tirto.id - Peneliti menyatakan tsunami yang melanda Palu-Donggala pada September 2018 adalah fenomena yang terjadi sangat cepat dan tidak biasa. Besar gelombang sesudah gempa 7,8 Skala Ritcer itu juga mengejutkan para ilmuwan.
Dua gelombang besar terlihat dan yang kedua adalah yang terbesar. Gelombang itu mendorong dengan cepat hingga 400 meter ke darat.
Sebelumnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) melaporkan bahwa gempa di Palu terjadi karena adanya aktivasi sesar geser (strike-slip) yang beregerak secara horizaontal. Namun, hal tersebut sebenarya biasanya tidak terkait dengan tsunami yang sangat besar.
Dalam hasil sementara laporan penelitian yang dipublikasikan di Fall Meeting Ilmuwan Bumi dan Luar Angkasa dalam forum American Geophysical Union di Washington DC, tsunami itu ternyata disebabkan oleh adanya pergerakan penurunan signifikan di dasar laut.
Lebih lanjut, peneliti mengatakan, faktor ini mungkin berkontribusi pada pengalihan air secara tiba-tiba yang kemudian membuat air naik ke darat dan menyebabkan tsunami.
Udrekh Al Hanif dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Indonesia (BPPT) dalam pertemuan itu mengatakan bahwa sumber tsunami sangat dekat dengan kota karena interval pendek antara waktu terjadinya gempa dan datangnya tsunami hanya kurang dari tiga menit.
Udrekh dan timnya juga menemukan bahwa dasar laut di sebagian besar teluk surut saat gempa terjadi. Menurut Udrekh, hal ini saat dikombinasikan dengan gerakan tajam dari kerak ke arah utara, pasti bisa menghasilkan tsunami.
"Ketika kita amti data batimetrik dari sebelum dan sesudahnya, kita dapat melihat bahwa hampir semua area dasar laut di dalam teluk surut dan dari data ini, kita juga dapat mengamati gerakan di utara. Jadi sebenarnya, ini terjadi karena adanya perpindahan vertikal dan horizontal," ujar Udrekh seperti dilansir dari BBC News.
Bukti lain juga ditemukan. Ilmuwan menemukan adanya tanah longsor di bawah tanah. Ini juga bisa menjadi faktor.
Kemungkinan lain adalah dorongan ke atas dari dasar laut di suatu zona yang tidak terlalu jauh dari Palu. Dorongan itu bisa terjadi di lokasi di mana patahan strike-slip terbagi menjadi jalur yang menyimpang. Gerakan pada kedua jalur menyimpang itu akhirnya memampatkan kerak di tengah-tengah.
Beberapa bukti kasat mata memang menunjukkan adanya penurunan tanah sesaat sebelum terjadi bencana. Dalam peristiwa September itu, masyarakat menyaksikan banyak penurunan kondisi tanah, struktur tanah di kota itu terlihat runtuh, menjadi cair dan mengalir bahkan pada gradien yang sangat rendah.
Rumah-rumah seperti dimakan lumpur. Masyarakat Palu menyebut hal itu dengan sebutan "Nalodo" yang berarti sesuatu yang terkubur dalam kubangan hitam.
"Ini adalah peristiwa yang sangat tidak biasa. Tapi itu bisa terjadi lagi kapan saja. Memang, ini bukan pertama kalinya, mungkin ini sudah ketiga atau keempat yang telah menyebabkan banyak korban jiwa. Kita mengalami peristiwa di tahun 1960-an dan 1920-an," kata Finn Løvholt dari Institut Geoteknik Norwegia.
Hermann Fritz, dari Institut Teknologi Georgia di AS, mengatakan bencana di Palu merupakan tantangan yang berat yang harus dihadapi masyarakat.
"Tsunami ini tiba sangat cepat, dalam beberapa menit. Bahkan tsunami tidak memberi peringatan. Itu sangat berbeda dari Jepang (pada tahun 2011) di mana ada jeda waktu selama lebih dari 30 menit," jelasnya.
Widjo Kongko juga dari BPPT mengatakan bahwa ini adalah pelajaran yang harus terus ditingkatkan. Pada tahun 2012 Palu telah melakukan pelatihan gempa.
"Pergi ke tempat tinggi dalam waktu 5-10 menit setelah gempa terjadi. Orang-orang perlu belajar bahwa tsunami bisa datang jauh-jauh lebih cepat," katanya.
Penulis: Febriansyah
Editor: Yulaika Ramadhani