Menuju konten utama

Sampai Kapan Pembatasan BBM Subsidi Cuma Jadi Omon-Omon?

Pembatasan BBM subsidi semestinya segera dilakukan jika tidak ingin ruang fiskal APBN terus tertekan.

Sampai Kapan Pembatasan BBM Subsidi Cuma Jadi Omon-Omon?
Pengendara motor berputar arah setelah mengetahui BBM jenis Pertalite dan Pertamax kosong di SPBU 34-16117, Kelurahan Pasir Mulya, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (8/8/2022). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/aww.

tirto.id - Pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi tampaknya hanya sekedar omong kosong. Wacana pembatasan untuk jenis bahan bakar seperti Pertalite dan Biosolar ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh pemerintah sejak 2022 lalu. Namun sayangnya, hingga saat ini pembatasan BBM subsidi tersebut tak kunjung dilaksanakan.

Sejak awal diwacanakan, persoalan pembatasan BBM subsidi masih sama, yakni berkutat pada persoalan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang tak kunjung rampung. Revisi Perpres itu, nantinya akan menjadi payung hukum untuk pelaksanaan di lapangan.

“Jadi kita masih nunggu revisi Perpres atau aturan lainnya untuk pengendalian BBM subsidi,” ujar Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Saleh Abdurrahman, kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).

Revisi Perpres 191/2022 sudah beberapa kali molor dari yang awal dijanjikan pemerintah dan belum ada kemajuan sama sekali. Pembahasan revisi dari isi Perpres, bahkan sampai saat ini masih terus berlangsung di antara kementerian atau lembaga terkait.

"Kan ada catatan-catatan kemarin yang perlu di-review lagi, [Kemudian] dibahas di rakor (rapat koordinasi) teknis. Mudah-mudahan minggu ini selesai," tutur Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, saat ditemui awak media di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (25/7/2024) lalu.

Revisi Perpres tersebut memang akan mengatur jenis kendaraan apa saja yang berhak mengonsumsi Pertalite dan Solar. Beberapa kriteria penikmat BBM bersubsidi tengah diusulkan masuk adalah mereka yang menjalankan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), nelayan, hingga kendaraan umum. Di luar dari golongan itu, tidak diperbolehkan menjadi sasaran pengguna.

"Intinya pengaturan kembali. Supaya tepat sasaran. Yang di Pertamina seperti apa, yang di Solar seperti apa. Keputusannya sudah jelas. Tinggal di rakor teknisnya, rakor teknis itu tinggal di Eselon I," jelas Susi.

Pertamina jamin ketersedian BBM selama musim mudik

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) di SPBU 34-15137 Rest Area KM 14 Tol Tangerang - Jakarta di Pinang, Kota Tangerang, Banten, Senin (1/4/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/nym.

Semua Tergantung Kemauan dari Presiden

Pembatasan BBM subsidi yang sampai hari ini belum berjalan, tentu menjadi pertanyaan seksama apakah pemerintah serius melakukannya atau sekedar wacana alias 'omon-omon' saja. Karena, jika melihat perkembangan dari revisi Perpres yang mandek, tampaknya memang Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum setuju karena belum ada kajian lebih detail tentang bagaimana pembatasan dan dampaknya.

“Pembatasan distribusi BBM sangat tergantung pada kemauan presiden,” jelas Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).

Apalagi dalam kondisi ekonomi yang sedang kurang baik, kata Fabby, bisa jadi Jokowi takut pembatasan ini akan berdampak pada inflasi dan kenaikan harga-harga barang dan jasa. Sehingga, revisi Perpres 191/2014 masih jalan di tempat dan implementasi pembatasan BBM subsidi belum akan diimplementasikan.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, mengatakan rencana pembatasan BBM bersubsidi tampaknya masih tetap menjadi cerita lama yang diulang-ulang. Namun tidak pernah terealisasi karena landasan hukumnya, yaitu revisi Perpres Nomor 191/2014 juga tidak dirampungkan.

Oleh sebab itu, wajar pula, kata dia, apabila antar kementerian terjadi perbedaan pandangan terkait dengan pembatasan BBM subsidi ini. Karena pembatasan pembelian BBM bersubsidi merupakan hal kompleks dan memiliki dampak yang luas.

“Kalaupun wacana ini akhirnya diimplementasi, seharusnya tiap-tiap kementerian dapat bersinergi, khususnya terkait sinkronisasi data masyarakat yang layak untuk menerima subsidi dan yang tidak layak itu siapa saja,” kata Daymas kepada Tirto, (7/8/2024).

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, melihat untuk melakukan pembatasan BBM subsidi memang perlu instrumen. Sementara di dalam pembatasannya sendiri pemerintah tentu akan hati-hati di dalam memilih targetnya.

Karena kalau pembatasan ini dilakukan dengan mekanisme tidak sesuai berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat. Situasi yang menurut Komaidi dihindari Jokowi di akhir masa jabatannya.

“Sementara kalau saya melihat di tahun ini terutama ini di ujung akhir pemerintahannya Jokowi saya kira dia ingin soft landing. Artinya mengakhiri pemerintahan tanpa adanya gejolak sosial maupun gejolak politik,” ujar Komaidi kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).

Kendati begitu, menurut Komaidi, pembatasan BBM bersubsidi semestinya harus segera dilakukan jika tidak ingin ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tertekan.

Terlebih, beberapa kali sudah mengirimkan sinyal ada beberapa target penerimaan negara yang tidak mencapai target. Sementara dari sisi belanja tidak bisa dihentikan bahkan kemungkinan akan bertambah untuk subsidi.

Untuk diketahui, kompensasi Jenis BBM Tertentu (JBT-Solar) dan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP-Pertalite) pada 2024 diperkirakan mencapai senilai Rp163 triliun. Namun sebanyak 80 persen dari kuota subsidi tersebut malah digunakan oleh masyarakat mampu. Hal itu tentu membuat negara dan masyarakat yang membutuhkan menjadi rugi.

“Artinya kalau ini dipertahankan tidak ada upaya-upaya kemudian defisit APBN akan semakin besar juga dan perlu dijaga karena ada ketentuan Undang-Undang bahwa defisit tidak boleh melawati 3 persen dari PDB. Saya kira itu yang terjadi,” jelas dia.

Tambahan kuota bio solar untuk Bengkulu

Petugas membersihkan area pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis bio solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Kota Bengkulu, Bengkulu, Selasa (5/3/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Izfaldi/nym.

Implementasi Pembatasan BBM Lewat Peraturan Menteri?

Di luar itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, sebenarnya sudah mengusulkan skema pembatasan BBM subsidi ini bisa diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri (Permen). Dalam Permen ini, juga bakal diatur terkait jenis kendaraan yang bisa menggunakan BBM subsidi.

"Nanti kita ajukan melalui Permen tapi kan memang harus tepat sasaran, mana yang memang, kendaraan apa yang tepat. Masih harus di antara tiga menteri, baru ke Kemenko Perekonomian," kata dia beberapa waktu lalu.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, menilai bisa saja pembatasan BBM subsidi dilakukan melalui Permen. Tetapi kedudukan hukumnya masih di bawah level Perpres, sehingga implementasi pembatasan BBM subsidi di lapangan dikhawatirkan tidak berjalan maksimal.

“Semakin tinggi hirarki perangkat hukumnya, tentu semakin kuat kedudukan dan ketaatannya,” kata Eddy kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).

Di sisi lain, Eddy sendiri sebenarnya mengaku heran kenapa revisi Perpres 191/2014 tidak kunjung beres. Padahal, jika itu selesai dilakukan maka pelaksanaan implementasi di lapangan bisa segera dilakukan

“Saya kurang paham kenapa proses revisinya belum selesai juga,” ujar dia.

Merespon Eddy, Saleh Abdurrahman, justru menekankan bahwa revisi Perpres 191/2014 perlu pertimbangan dan kajian matang. Mulai dari melihat dampaknya terhadap sektor ekonomi dan sosial dan lain-lain.

“Ya kan perlu pertimbangan matang dan mendalam,” terang Saleh.

Baca juga artikel terkait BBM SUBSIDI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto