tirto.id - “Taluhi Katuvua.”
Demikian ucapan Rukmini Paata Toheke. Ungkapan itu merujuk falsafah hidup masyarakat adat suku To Kulawi. Artinya, kurang lebih, menjaga hubungan baik dengan alam dan mengurusnya secara arif.
Rukmini adalah perempuan asal Desa Adat Ngata Toro, sebuah desa di Kabupaten Sigi berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Palu, Sulawesi Tengah. Desa ini dikelilingi pegunungan dan bertetangga dengan Taman Nasional Lore Lindu. Hidup berbatasan langsung dengan taman nasional, masyarakat Ngata Toro kerap dituding sebagai perambah liar yang mengeksploitasi hasil hutan.
Meski akhirnya ada kesepakatan soal pengelolaan sumber daya hutan adat di taman nasional itu pada 2000, tetapi warga masyarakat hukum adat kerap dituduh mengambil hasil hutan tanpa izin sehingga gampang dikriminalisasi, ujar Rukmini.
Rukmini menilai penting untuk mendorong ada regulasi terkait hutan adat setingkat undang-undang, yang diberdayakan oleh masyarakat hukum adat di sekitarnya.
“Sesuai aturan kami, hutan itu akan dikelola dengan arif dan tidak dieksploitasi."
Rukmini menggambarkan bagaimana masyarakat Ngata Toro mengatur sumber daya hutan secara mandiri. Mereka memiliki hukum denda Tolu Ongu (tiga Sapi atau kerbau), Tolu Mpulu (tiga puluh dulang), Tolu Ngkau (tiga lembar kain Mbesa) jika ada warga yang melanggar pemanfaatan hasil hutan yang tidak sesuai peruntukan.
Regulasi yang dimaksud Rukmini itu, yang diakomodasi dalam RUU Masyarakat Adat, saat ini masih mentok di DPR.
RUU Masyarakat Adat sebenarnya sudah menjadi proglam legislasi nasional sejak 2013 dan 2014 tapi terus mandek di Senayan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai macetnya rancangan regulasi itu karena hanya ada satu anggota dewan yang getol memperjuangkan RUU tersebut, yakni Luthfi Andi Mutty dari Partai NasDem.
“Teman-teman melihat perlu ada tambahan suara lagi di DPR agar RUU ini segera disahkan,” ujar Rukmini saat kami bertemu di Jakarta, Kamis pekan ini.
Untuk itu, AMAN mendorong agar ada kader dari organisasi dalam pemilu legislatif 2019. Untuk Provinsi Sulawesi Tengah, terpilihlah Rukmini sebagai satu-satunya wakil.
“Jadi pencalonannnya memang dari organisasi masyarakat adat. Bukan partai,” jelas Rukmini.
Pada saat injury time penutupan pendaftaran caleg, Rukmini baru dipinang Partai Kebangkitan Bangsa. Sulawesi Tengah sendiri sebenarnya bukan lumbung suara PKB.
“Tapi, ketika mereka tahu ada caleg dari masyarakat adat, mereka tertarik,” kata perempuan 48 tahun ini.
Dalam kalkulasi PKB, demikian menurut Rukmini, bila ada satu legislator mewakili masyarakat adat maka ia bisa meraup suara hampir seluruh masyarakat hukum adat di Sulawesi Tengah. Itu juga klop dengan AMAN sebagai bentuk "mandat organisasi,” tambah Rukmini.
Menjadi Korban Dua Kali
Rukmini dan ketiga anaknya tinggal di Petobo, daerah yang terkena dampak terparah likuefaksi saat gempa dan tsunami Palu-Donggala, akhir September 2018.
Pada tengah malam, saat Rukmini menyetrika baju sembari ditemani anak bungsunya, ia mendengar ayam berkokok. Ia menganggapnya sebagai pertanda bakal terjadi bencana.
“Itu hanya salah satu tanda. Masih ada tanda-tanda ilmiah lain. Maka, saya memutuskan ke Palu saat itu bersama anak dan cucu saya,” cerita Rukmini.
Dan benar saja. Belasan jam kemudian, gempa mengguncang Palu disusul tsunami dan likuefaksi, yang menewaskan sekitar 2 ribu orang.
“Kalau saya tak pergi malam itu, saya dan keluarga sudah pasti jadi korban,” kata Rukmini.
Pasca-tsunami, Rukmini bergerak menjadi relawan, terlibat dalam proses evakuasi korban maupun di pengungsian. Seperti kebiasaannya, dalam kegiatan itu, ia kerap menggunakan kaus bertuliskan masyarakat adat. Saat itulah, kejadian tak enak menimpanya.
“Ini nih, yang menyebabkan bencana terjadi di Palu. Perilaku musyrik,” kata Rukmini, menirukan warga yang menudingnya.
Hati Rukmini mencelos, “Rasanya seperti menjadi korban dua kali. Sudah jadi korban tsunami, pula mengalami diskriminasi."
Tuduhan "musyrik" itu merujuk kegiatan Festival Palu Nomoni, digelar rutin tahunan, di dalamnya ada Ritual Pompoura dari Suku Kaili, yakni ritual menginjak-nginjak bara api yang diyakini mampu mengusir penyakit.
Tudingan tertimpa "azab" karena masyarakatnya menjalankan ritual adat selalu jadi narasi sempalan pasca-bencana. Pandangan macam ini menista sains.
“Padahal jelas sudah ada penelitian ilmiah penyebab mengapa terjadi gempa dan tsunami di Palu,” kata Rukmini.
Minimnya kebijakan mitigasi dan pengetahuan bencana di tengah masyarakat Sulawesi Tengah itu mendorong Rukmini ingin membenahinya, tak cuma akan memperjuangkan pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Hingga kini, sesar Palu-Koro masih terus bergerak aktif mencapai 35 hingga 44 milimeter per tahun. Dan Kota Palu persis di atas sesar ini.
Sayangnya, lanjut Rukmini, mitigasi bencana di Sulawesi Tengah masih terlampau buruk. Padahal penelitian sudah menunjukkan bertahun-tahun sebelumnya potensi bencana akan menimpa Sulawesi Tengah.
“Namun, pemerintah menyepelekan. Menganggapnya masih lama akan terjadi,” katanya.
Rukmini mencontohkan, saat tsunami Palu, banyak korban yang terjebak karena tidak ada jalur evakuasi. Hampir sepanjang pantai dibangun tembok sehingga menyulitkan warga menyelamatkan diri, "menunjukkan pemerintah tidak punya kesadaran terhadap mitigasi bencana," ujarnya.
Langkah Rukmini menuju Senayan sangat mungkin sulit. Ia tahu ia tak punya anggaran besar buat menopang kampanye, tidak seperti politikus kebanyakan di Indonesia.
“Untuk ke DPR pusat seperti ini paling sedikit butuh setidaknya Rp1 miliar untuk spanduk di semua kabupaten. Saya tidak punya uang segitu,” katanya.
Maka, ia mendatangi langsung calon pemilih, terutama dari masyarakat hukum adat, kendati ada tantangan terjal bahwa ia juga harus meyakinkan kelompok masyarakat lain. Kelompok fanatik, menurut Rukmini, adalah yang paling sulit ditembus, yang menuding masyarakat adat dengan stereotip buruk.
“Kalau begitu, biasanya yang mendatangi relawan saya. Kuncinya, menebalkan kuping saja,” ujar Rukmini.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam