tirto.id - Sudah hampir genap 1,5 dekade pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat mandek. Padahal, kehadiran undang-undang ini sangat penting sebagai payung hukum yang komprehensif bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Desakan untuk pengesahan RUU Masyarakat Adat kembali menggema beberapa waktu belakangan. Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, mendesak DPR agar segera membahas beleid ini. Dia menyebut telah siap berada di tengah-tengah agar regulasi ini segera masuk tahap pembahasan oleh DPR RI dan dibahas secara adil.
Menurut Pigai, pembahasan RUU Masyarakat Adat menjadi penting karena Indonesia merupakan negara multi etnik. Terlebih suku, bahasa, dan bangsa di negara ini juga kian beragam, mencapai ratusan jumlahnya.
“Pemilikan adat itu, satu adalah dengan cara hak wilayah, yang kedua hak komunal. Kepastian terhadap hak wilayah, hak komunal ini juga harus didukung oleh sebuah regulasi yang kuat,” ujar Pigai usai agenda Forum Group Discussion (FGD) pembahasan Undang-Undang Masyarakat Adat di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, pada Kamis (17/7/2025).
Belakangan, harapan akan pengesahan RUU Masyarakat Adat kembali menguat. Sinyal positif muncul setelah draf legislasi itu kembali dimasukkan ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Dokumen tersebut juga sekaligus tercantum dalam Prolegnas jangka menengah lima tahunan atas usulan DPR RI.
Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Melihat jejaknya, RUU Masyarakat Adat telah digagas cukup lama. Deputi II Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bidang Advokasi dan Politik, Erasmus Cahyadi, menyatakan bahwa inisiatif penyusunan RUU Masyarakat Adat telah dimulai sejak tahun 2006. Koalisi Advokasi Masyarakat Adat, yang di dalamnya turut melibatkan AMAN, menjadi penggeraknya.
Rancangan undang-undang tersebut kemudian ditetapkan sebagai agenda prioritas oleh AMAN, melalui Kongres Masyarakat Adat yang diselenggarakan di Pontianak, pada tahun 2007. Namun demikian, menurutnya, proses pembahasan dan pengesahan RUU tersebut hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan dan belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
“Kalau dalam catatan AMAN, prosesnya sudah lebih dari 60 kali dikonsultasikan di tingkat region. Tapi proses politiknya mandek di DPR,” kata Erasmus dalam acara Diskusi Publik: 12 Tahun Putusan MK 35 & Kegentingan Pengesahan UU Masyarakat Adat di Jakarta pada Senin (26/5/2025).
Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, menyampaikan bahwa pembahasan RUU Masyarakat Adat telah berlangsung sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (periode II) dan terus berlanjut pada masa Presiden Joko Widodo.
Meski telah masuk dalam program legislasi nasional selama dua periode pemerintahan, draf aturan ini belum juga disahkan menjadi undang-undang. Arman menilai bahwa hambatan utama dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat terletak pada lemahnya kemauan politik di kalangan pembuat kebijakan. Pemerintah dan DPR dinilai belum menunjukkan keseriusan dalam melindungi hak-hak masyarakat adat secara utuh.
Padahal menurut Arman masyarakat adat tidak anti dengan pembangunan. Namun, mereka menuntut agar pembangunan dilakukan secara inklusif, partisipatif, dan sesuai dengan kebutuhan, serta kondisi sosial-budaya masyarakat adat. Tanpa landasan hukum yang kuat, pembangunan berisiko menimbulkan konflik, penggusuran, serta pelanggaran hak asasi manusia.
“Nah, itu yang saya kira background-nya ya, di balik kenapa kemudian RUU-nya sangat panjang (proses pengesahannya),” ujarnya.
Lebih lanjut, Arman menguraikan dampak konkret dari belum disahkannya RUU Masyarakat Adat. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, AMAN mencatat sedikitnya 687 konflik yang melibatkan masyarakat adat, dengan 11,7 juta hektare wilayah adat yang dirampas atas nama pembangunan.
“Ada 925 orang yang dikriminalisasi, 60 orang diantara mendapat tindakan kekerasan, dua orang meninggal dunia. Jadi itu yang dialami secara langsung oleh masyarakat adat. Ini data yang masih aman ya, belum merekam misalnya data-data yang mungkin tidak jauh dari pemberitaan media dan sebagainya,” ujarnya.
Data yang dihimpun AMAN juga mendapatkan sepanjang 2024 saja setidaknya terjadi 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat di 140 komunitas Masyarakat Adat. Sementara, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), seperti yang dikutip dari situs AMAN juga mencatat, dari 26,9 juta hektar wilayah adat yang telah teregistrasi, hanya 14 persen yang telah mendapatkan pengakuan.
“Karena wilayah adat itu tanah, air, dan juga sumber-sumber lain itu merupakan penanda utama dari keberadaan masyarakat. Jadi hilang wilayah adat itu sebenarnya hilang dengan pengetahuan, hilang budaya, hilang ritual, hilang macam banyak hal gitu. Nah, itu yang dampak utama yang dirasakan,” ujar Arman.

Dalam konteks hak politik, Arman juga mengungkapkan bahwa pada Pemilu 2014 terdapat sekitar 1,6 juta jiwa masyarakat adat yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan pengakuan administratif dari negara, mengingat banyak komunitas adat tinggal di wilayah-wilayah yang tidak diakui sebagai bagian dari struktur administratif negara, seperti kawasan hutan, wilayah pertambangan, dan daerah konservasi laut.
“Kekerasan, perampasan wilayah adat, kehilangan ruang hidup, kehilangan mata pencaharian sebagai petani karena tanahnya hilang. Kemudian kehilangan mata pencaharian sebagai berburu meramu, karena wilayah tempat masyarakat itu berburu meramu itu hilang. Kemudian kehilangan pekerjaan sebagai nelayan nasional karena kemudian wilayah laut itu kemudian diambil alih,” ujarnya menjelaskan dampak lebih luas, akibat belum disahkannya RUU Masyarakat Adat terhadap Masyarakat Adat.
Tumpang Tindih Aturan Masyarakat Adat di UU Sektoral
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), sekaligus peneliti hukum adat, Yance Arizona, menilai RUU Masyarakat Adat dinilai penting untuk meredam konflik antara hukum adat dan hukum negara. Saat ini, berbagai undang-undang sektoral seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, hingga pendidikan, telah mengatur masyarakat adat. Namun itu justru menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum.
Yance menilai harmonisasi hukum adat dan hukum negara harus diletakkan dalam bingkai saling melengkapi, bukan saling menegasikan. Dengan demikian, masyarakat adat tidak lagi berada di posisi marjinal dalam sistem hukum nasional.
“RUU ini diharapkan bisa menyelesaikan problem itu. Justru RUU ini bisa menjadi solusi karena selama ini banyak konflik norma yang tidak terselesaikan akibat belum adanya pengakuan terhadap masyarakat adat dan hukum adat yang mereka praktikkan,” kata Yance, Kamis (8/5/2025), dalam keterangan kepada Tirto.

Meski telah lama dibahas, Yance menilai bahwa draf RUU yang ada saat ini masih belum memadai. Menurutnya, rancangan draf legislasi belum mampu menjawab persoalan utama, yaitu tumpang tindih regulasi sektoral. Saling salib antaraturan itu justru menghambat pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Sebagai solusi, Yance mendorong agar penyusunan RUU Masyarakat Adat menggunakan pendekatan kodifikasi melalui metode omnibus. Dengan cara ini, berbagai undang-undang sektoral yang beririsan dengan masyarakat adat dapat dihimpun dan diselaraskan dalam satu kerangka hukum yang utuh.
Pendekatan tersebut diyakini akan menciptakan sistem hukum yang lebih koheren serta mengurangi potensi konflik antar aturan. Ia mengingatkan bahwa tanpa reformulasi substansi yang serius, rencana aturan ini berisiko menjadi produk hukum yang lemah dalam pelaksanaannya.
“Peneguhan prinsip-prinsip penting, termasuk kemudahan untuk meregistrasi keberadaan masyarakat adat, legalitas tanah, serta prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) perlu ditegaskan dalam RUU ini,” ujar Yance lagi.

RUU Masyarakat Adat Menghambat Investasi?
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menilai salah satu faktor terhambatnya RUU Masyarakat Adat di DPR terkait dengan investasi. Muncul persepsi sejumlah fraksi di DPR beleid ini sebagai ancaman terhadap investasi dan kepentingan ekonomi-politik elite.
“Fraksi di DPR menganggap RUU Masyarakat Adat sebagai penghambat investasi. Kita tahu di rancangan ini akan mengatur pengakuan wilayah adat, artinya akan bertabrakan dengan kepentingan elit politik dalam bisnis perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya yang notabene jika wilayah adat diakui akan mempersempit ruang elit politik untuk mengeksploitasi sumber daya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (23/7/2025).
Lebih lanjut, Arif menjelaskan bahwa agenda fraksi umumnya dipengaruhi oleh pertimbangan elektoral dan kepentingan partai politik, yang cenderung lebih memprioritaskan isu-isu yang mendapatkan perhatian media atau memiliki nilai politik tinggi, seperti legislasi terkait anggaran atau isu populis.
Dalam konteks ini, RUU Masyarakat Adat sering kali dinilai tidak memiliki dampak politik langsung bagi partai, sehingga cenderung dikesampingkan.
“Selain itu, fungsi pengawasan dan anggaran sering kali lebih diprioritaskan dibandingkan fungsi legislasi untuk isu-isu seperti masyarakat adat, yang dianggap kurang mendesak oleh fraksi. Hal ini diperparah oleh kurangnya komitmen fraksi untuk mendorong isu-isu yang tidak memberikan keuntungan politik langsung,” ujarnya.
Menurut Arif, selain dari sisi legislatif, inisiatif dari pihak eksekutif juga belum maksimal. Pemerintah cenderung memprioritaskan agenda yang selaras dengan pembangunan nasional, seperti infrastruktur dan peningkatan investasi.
Terkait isu investasi kerap kali dijadikan alasan penundaan pengesahan RUU ini, Yance dari UGM menilai, asumsi bahwa masyarakat adat menghambat investasi sangat keliru. Menurutnya, resistensi masyarakat adat muncul karena selama ini investasi masuk tanpa mengakui hak mereka, sehingga memantik ketidakadilan dan konflik.
Yance menilai, apabila pengakuan legal terhadap tanah adat dilakukan sejak awal, maka proses pembangunan akan berjalan dengan lebih inklusif dan minim konflik.
“Masyarakat adat itu tidak anti-investasi, tidak anti-pembangunan, sepanjang tidak merugikan mereka,” ujarnya.
Terpisah, dari sisi legislatif, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, optimistis pembahasan RUU Masyarakat Adat akan mengalami kemajuan di masa kerja DPR periode saat ini. Soal ini, ia berharap adanya dukungan politik yang lebih solid terhadap RUU ini ketimbang periode sebelumnya.
“Kurang lebih sudah tiga periode yang lalu RUU ini diusulkan, mari kita berharap agar RUU ini dapat segera disahkan. Saat ini memang masih dalam tahap menerima masukan dari beberapa ahli,” imbuhnya saat diskusi dengan pakar mengenai RUU Hukum Adat di Ruang Rapat Baleg, Gedung Parlemen, Jumat (11/7/2025).
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































