tirto.id - Anggiasari Puji Aryatie adalah satu dari 32 calon legislatif penyandang disabilitas yang mengambil peluang politik pada Pemilu 2019.
Ia menerima tawaran Partai NasDem karena ingin berjuang atas hak-hak difabel. Wanita berusia 39 tahun ini adalah penyandang disabilitas pertama dari Yogyakarta yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI.
Anggi, sapaan akrabnya, mengalami akondroplasia. Tinggi badannya 105 sentimeter, jauh dari rata-rata tinggi perempuan Indonesia.
Saya menemui Anggi di sebuah kafe di jantung Kota Yogyakarta pada Rabu pekan ini. Ia tersenyum ramah begitu melihat saya. Sama sekali tak tampak canggung, ia menyalami saya, lalu menceritakan banyak hal tentang cita-cita dan harapannya untuk para penyandang disabilitas di Indonesia.
"Harapan saya jangka pendeknya isu-isu disabilitas diangkat sebagai prioritas. Paling enggak, masyarakat mulai aware bahwa ada kami di antara teman-teman yang nondisabiliatas," ujarnya.
Anggi tak ingin muluk-muluk mengubah atau membuat aturan yang berpihak pada penyandang disabilitas. Bila ia terpilih ke Senayan, itu bisa memberinya kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan aturan yang berpihak pada penyandang disabilitas.
Menurut Anggi, Indonesia sudah punya aturan yang bagus soal penyandang disabilitas dalam Undang-Undang 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun, pelaksanaannya belum maksimal.
Tak hanya dari segi aksesibilitas, penyandang disabilitas sering menerima diskriminasi karena pandangan dan sikap tidak peka masyarakat terhadap difabel. Anggi masih sering mendapat perlakuan itu dari masyarakat.
"Kalau saya lewat gitu masih terdengar ada yang bilang, 'Itu lihat tuh mbaknya pendek banget', dan yang bilang seorang ibu ke anaknya. Ada juga ibu hamil yang mengelus-elus perutnya sambil bilang 'Astagfirullahaladzim' atau 'amit-amit' kalau lihat saya," kata Anggi.
Namun, Anggi sudah selesai dengan itu semua. Ia tak pernah tersinggung atau sakit hati kepada mereka, atau marah pada dirinya sendiri.
Ia telah berhenti mempertanyakan mengapa ia terlahir berbeda.
Akan tetapi, tak semua orang sudah seperti Anggi. Banyak temannya yang masih mengalami diskriminasi, bahkan di antara keluarganya sendiri.
Kenyataan itu yang menjadi salah satu alasan Anggi untuk mau berjuang via DPR pada Pemilu Legislatif 2019.
Selama kampanye, ia pertama-tama tidak mengampanyekan dirinya sendiri, tapi pemahaman soal penyandang disabilitas, peningkatan kesadaran soal inklusi.
"Setiap saya kampanye, saya tegaskan dari awal, 'Mohon maaf, saya datang ke sini tidak membawa amplop dan isinya. Yang bisa saya bagikan adalah ilmu, yang bisa saya bagikan pengetahuan'," kata Anggi.
"Saya tidak pernah berbicara, 'Kalau saya terpilih, saya akan bangun gedung A, gedung B'. Sudah ada peraturannya, kok. Cukup kita kawal peraturan itu. Kalau kita melakukan standar minimalnya saja itu banyak perubahan baik."
Anggi sama sekali tak mengeluarkan uang satu rupiah pun untuk pencalonannya ini. Ia mengandalkan teman-teman dan jaringan aktivismenya untuk kampanye dan mengumpulkan suara.
Ia datang dari pintu ke pintu untuk meminta bantuan teman-temannya. Bantuan apa saja ia terima; tenaga, pikiran, maupun uang. Banyak kawannya yang tak bisa membantu secara finansial tapi memberi pinjaman kamera untuk dokumentasi, membantu membuat desain reklame, pemasangan baliho, dan sebagainya.
Anggi menilai penting ada perwakilan disabilitas di kursi DPR. Saat ini, banyak aturan bagus tapi penerapannya melempem. Mereka yang mengawal peraturan itu tak banyak yang benar-benar tahu soal undang-undang tentang penyandang disabilitas, bahkan tak ada penyandang disabilitas di DPR RI, ujarnya.
"Bagaimana kita akan bicara hak-hak penyandang disabilitas kalau enggak ada perwakilan satu pun yang duduk di sana? Memastikan bahwa penyandang disabilitas tuh warga negara juga loh, dan jumlah kami banyak," kata Anggi.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 persen dari penduduk Indonesia atau sekitar 24 juta orang pada 2011.
Kepercayaan diri Anggi tidak muncul secara tiba-tiba. Ia mendapat dukungan penuh dari keluarga, terutama ibunya.
Sejak kecil, ibu Anggi selalu mengajaknya ke tempat-tempat umum. Jika ada orang yang melihat Anggi, ibunya berkata, "Kenapa kamu lihat-lihat anak saya?"
Ibu Anggi juga tak pernah putus memperjuangkan agar Anggi bisa mendapat pendidikan di sekolah umum, bukan SLB. Ibunya selalu membuktikan kepada pihak sekolah bahwa Anggi bisa mengikuti pelajaran dan kurikulum di sekolah umum, seperti anak-anak lainnya.
Sikap ibu Anggi seperti itulah, disebut paradigma inklusi, yang disebar Anggi ke komunitas dan masyarakat. Berkat sikap seperti itulah Anggi tumbuh percaya diri.
"Beliaulah yang terus mengusahakan saya agar dapat bersekolah di sekolah reguler layaknya anak-anak lain," tulis Anggi, lulusan Bahasa Prancis di Universitas Gadjah Mada, Bahasa Inggris di STBA LIA, pascasarjana teologi di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
"Di luar sana masih banyak teman-teman disabilitas yang tidak seberuntung saya," tambahnya, selalu memandang diri apa yang sudah ia dapatkan saat ini sebagai berkah.
Karena itu, keberuntungan yang diterima Anggi dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi orang lain, yang dia kerjakan lewat organisasi dan jalur politik.
"Penyandang disabilitas seringkali harus membuktikan diri baru diakui dan diberi kesempatan. Berikan kesempatan dulu, itu baru namanya kesetaraan. Kita sama-sama manusia, jadi kita seharusnya dapat kesempatan yang sama," ujar Anggi.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Fahri Salam