tirto.id - Bocah ini mengenalkan diri sebagai Acang. Dia enggan dipanggil dengan nama aslinya oleh siapa pun, termasuk oleh kawan-kawannya. Gerak-geriknya lebih dewasa ketimbang teman sebayanya. Dia enggan bermain balon hidrogen meski semua temannya melakukan itu. Dia juga enggan berkelahi dan memilih mundur saat kawannya menantang.
Pengalaman hidup yang membuatnya lebih dewasa dari usianya. Acang lahir dari keluarga miskin. Dia rutin membantu bapaknya, seorang petani, mengambil kelapa langsung dari pohon. Dia bahkan tak naik kelas karena mengaku tidak ada cukup waktu untuk belajar. Tahun ini, dia semestinya kelas enam.
Rutinitas ini bahkan kembali ia lakukan tak lama setelah gempa besar mengguncang rumahnya di Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 28 September tahun lalu. Tak ada pilihan lain bagi Acang dan keluarganya, sebab saat itu, bantuan--baik dari pemerintah atau swasta--sangat minim sementara dapur tetap perlu mengebul.
Dia mengenakan pakaian sekolah putih lusuh dengan dalaman yang panjang lengannya lebih panjang dari baju sekolah. Celananya kebesaran, dan sepatu yang sudah jebol di sana-sini. Dia tak pakai topi, hilang, katanya.
Meski miskin dan pernah tak naik kelas, Acang punya cita-cita setinggi langit. Dia betul-betul ingin berkarier di langit. Menjadi pilot. "Karena bisa antar orang ke mana-mana," akunya kepada saya, Kamis (18/7/2019) kemarin. "Sebetulnya mau jadi tentara juga, tapi saya takut mati."
Kami bicara seperti orang dewasa. Saya bertanya, dia jawab, lalu melemparkan pertanyaannya sendiri.
"Kalau jadi wartawan ngapain aja? Tanya-tanya orang, ya?"
"Di Jakarta enak?"
"Di Jakarta panas enggak seperti di sini?"
Pertanyaan-pertanyaan itu saya jawab dengan senang hati. Lalu satu per satu kawan-kawannya mendekati kami hingga membentuk lingkaran. Saya, yang tadinya lebih banyak bertanya ke Acang, jadi diberondong pertanyaan oleh bocah-bocah SDN 1 Tulo ini. Mereka semua adalah korban Gempa Palu.
Siswa kelas 5 SDN 1 Tulo awalnya berjumlah 30, tapi setelah gempa sisa 26. Empat lainnya memutuskan pergi dari desa tersebut, atau memang sudah tak ada. Anak-anak yang bersama saya tak ada yang tahu.
Mereka bilang suatu saat nanti ingin ke ibu kota, tak ada yang mau tinggal di Sigi. Saya bilang jangan karena Jakarta itu tak enak, macet, sumpek, penuh polusi, dan bisa bikin orang gampang jadi pemarah. Tapi mereka tidak peduli.
"Di Jakarta itu gampang cari kerja," kata salah satu dari mereka, entah dapat kabar dari mana.
Saya awalnya ragu bertanya apa yang mereka alami pada malam jahanam itu. Saya tak mau membuat mereka sedih lagi. Tapi salah satu dari mereka, Andika Pratama, kelas 5 SD, bercerita tanpa ditanya: "waktu itu saya lagi mandi. Pas gempa saya keluar rumah, telanjang."
Andika juga punya cita-cita. Jadi polisi, katanya, sebab polisi "memberantas kejahatan, termasuk sabu-sabu." Andika bilang di daerahnya orang-orang dewasa gemar nyabu. Dia bahkan pernah melihat transaksi haram itu di bangunan kosong samping kuburan yang terletak di belakang sekolahnya.
Bocah-bocah ini berebut bercerita, mencoba menarik perhatian saya dengan suara yang dikencang-kencangkan. Saya tak sempat mencatat banyak. Takjub karena mereka bisa menceritakan itu semua dengan entengnya, seperti bercerita bagaimana rasanya naik wahana di Dufan atau berkisah soal pengalaman hari pertama masuk sekolah. Tak ada beban. Saya mungkin tak bisa melakukan itu jika ada di posisi mereka.
"Saya sudah tidak takut. Dulu iya," aku Andika.
Dia lalu bercerita bak seorang petugas senior dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) soal apa yang perlu dilakukan jika suatu saat terjadi gempa lagi. "Berlindung di bawah meja, atau keluar rumah cari lapangan. Yang penting jangan dekat-dekat dinding," katanya, lalu disambut temannya yang lain. "Betul... betul..."
Sebagian dari mereka masih tinggal di hunian sementara (huntara) karena rumah rusak atau hancur sama sekali meski gempa hampir terjadi satu tahun lalu--per Maret lalu, berdasarkan catatan Yayasan Sayangi Tunas Cilik, 6.000 anak masih tinggal di huntara yang kondisinya tak bisa dibilang baik.
Kami berbagi cerita di sebuah lapangan di belakang SDN 1 Tulo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi. Di sini 500 anak lain--SD, SMP, dan SMA--tengah mengikuti acara Hari Anak Nasional (HAN) 2019 dengan tema 'Kita Anak Indonesia, Kita Sehat dan Gembira' yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Sigi dengan dukungan yayasan sosial Wahana Visi Indonesia (WVI) dan bank HSBC. Dalam acara ini panitia menggelar beberapa lomba untuk siswa.
Saptarina Dwi Septiani, Manajer WVI Sigi, mengatakan salah satu fokus organisasinya saat ini adalah penyembuhan psikologis anak-anak. Meski di luar mereka tampak seperti anak-anak biasa, tapi di dalam mereka sesungguhnya masih rapuh. Penyembuhan dari trauma perlu waktu yang panjang.
"Semoga [acara ini] bisa membuat anak-anak gembira," katanya. "Juga kepada orangtua. Acara ini untuk kembali mengingatkan kita bahwa anak-anak adalah masa tumbuh kembang yang perlu didukung," sambung Dwi.
Acara ini memang sekilas melepas beban mereka. Yang ada hanya tawa; tak ada sedih.
Anak-anak, bersama ibu dan bayi lahir, adalah kelompok yang paling rentan dalam kondisi bencana. Begitu kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Karena itu WVI juga mendirikan posyandu di beberapa tempat dan melatih orang-orang agar jadi 'kader kesehatan'.
Sayangnya tidak semua anak-anak seberuntung atau sekuat Aceng atau Andika, atau anak-anak yang turut serta dalam acara hari anak.
Saat saya melintasi bekas jalan aspal yang amblas--kira-kira 5-7 meter--di kawasan Perumnas Balaroa, salah satu lokasi likuifaksi terparah, beberapa bocah menghampiri mobil yang saya tumpangi. Jalanan yang rusak membuat mobil melaju pelan sehingga bisa terus diikuti bocah-bocah tak beralas kaki itu dari samping.
Saya tidak dengar apa yang mereka katakan karena pintu mobil tertutup rapat. Tapi dari raut wajahnya, mereka jelas-jelas tengah meminta satu dua lembar rupiah dari saya.
"Enggak usah dikasih, nanti kebiasaan," kata Pak Sopir yang membawa saya. Anjurannya sama persis seperti yang tercetak pada papan pengumuman yang pernah saya lihat di lampu-lampu merah Jakarta.
Saya mengikuti anjurannya, lalu kembali memelototi gawai yang sedari tadi tak saya lepas dari genggaman. Saya sampai ke satu artikel. Di sana tertulis: diperkirakan, ada ribuan jasad masih tertimbun di reruntuhan Perumnas Balaroa.
Saya langsung bergidik, sebab beberapa menit sebelumnya saya baru saja menginjakkan kaki di reruntuhan pemukiman yang tak lagi diapa-apakan itu. Pemandangan yang sangat sureal karena latar belakang kuburan massal tanpa nisan itu adalah perbukitan hijau, langit biru, dan garis awan putih yang membentuk citra bak di negeri dongeng.
Saya lalu melongok ke belakang, melihat lagi bocah-bocah itu, dan berpikir: apa mungkin orangtua mereka juga tertimbun di bawah sana?
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih