Menuju konten utama

Salah Kaprah Pendisiplinan Warga: Memberi Sanksi, Bukan Merundung

Sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan dijatuhkan semaunya oleh aparat. Beberapa di antaranya dinilai berlebihan dan perlu dievaluasi.

Salah Kaprah Pendisiplinan Warga: Memberi Sanksi, Bukan Merundung
Pelanggar protokol kesehatan berdoa bersama di makam khusus korban COVID-19, di pemakaman Delta Praloyo, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (4/9/2020) malam. ANTARA FOTO/Dimas Kurniawan Trijayanto/ZK/pras.

tirto.id - Sanksi yang dijatuhkan oleh aparat--TNI, Polri, dan perangkat daerah lain--terhadap para pelanggar protokol kesehatan COVID-19 dianggap berlebihan dan tak memberikan efek jera bagi sebagian pihak. Desakan agar hukuman-hukuman tersebut dievaluasi mengemuka.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, berpendapat bentuk sanksi seperti memanjat tiang, push up, dan hormat bendera bisa menyalahi Konvensi Menentang Penyiksaan. Ia merujuk pada pasal 1 dan pasal 16.

Dalam Pasal 1, penyiksaan diartikan sebagai perbuatan sengaja yang menimbulkan rasa sakit pada jasmani dan rohani. Sementara Pasal 16 menyebutkan bahwa setiap negara berkewajiban mencegah penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

“Indonesia juga sudah [ambil] bagian dari Konvensi Anti Penyiksaan, di mana praktik penyiksaan, tindakan tidak manusiawi, dan menyakitkan dilarang dalam proses hukum atau penghukuman. Istana harus paham soal-soal begini,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (16/9/2020).

Dasar hukum sanksi-sanksi ini adalah Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Instruksi Jokowi ini ditujukan di antaranya kepada para menteri; Panglima TNI; Kapolri; kepala lembaga pemerintah non kementerian; gubernur; dan bupati/wali kota.

Diktum pertama peraturan tersebut berbunyi: Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam menjamin kepastian hukum, memperkuat upaya dan meningkatkan efektivitas pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di seluruh daerah provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia.

Pasal itu bermasalah, kata Haris, karena aparat dapat menjadi tidak manusiawi dan berlebihan karena bentuk sanksi tidak dibatasi. Ia memberikan beberapa contoh: “disuruh duduk malam-malam di kuburan” dan “masuk peti.”

Pelanggar protokol kesehatan di Sidoarjo, Jawa Timur, disanksi berdoa dan merenung di makam pasien COVID-19 pada Sabtu (5/9/2020) lalu. Awalnya mereka masih diterangi lampu, lalu lampu dimatikan. Sementara sanksi masuk peti terjadi di Pasar Rebo Jakarta, dua hari sebelumnya (3/9/2020). Mereka diminta merenungi kesalahan sembari berbaring di peti jenazah.

Alih-alih memberikan pelajaran tentang pentingnya protokol kesehatan, dikhawatirkan masyarakat justru tidak hormat pada aparat jika sanksi semacam ini terus diterapkan. Selain itu, “penghukuman yang berpotensi berlebihan, krisis legitimasi dan pengetahuan, minim kepercayaan publik, justru akan memperburuk citra pemerintah,” ujarnya.

“Menjatuhi sanksi itu mentalitas penjajah. Hanya kasih perintah dan pelanggarnya dihukum. Justru memberikan pekerjaan tambahan bagi pemerintah,” katanya menambahkan.

Haris mengatakan persoalan pagebluk COVID-19 harus dilawan baik oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah perlu mendidik dan membekali informasi yang cukup kepada setiap orang untuk menjadi agen perlawanan pandemi. Hal itu tidak bakal tercapai selama sanksi seperti ini tetap dilanggengkan.

Sanksi yang Bermanfaat

Polisi, TNI, dan Satpol PP di Kecamatan Mariso Makassar memberikan sanksi push up bagi pelanggar protokol kesehatan. Push up dilakukan di tempat. Di Purwodadi, mereka yang tidak pakai masker dihukum menghormati tiang bendera. Bahkan di Jawa Barat seorang pelanggar disanksi memanjat tiang listrik oleh seorang polisi yang menggunakan masker secara tidak tepat.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai tiga sanksi di atas adalah contoh hukuman yang tidak mendidik, tidak pula membangun kesadaran tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan.

Retno menilai selain evaluasi sanksi, ia juga meminta ada pembeda antara sanksi yang diberikan kepada dewasa dan anak-anak. Untuk anak-anak, Retno menyarankan sanksi yang lebih mampu menggugah kesadaran dan penerapan contoh. Pendekatannya hanya perlu peringatan, bukan hukuman.

Sementara orang dewasa “wajib dipaksa patuh untuk melindungi keluarganya dan terutama anak-anaknya,” ujarnya. Salah satu contohnya, menjadi sukarelawan membantu tenaga medis merawat pasien COVID-19 selama satu hari. “Sehingga diharapkan ada kesadaran hendak mengurangi beban para dokter selama masa pandemi,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (16/9/2020).

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menilai sanksi “perlu dirancang bersama dengan pemerintah dan juga Satgas Penanggulangan Covid.” Ini dilakukan agar sanksi yang diberikan tidak mengada-ada, semaunya aparat, dan cenderung jadi perundungan karena mempermalukan pelanggar di muka umum.

“Alih-alih hanya [hukuman] fisik saja, lebih baik diubah supaya lebih punya dampak ke para pelanggar protokol kesehatan dan masyarakat,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu.

Sanksi sosial berupa bersih-bersih fasilitas publik dapat diberlakukan karena bermanfaat. Ia juga menyarankan para pelanggar dilibatkan dalam kampanye kesadaran protokol kesehatan, dengan turut membagikan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker atau penyanitasi tangan.

Baca juga artikel terkait PROTOKOL KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino