Menuju konten utama

Salah Kaprah Jokowi Mengecam Macron demi Isu Populis?

Jokowi dianggap salah menafsirkan pernyataan Macron. Sikap demikian dianggap agar tetap tampak populis dan demi kepentingan dalam negeri.

Salah Kaprah Jokowi Mengecam Macron demi Isu Populis?
Presiden Joko Widodo memimpin Upacara Peringatan ke-75 HUT TNI Tahun 2020, Istana Negara, 5 Oktober 2020. youtube/Sekretariat Presiden

tirto.id - Presiden Joko Widodo menyatakan mengecam pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron pada 31 Oktober lalu. Ia menganggap Macron telah "menghina agama Islam" dan "melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia" saat menanggapi kekerasan yang terjadi di Nice, Paris, beberapa waktu sebelumnya.

Pernyataan Macron ini menurutnya bisa memicu perpecahan antar umat beragama di dunia, dan itu tidak semestinya terjadi karena yang dibutuhkan sekarang adalah persatuan untuk menghadapi pandemi COVID-19.

Menurutnya dalil kebebasan berekspresi tapi mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol agama itu "sama sekali tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan."

Jokowi juga mengatakan mengaitkan agama dengan terorisme adalah kesalahan besar. Terorisme tidak ada hubungannya dengan agama apa pun. Ia lantas mengatakan "Indonesia mengajak dunia mengedepankan persatuan dan toleransi."

Duduk perkaranya dimulai pada 2 Oktober lalu. Pada hari itu Macron menyebut "Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis, di mana pun di dunia. Tak hanya yang kita lihat sekarang." Dalam pidato itu ia juga mengumumkan rencana untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler Perancis dari apa yang disebut "radikalisme Islam." Rencana itu termasuk melarang seseorang mengenakan sesuatu yang berafiliasi dengan agama tertentu di sekolah dan kantor-kantor layanan publik--misalnya jilbab.

Ucapan Macron ini semacam menjadi 'titik api'. 16 Oktober, seorang guru bernama Samuel Paty, 47 tahun, diserang dan penggal kepalanya tak jauh dari sekolah tempatnya mengajar di Conflans-Sainte-Honorine, sebuah daerah pinggiran kota, 24 kilometer dari pusat kota Paris. Ia diserang oleh Abdullakh Anzorov, remaja 18 tahun, imigran asal Rusia, bersama dua orang temannya.

Penyerangan itu dipicu kemarahan Anzorov terhadap Paty yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad saat mengajar tentang kebebasan berpendapat. Karikatur ini dipublikasikan majalah satire Perancis, Charlie Hebdo, pada 2015.

Pemerintah Perancis kemudian memberikan penghormatan terhadap Paty pada 21 Oktober di Universitas Sorbonne. Dalam malam penghormatan itu, Presiden Emmanuel Macron kembali menyatakan sikapnya terhadap radikalisme Islam. "Paty dibunuh karena Islamis menginginkan masa depan kita," ucap Macron. "Mereka tidak akan memilikinya."

Dua pernyataan Macron—tanggal 2 Oktober dan 21 Oktober—ini yang menjadi pemicu kemarahan Muslim dunia, termasuk Jokowi. Namun, beberapa pihak menilai pernyataan ini ditafsirkan secara keliru.

Muhammad Ali, dosen program studi Timur Tengah dan Islam, Universitas California, Amerika Serikat mengatakan yang dimaksud Macron "krisis ideologis umat Muslim dunia" adalah para separatis dan ekstremis—yang kerap menggunakan kekerasan—yang bertentangan dengan nilai Republik Prancis. Muhammad Ali tak melihat ada upaya menghina agama Islam dalam pidato 2 Oktober itu.

Oleh karena itu, kata dia, akan lebih baik jika Jokowi terlebih dulu menghubungi Duta Besar Prancis atau langsung bertanya ke Macron apa maksud pidato tersebut, sebelum memberikan respons.

Begitu juga dengan dosen Politik Perancis FISIP Universitas Indonesia, Mahmud Syaltout. Dua hari lalu (2/11/2020), ia mempertanyakan pidato Macron yang mana yang dianggap Jokowi menghina agama Islam. Kata dia, dalam pidato 2 Oktober, yang dimaksud Macron adalah radikalisme dan separatisme Islam, yang dalam konteks di Indonesia akan merujuk pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

"Sebenarnya narasi Macron tak jauh berbeda dengan narasi Jokowi selama ini," kata Mahmud.

Dalam terjemahan Mahmud, Macron menginginkan adanya antitesis diskursus Islam bernama "Islam yang bercahaya," yaitu Islam yang merangkul nilai-nilai republik, yang satu visi dengan Islam Nusantara di Indonesia. "Ia juga bicara radikalisme dan terorisme atas nama Islam yang mengglorifikasi kekerasan dan kebencian, yang apesnya mereka hidup di konteks demokrasi dan kebebasan Perancis, yang sebenarnya seringkali dapat penghidupan dari negara."

Apa yang ditafsirkan Muhammad Ali dan Mahmud Syaltout sejalan dengan klarifikasi Macron sendiri pada 1 November lalu: "Apa yang kami lakukan di Perancis adalah memerangi terorisme yang dilakukan atas nama Islam, bukan Islam," katanya, diterjemahkan secara bebas dari bahasa Perancis.

Kepentingan Politis?

Mahmud juga kecewa dengan langkah Jokowi yang tidak lebih dulu melakukan verifikasi. Padahal, kata dia, bisa saja Jokowi langsung menghubungi Macron, atau minimal Duta Besar Perancis di Indonesia.

"Tanya saja, 'lu ngomong apa sih?' ke Macron. Dengan itu, akhirnya bisa mengeluarkan pernyataan yang agak proper," kata Mahmud kepada wartawan Tirto, Selasa (3/11/2020) malam.

Ia menduga Jokowi melakukan itu karena pertimbangan politik dalam negeri. Maksudnya, jika "tidak marah atau tidak punya posisi yang jelas ke Macron," kata Mahmud, citra Jokowi bakal buruk karena sentimen ke Macron sudah begitu negatif, baik dari negara lain atau di dalam negeri. Bahkan sudah ada pihak-pihak yang menyerukan memboikot produk Perancis.

Dalam konteks Pilkada 2020, ketidaktegasan sikap terhadap Macron bisa saja buruk bagi keluarga Jokowi yang maju di daerah-daerah. "Bisa saja digoreng oleh siapa pun lawan politiknya," katanya. Contohnya, "Saya tidak akan memilih Mas Gibran (anak Jokowi, maju di Pilkada Solo) karena bapaknya tidak mengutuk Macron, kata pemilih seperti itu," kata Mahmud.

Masalahnya menomorsekiankan maksud sebenarnya Macron juga berdampak buruk bagi Indonesia. Pertama, tentu saja akan membuat hubungan Indonesia dan Perancis menjadi merenggang dalam konteks bilateral dan geopolitik.

"Kedua, bahaya lainnya bisa menaikkan tensi intoleransi di Indonesia. Dengan saya mencoba memberikan pandangan yang cukup jernih saja terkait terjemahan ucapan Macron, dengan sumber sana-sini, sudah banyak yang menuding saya tidak cukup muslim karena tidak ikut mengecam. Padahal saya juga mengutuk. Cuma saya meluruskan ucapan Macron," katanya.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino