Menuju konten utama

Sanggupkah BUMN Borong Saham Divestasi Freeport?

Pemerintah membentuk konsorsium untuk persiapan divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Para BUMN akan diandalkan, sanggupkah?

Sanggupkah BUMN Borong Saham Divestasi Freeport?
Petugas keamanan Freeport terlihat di di kompleks tambang Grasberg Freeport McMoRan, Papua. Foto/AFP/Getty Images/Olivia Rondonuwu

tirto.id - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan berkongsi untuk membeli saham divestasi PT Freeport Indonesia. Perusahaan asal Amerika Serikat telah menyetujui empat poin kesepakatan terkait rencana investasi jangka panjang mereka di Papua.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengatakan, pemerintah membentuk konsorsium guna merinci pembagian divestasi saham PT Freeport Indonesia yang telah disepakati sebesar 51 persen.

Menurut Fajar, pemerintah akan fokus untuk menyelesaikan sekitar 41 persen saham yang tersisa dari kewajiban divestasi. Porsi saham yang berkisar 9,36 persen sudah di tangan pemerintah Indonesia.

“Kita akan bekerjasama dengan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah melalui BUMN dan BUMD. Jumat (25/8/2017) lalu telah ada pembicaraan dengan pemerintah provinsi maupun pemerintah kota dan kabupaten,” kata Fajar usai rapat dengan Komisi VI, di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu siang (30/8).

Kendati melibatkan jajaran pemerintahan di berbagai tingkatan, Fajar mengungkapkan pemerintah pusat akan memperoleh porsi saham yang lebih besar. Namun, ia belum bersedia membeberkan skema penghitungan harga yang akan digunakan.

Namun, menurut Fajar, nantinya akan ada tim independen yang bertugas mengkaji besaran persentasenya masing-masing calon pemegang saham baru PT Freeport. “Nanti dari Freeport akan menunjuk, dari pemerintah juga menunjuk. Akhir minggu ini mudah-mudahan skemanya sudah jelas,” kata Fajar.

Adapun nilai saham yang didivestasikan itu rencananya bakal dihitung dengan harga pasar yang adil (fair market value). PT Freeport Indonesia tidak diperkenankan secara bebas menghitung cadangan emas dan tembaga di Grasberg sebagai dasar penghitungan nilai saham nantinya.

“Tetapi kalau ternyata cadangan sudah terbukti, mereka kan bisa juga membayar royalti. Itu bisa ikut diperhitungkan,” kata Fajar.

Baca juga: Mahalnya Harga Divestasi Saham Freeport

Fajar menyatakan, Menteri BUMN Rini Soemarno telah menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk menyatakan ketertarikan Kementerian BUMN sebagai wakil pemerintah untuk turut serta pada divestasi saham.

Jauh sebelum kesepakatan ini, Fajar Harry Sampurno sudah pernah menyampaikan soal tiga skema pendanaan untuk menguasai hingga saham 51 persen Freeport meliputi, dari hasil pembentukan Holding BUMN Tambang antara lain PT Inalum (Persero), PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Timah (Persero) Tbk.

Skema kedua, adalah pendanaan yang berasal dari Bank-Bank BUMN, termasuk kemungkinan membentuk konsorsium dengan perusahaan asuransi dan dana pensiun skala besar. Kemampuan BUMN menurut Harry tidak perlu diragukan karena BUMN memiliki total aset yang besar mencapai Rp5.600 triliun. Pendapatan mencapai sekitar Rp2.000 triliun, dan belanja modal sekitar Rp250 triliun per tahun.

Apakah BUMN sanggup? sebagai gambarannya saja pada awal 2016 saat wacana divestasi saham Freeport senilai 10,64 persen, pemerintah mengaku mendapat tawaran senilai 1,7 miliar dolar AS dari Freeport. Tentu, dengan nilai divestasi hingga 41 persen maka nilainya lebih besar lagi.

Persoalan divestasi ini ibarat pisau bermata dua, selain persoalan potensi kepemilikan sumber daya dalam negeri terhadap perusahaan tambang tembaga dan emas ini, juga menyisakan tantangan kemampuan untuk menyerap saham. Dalam kasus divestasi saham Newmont beberapa tahun lalu jadi contoh nyata bahwa divestasi tak seindah yang dibayangkan karena saham-saham yang seharusnya dimiliki oleh entitas negara malah jatuh ke tangan swasta bahkan asing. Belajar dari pengalamana masa lalu, maka cara yang bisa diantisipasi adalah dengan berhati-hati membuat kesepakatan.

Kesepakatan yang Berpotensi Merugikan

Pengamat energi dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi berpendapat kesepakatan akhir yang dituju antara pemerintah dan Freeport tersebut tidak memberikan keuntungan yang lebih bagi negara.

“Disetujuinya poin kesepakatan melalui perundingan antara PTFI dan pemerintah, sesungguhnya tidak memberikan keuntungan bagi Pemerintah Indonesia. Hal ini karena, poin-poin kesepakatan perundingan mengandung masalah,” ujarnya, seperti dikutip Antara, Selasa kemarin.

Ahmad Redi menilai, pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport tidak sesuai dengan UU Mineral dan Batubara (Minerba). Jika mengacu pada regulasi tersebut, IUPK dapat diberikan melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara yang harus disetujui DPR. IUPK pun diprioritaskan diberikan kepada BUMN.

Baca juga:

Selanjutnya, pembangunan smelter merupakan kewajiban lama Freeport Indonesia yang selama ini tidak kunjung ditepati sejak berlaku efektifnya ketentuan smelter pada UU Minerba pada 2014. Selama ini, Freeport kerap berjanji akan membangun pabrik pengolahan ore, namun hingga saat ini tidak terealisasi.

Selain itu, kata Redi, pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya kontrak karya merupakan kebijakan yang sesungguhnya merugikan bagi Indonesia, karena tanpa membeli saham divestasi pun, pada 2021 atau setelah kontrak karya berakhir, maka wilayah bekas PT Freeport Indonesia menjadi milik Pemerintah Indonesia.

Menurut Redi, dalam kontrak karya perpanjangan tahun 1991 sebetulnya sudah ada kewajiban divestasi saham PT Freeport Indonesia yang harusnya terjadi pada 2011. Namun, faktanya hingga saat ini kewajiban divestasi 51 persen ini tidak juga direalisasikan PT Freeport Indonesia. Perkembangan kesepakatan Freeport dan pemerintah termasuk soal divestasi saham nampaknya harus melewati tahapan yang tak singkat, karena selain kesiapan pemerintah, juga menyangkut internal dari Freeport terutama para pemegang saham mereka.

Sinyal ini sangat jelas nampak dalam keterangan resmi Freeport Indonesia yang dirilis Rabu (30/8). Dalam satu pernyataannya Freeport menegaskan bahwa kesepahaman mengenai kerangka kerja untuk mendukung rencana investasi jangka panjang PTFI di Papua. Kerangka kerja yang membutuhkan dokumentasi definitif serta persetujuan dari dewan direksi dan mitra Freeport-McMoran Inc.

"Pekerjaan penting masih harus dilakukan untuk mendokumentasikan kesepakatan ini, dan kami berkomitmen untuk menyelesaikan dokumentasi tersebut sesegera mungkin di tahun 2017,” kata Richard C. Adkerson, Presiden dan Chief Executive Officer, Freeport-McMoran Inc.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz