Menuju konten utama

Pemerintah Harus Hati-hati Soal Kesepakatan dengan Freeport

Pemerintah diharapkan berhati-hati dan konsisten terhadap hasil perundingan yang telah dicapai dengan PT Freeport Indonesia.

Pemerintah Harus Hati-hati Soal Kesepakatan dengan Freeport
Ignasius Jonan bersama Sri Mulyani dan CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson berbincang sebelum menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait divestasi saham di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Pertemuan antara Tim Perundingan Pemerintah dan PT Freeport Indonesia yang berlangsung pada Minggu (27/8/2017) akhirnya menyepakati sejumlah poin penting, yaitu: perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), divestasi saham 51 persen, komitmen bangun smelter, dan stabilitas penerimaan negara.

Dengan kesepakatan tersebut, PT Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasional maksimal 2x10 tahun hingga 2041. Namun demikian, pemerintah masih menghitung skema penerimaan negara dari Freeport, dan merinci pembagian saham yang telah disepakati.

“Di satu sisi sudah ada PP 01/2017, namun di satu sisi kita dorong lagi agar kesepakatan lebih cepat. Nanti akan didetailkan waktu dan prosesnya, karena ini berkaitan dengan siapa yang berpartisipasi dan juga pemerintah,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers, Selasa (29/8).

Baca juga:Pemerintah Hitung Skema Penerimaan Negara dari Freeport

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha mengharapkan agar pemerintah dan PT Freeport Indonesia bisa konsisten terhadap hasil perundingan yang telah dicapai. Hasil renegosiasi final yang telah berlangsung dapat dikatakan positif.

Kendati demikian, Satya mengimbau agar pemerintah agar berhati-hati dalam menentukan rincian dari divestasi saham yang telah ditentukan. “Karena kontrak berakhir pada 2021, lalu bisa diperpanjang 2 x 10 tahun hingga 2041, maka [divestasi] harganya harus bisa lebih tinggi di saat itu,” kata Satya saat dihubungi Tirto melalui sambungan telepon, pada Selasa malam.

Politisi Partai Golkar ini juga menyinggung perihal pembangunan smelter yang direncanakan bakal berlangsung hingga 2022 mendatang. “Pentahapannya pun harus jelas. Seperti di tahun pertama bagaimana, tahun kedua, dan selanjutnya. Karena memang yang terpenting dari itu adalah implementasinya,” kata Satya.

Satya juga menyinggung perihal penggantian izin operasi PT Freeport Indonesia dari yang tadinya berbentuk KK menjadi IUPK. Selain untuk mematuhi aturan yang tercantum pada PP No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, diperlukan adanya perubahan pada skema operasional yang harus dilakukan.

Menurut Satya, seharusnya dengan adanya perubahan tersebut, pemerintah harus mengadakan lelang. “Tapi mungkin karena ini kontrak lama, jadi ada satu dan lain hal yang menjadi kesepakatan tersendiri,” ujarnya.

Baca juga:Akhir Rezim Kontrak Karya Freeport

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa berpendapat seharusnya pemerintah bisa lebih utuh dalam menjelaskan kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia. Masyarakat perlu tahu bagaimana hitungan dari fiskal, perpajakan, maupun divestasi saham tersebut.

“Esensi kontraknya kan ada di level itu. Kalau sudah tahu, baru kita akan tahu apakah kesepakatan itu menguntungkan atau tidak,” kata Fabby kepada Tirto, Selasa malam.

Tak hanya itu, Fabby juga menilai pemerintah tidak cukup transparan dalam menjabarkan rincian proses negosiasi yang telah dilakukan. Salah satunya, seperti informasi bahwa ternyata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan adalah ketua dari tim negosiasi.

“Sebelumnya tidak diketahui kan siapa sebenarnya yang melakukan negosiasi dengan Freeport dari Indonesia. Lalu apakah dari awal Menteri Keuangan juga ikut dalam tim, atau hanya sekadar dimintai pertimbangannya?” jelas Fabby.

Karena itu, meski mengapresiasi langkah yang telah ditempuh pemerintah, namun Fabby melihat kesepakatan yang muncul baru sebatas payung hukum. Masih banyak hal-hal teknis lainnya yang perlu didetailkan dan dijabarkan lebih lanjut.

“Ini semacam framework agreement saja, banyak detail teknis yang belum (terungkap),” tutur Fabby.

Baca juga:Jika Freeport Berhenti Beroperasi

Hal senada juga diungkapkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana. Ia mengingatkan pemerintah harus berhati-hati terkait penentuan harga divestasi saham Freeport. Jangan sampai pemerintah membeli saham sangat mahal, atau saking mahalnya akhirnya pemerintah tidak bisa melakukan divestasi.

“Nah yang pemerintah harus hati-hati adalah dengan harga berapa divestasi saham akan dilakukan. Saya yakin ini akan alot. Freeport pasti minta harga premium sementara pemerintah minta harga serendah-rendahnya,” kata Hikmahanto, seperti dikutip Antara.

Terkait dengan pengumuman hasil negosiasi dengan Freeport, Hikmahanto menilai sudah baik karena pemerintah berhasil mengharuskan PT Freeport Indonesia untuk mematuhi Pasal 170 UU 4/2009, yaitu untuk Kontrak Karya tidak lagi melakukan ekspor kalau tidak dimurnikan di dalam negeri.

Kalaupun sekarang masih melakukan ekspor, kata Hikmahanto, hal itu karena Freeport memilih untuk melakukan konversi dari KK menjadi IUPK.

“Dalam konteks IUPK berdasarkan Pasal 102 dan 103 tidak ada batas waktu lamanya melakukan kewajiban memurnikan di dalam negeri. Tapi berdasarkan PP 1/2017 Freeport hanya diberi waktu dalam jangka waktu 5 tahun,” kata dia.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait FREEPORT INDONESIA atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz