada satrul al ‘awroh atau "menutup aurat"; huruf nun berasal dari istilah na’ibul ulama yang berarti "wakil dari ulama"; huruf ta’ dari tarkul al ma’ashi atau "meninggalkan kemaksiatan"; serta huruf ‘ro dari ra’isul ummah alias "pemimpin umat".
Sedangkan dalam pandangan K.H. M.A. Sahal Mahfudz, Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014, kata “santri” berasal dari bahasa Arab yakni santaro yang berarti “menutup”. Santri adalah orang yang belajar, bukan justru menutup. Maka, dikutip dari jurnal Ulul Albab (2014) seorang santri mustahil santaro.
Ragam Pemaknaan Santri
K.H. Ma’ruf Amin saat menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU menegaskan, sebutan santri bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab. Namun, santri adalah orang-orang yang meneladani para kiai.
“Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut [patuh] kepada kiai. Itu dianggap sebagai santri walaupun dia tidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para santri,” papar Ma’ruf Amin dilansir NU Online.
“Pokoknya, santri itu ikut kiai, karena itu dia mencakup hampir semua lapisan masyarakat,” imbuh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) non-aktif yang telah dilantik sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Jokowi hingga 2024 ini.
Interpretasi makna santri yang hampir serupa juga dipaparkan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj. Menurut dia, santri adalah umat yang menerima ajaran-ajaran Islam dari para kiai. Para kiai itu belajar Islam dari guru-gurunya yang terhubung sampai Nabi Muhammad.
Said Aqil Siroj menambahkan, santri menerima Islam dan menyebarkannya dengan pendekatan budaya yang berakhlakul karimah, bergaul dengan sesama dengan baik. Santri juga menghormati budaya, bahkan menjadikannya sebagai infrastruktur agama, kecuali budaya yang bertentangan ajaran Islam.
“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti dakwah dengan budaya seperti yang dilakukan Walisongo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh, efektif,” tandas Said Agil Siroj.
Sedangkan menurut Menteri Agama RI 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin, santri juga memuat makna sebagai duta perdamaian. “Santri adalah pribadi yang mendalami agama Islam yang berasal dari akar kata salam yang artinya kedamaian. Itulah inti jiwa santri,” ujarnya, dikutip dari JPNN.
Tugas santri, lanjut Lukman, adalah menebarkan kedamaian kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Ia juga mengungkapkan salah satu ciri dari seorang santri, yakni memiliki kecintaan yang luar biasa kepada tanah air karena mencintai tanah air adalah sebagian dari iman.
“Mengamalkan kewajiban sebagai warga negara, hakikatnya mengamalkan ajaran agama kita,” tegas Lukman Hakim.
Sejarah Lahirnya Hari Santri Nasional
Sementara itu, sejarah lahirnya Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober ini merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh pahlawan nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Tanggal 22 Oktober 1945 juga dianggap sebagai hari resolusi jihad yang menyatukan antara santri dan ulama untuk sama-sama berjuang mempertahankan Indonesia.
Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan. Sekutu ini maksudnya adalah Inggris sebagai pemenang perang dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang.
Tanggal 22 Oktober 1945 dianggap sebagai resolusi jihad di mana santri dan ulama bersatu serta berkorban untuk mempertahankan Indonesia. Saat itu Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) menetapkan resolusi jihad melawan pasukan kolonial di Surabaya, Jawa Timur.
Dan kondisi tersebut terlihat pada 21 dan 22 Oktober 1945 di saat pengurus NU Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya. Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyatakan sikap setelah mendengar tentara Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng sekutu.
Lewat Resolusi Jihad, kaum santri memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia agar menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan, agama dan Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya.
Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia dan resolusi ini membawa pengaruh yang besar. Bahkan, ada dampak besar setelah Hasyim Asy'ari menyerukan resolusi ini.
Hal ini kemudian membuat rakyat dan santri melakukan perlawanan sengit dalam pertempuran di Surabaya. Banyak santri dan massa yang aktif terlibat dalam pertempuran ini. Perlawanan rakyat dan kalangan santri ini kemudian membuat semangat pemuda Surabaya dan Bung Tomo turut terbakar.
Editor: Abdul Aziz
Penyelaras: Yulaika Ramadhani