Menuju konten utama

Sebuah Upaya Membangun Infrastruktur Ramah Lingkungan

PT Waskita Beton Precast Tbk menjadi produsen beton readymix pertama dan satu-satunya yang meraih sertifikasi Green Label Indonesia Level Gold dari GPCI.

Sebuah Upaya Membangun Infrastruktur Ramah Lingkungan
Truck Mixer PT Waskita Beton Precast Tbk dengan Green Label. FOTO/dok.WSBP

tirto.id - Dalam semesta pembangunan dan juga arsitektur, ada satu konsep yang disebut sebagai The Hannover Principles. Pertama dirancang oleh William McDonough dan Michael Braungart pada 1992, sembilan butir prinsip ini masih relevan hingga sekarang dan masih terus menerus dipraktikkan.

Poin pertama yang mereka canangkan adalah pentingnya umat manusia dan alam untuk bisa hidup berdampingan.

“(kita) harus berusaha keras agar hak asasi manusia dan alam bisa hidup berdampingan dalam kondisi yang sehat, saling mendukung, beragam, dan juga berkelanjutan,” tulis mereka.

Indonesia saat ini berada dalam fase penting pembangunan. Sebagai negara berkembang, dalam satu dekade terakhir pemerintah giat membangun infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan dan memastikan pertumbuhan merata hingga pelosok negeri. Dari jalan tol Trans Jawa yang monumental, jaringan pelabuhan strategis untuk memperkuat distribusi logistik, hingga pembangunan konektivitas dari Sabang sampai Merauke. Semuanya dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan masyarakat yang merata.

Namun, seiring dengan laju pembangunan itu, tantangan baru muncul: bagaimana memastikan pembangunan tetap berkelanjutan dan ramah lingkungan. Di tingkat global, dorongan menuju pembangunan hijau semakin kuat, dan Indonesia pun mulai berjalan ke arah yang sama.

Dari sinilah kemudian muncul banyak pertanyaan penting: bagaimana proses produksi bahan-bahan dasar pembangunan dilakukan? Apakah sudah ramah lingkungan? Dan sejauh mana jejak karbon yang ditinggalkan bisa dikelola secara bertanggung jawab?

Beton, seperti yang kita tahu, bukan material yang identik dengan ‘ramah lingkungan’. Produksinya melibatkan konsumsi energi besar, penggunaan semen dalam jumlah masif, dan proses kimia yang menghasilkan emisi karbon.

Setiap tahun, pembangunan di seluruh dunia menggunakan lebih dari 4 miliar ton semen. Padahal produksi semen secara global menghasilkan 2,5 miliar ton karbon dioksida setiap tahunnya. Jumlah besar ini setara dengan 8 persen total karbon di seluruh dunia.

Jadi, bisakah pembangunan dan konsep lebih ramah lingkungan ini dilakukan bersama?

Beton yang Ramah Lingkungan

Berangkat dari inovasi agar pembangunan bisa jadi semakin ramah lingkungan, PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) memutuskan untuk menjawab tantangan zaman dengan serius. Tak cukup hanya memproduksi beton berkualitas tinggi dan mendistribusikannya ke berbagai proyek strategis, WSBP masuk ke arah baru: menjadikan keberlanjutan lingkungan sebagai inti dari proses produksinya.

Langkah penting itu ditandai dengan pencapaian yang tidak biasa. WSBP menjadi produsen beton readymix pertama dan satu-satunya yang berhasil meraih sertifikasi Green Label Indonesia Level Gold dari Green Product Council Indonesia (GPCI), sebuah lembaga independen yang mengembangkan sistem pelabelan ramah lingkungan di Tanah Air.

Bagaimana cara WSBP meraih sertifikat ini? Jawabannya ada pada kombinasi antara inovasi teknologi, audit menyeluruh, dan kemauan untuk berbenah dari dalam. Salah satu kunci utama adalah penggunaan fly ash, yakni residu dari pembakaran batu bara, sebagai substitusi sebagian semen dalam campuran beton. Langkah ini tidak hanya membantu mengurangi limbah industri, tetapi juga secara signifikan menekan emisi karbon dari produksi beton itu sendiri. Selain itu, WSBP juga mengembangkan produk seperti Mortar Foam, jenis beton ringan berbasis busa yang lebih efisien dalam konsumsi bahan baku namun tetap memenuhi standar kekuatan konstruksi.

Contohnya bisa dilihat di Batching Plant WSBP Pegangsaan yang terletak di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Batching Plant ini sebagai salah satu tulang punggung WSBP dalam memasok beton readymix untuk proyek-proyek strategis di Jakarta dan sekitarnya, termasuk LRT Velodrome fase 1B. Batching Plant WSBP Pegangsaan menerapkan sejumlah standar operasional berbasis lingkungan. Mulai dari pengelolaan limbah yang tertata, penyemprotan berkala untuk meminimalisir debu, hingga penggunaan material yang terukur dan ramah lingkungan dalam setiap campuran beton. Tak hanya itu, area hijau dan vegetasi di sekitar fasilitas juga terus dirawat sebagai bagian dari upaya menciptakan ruang produksi yang lebih sehat.

Semua inovasi ini tak akan berarti jika tidak diuji secara menyeluruh. Sertifikasi Green Label dari GPCI menetapkan standar ketat yang meliputi seluruh siklus hidup produksi beton readymix, mulai dari bahan baku, proses produksi, penggunaan air dan energi, hingga pengelolaan limbah dan dampak terhadap ekosistem.

Audit dilakukan oleh lembaga independen, seperti The International Association of Plumbing and Mechanical Officials (IAPMO), dengan mengkaji tidak hanya hasil akhir produk, tapi juga seluruh rantai produksinya.

Bagi WSBP, pencapaian ini bukan sekadar prestasi teknis. Ini adalah perwujudan bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam pernyataan resminya, manajemen WSBP menekankan bahwa sertifikasi ini memperkuat posisi mereka sebagai pelaku industri yang siap menyongsong masa depan konstruksi hijau.

“Penerapan fly ash pada beberapa proyek infrastruktur yang dikerjakan WSBP adalah bentuk inovasi hijau yang membantu mengurangi peredaran limbah fly ash, tanpa mengurangi mutu produk yang dihasilkan. Ini juga mendukung prinsip green construction untuk menciptakan infrastruktur yang ramah lingkungan,” ujar Fandy Dewanto, Kepala Divisi Corporate Secretary WSBP.

Apa dampak riilnya bagi lingkungan? Banyak. Ketika material bangunan utama seperti beton mulai beralih ke produksi ramah lingkungan, efeknya bisa terasa pada skala nasional. Emisi karbon dari sektor konstruksi bisa ditekan. Limbah industri bisa dialihkan ke penggunaan ulang. Energi dan air bisa dihemat. Dan yang tak kalah penting, standar industri pun ikut bergeser: dari sekadar mengejar efisiensi biaya, menjadi juga mengejar tanggung jawab ekologis.

Dalam lanskap industri yang masih didominasi pendekatan konvensional, keberanian WSBP untuk mengadopsi prinsip keberlanjutan patut diberi apresiasi. Mereka membuktikan bahwa industri berat seperti beton pun bisa pelan-pelan berubah arah, pun tidak menurunkan kualitas produk.

“Kami tidak hanya berinovasi, tetapi juga konsisten menjaga kualitas dan keandalan produk di setiap proyek, dengan selalu memprioritaskan mutu dalam pengembangan material dan proses produksi,” tambah Fandy.

Selain itu WSBP juga memberi bukti bahwa pembangunan tidak harus selalu meninggalkan jejak yang merusak. Bahwa infrastruktur masa depan bisa dibangun bukan hanya dengan kekuatan, tapi juga dengan inovasi, keinginan, dan juga itikad baik dari semua pihak.

Green Label yang kini tersemat pada produk WSBP adalah simbol dari perubahan itu. Ia menandakan bahwa di balik jalan yang kita lewati, gedung yang kita tinggali, atau rel kereta yang kita lalui, ada material yang diproduksi dengan pertimbangan terhadap bumi. Ini bukan lagi soal tren. Ini soal tanggung jawab.

Di tengah tantangan iklim dan krisis lingkungan global, langkah seperti yang dilakukan WSBP seharusnya menjadi contoh, bukan pengecualian. Karena pada akhirnya, pembangunan sejati bukan hanya soal membangun yang baru—tetapi tentang memastikan apa yang dibangun hari ini masih memberi ruang untuk masa depan yang layak.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis