Menuju konten utama

Penyandang Disabilitas Masih Sulit Mengakses Perguruan Tinggi

Mereka dianggap tak mampu, padahal mereka mampu dan perlu dibantu untuk mengakses pendidikan.

Penyandang Disabilitas Masih Sulit Mengakses Perguruan Tinggi
Siswi penyandang disabilitas (Difabel) mengikuti Ujian Nasional di SMALB A Bina Insani Bandar Lampung, Lampung, Senin (10/4). Sebanyak tiga orang siswi penyandang disabilitas mengikuti UN 2017 yang berlangsung 10-13 April 2017. ANTARA FOTO/Ardiansyah/ama/17.

tirto.id - Pendidikan adalah hak setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas atau difabel. Namun, akses mereka masuk ke perguruan tinggi masih terbatas.

Dina Afrianty, peneliti La Trobe University, Australia, membeberkan hal ini dalam presentasinya di helatan konferensi Indonesia Update 2018 di Australian National University (ANU), Canberra, Australia, 15 September 2018 lalu. Menurut Dina, yang meneliti beberapa kampus berbasis Islam di Indonesia, ada penolakan terhadap calon mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra yang ingin masuk fakultas tarbiyah (pendidikan).

"Alasan yang dikemukakan [oleh kampus-kampus tersebut] adalah: untuk menjadi guru, seseorang tak boleh buta," kata Dina.

Lebih jauh, dalam studinya bersama Karen Soldatic, “Disability Inclusive Education in Indonesian Islamic Education Institutions”, Dina menunjukkan penerimaan berbagai jenis lembaga pendidikan Islam terhadap difabel.

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di Yogyakarta mereka catat sebagai pelopor dalam memfasilitasi jalur pendidikan untuk penyandang disabilitas sejak 2007, dengan mendirikan Pusat Layanan Disabilitas yang berfokus pada layanan dan dukungan akses.

“Universitas memulai inisiatif ini dengan membangun infrastruktur yang dapat diakses di semua bangunannya dan mengalokasikan anggaran institusionalnya sendiri untuk mendukung siswa difabel untuk terlibat aktif,” demikian ditulis Afrianty dan Soldatic.

Pada tahun ajaran 2014/2015, di kampus tersebut terdapat 45 mahasiswa penyandang disabilitas, dan menjadikan UIN Yogyakarta sebagai universitas Islam ramah difabel dan inklusif di Indonesia.

Selanjutnya, Afrianty dan Soldatic mencatat adanya universitas yang berusaha mengikuti jejak UIN Yogyakarta dalam membangun akses ramah difabel dengan memasang lift di berbagai gedung fakultas. Selain itu, bangunan baru seperti perpustakaan universitas juga telah mereka dirikan dengan standar akses internasional.

Namun, sayang, akses ramah difabel di kampus itu baru sebatas akses fisik, sebab masih ada sejumlah masalah, di antaranya kurangnya kesadaran tentang desain kurikulum inklusif dan pemberian materi oleh staf pengajar.

“Selain itu, tidak ada sumber daya yang disediakan untuk mendukung pendidikan yang memfasilitasi penyandang disabilitas, seperti dukungan juru tulis, bantuan teknologi, penerjemah, dan sebagainya,” ungkap mereka.

Dina Afrianty juga pernah menulis sebuah artikel berjudul “People with Disability: Locked out of Learning?” pada situsweb The University of Melbourne.

Dalam artikel tersebut, ia membeberkan cerita dari seorang tunanetra berusia 32 tahun yang sering menerima komentar negatif dari gurunya. Para guru mengeluhkan tentang prestasinya di kelas, tapi ia tak pernah mendapat tawaran dukungan tambahan atau materi yang disesuaikan untuk membantu dirinya berpartisipasi.

Hamzah juga pernah ditolak oleh fakultas pendidikan (tarbiyah) di sebuah universitas Islam di Sulawesi Selatan pada 2003. Alasannya, seorang buta tak bisa menjadi guru. Namun, akhirnya, Hamzah diterima di Jurusan Sastra Inggris universitas lain di provinsi yang sama.

Tindakan Afirmatif: Jalur Khusus Difabel

Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (PDF) pasal 42 ayat 3 mengamanatkan penyelenggara pendidikan tinggi untuk memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas. Bahkan, ditegaskan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak membentuk Unit Layanan Disabilitas akan dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.

Namun, Ketua Program Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, Malang, Fadillah Putra berpendapat bahwa aturan-aturan yang ada saat ini masih mendiskriminasi penyandang disabilitas. Contoh yang paling gamblang adalah syarat "sehat jasmani dan rohani" bagi masyarakat yang hendak mendaftar Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Fadillah menganggap aturan itu bisa menimbulkan persepsi bahwa penyandang disabilitas tidak diperkenankan mengikuti seleksi.

“Penerimaan dosen harus sehat jasmani dan rohani. Apa orang sakit enggak boleh jadi dosen? Kemudian di SBMPTN itu juga harus sehat jasmani dan rohani untuk ikut SBMPTN. Itu pelanggaran HAM berat, dan itu yang kita advokasi harus dihapus,” ujar Fadillah.

Sejak 2012, Universitas Brawijaya mendirikan Program Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD).

“Jadi di sini ada 2 dosen yang memang difabel. Kebetulan sekretaris saya [di PSLD], Pak Slamet Tohari, dia juga inisiator [PSLD] yang banyak mengadvokasi kebijakan di tingkat pusat. Memang baru satu [dosen difabel], karena kita belum dapat profil lain. Tapi kalau memang ada, kita terbuka,” lanjutnya.

Fadillah memaparkan ada tiga komponen besar pada program PSLD, yang pertama adalah memberikan akses untuk masuk bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, kurikulum pendidikan yang ada di Sekolah Luar Biasa (SLB) masih di bawah standar pendidikan umum.

“Jadi ketika mereka harus fight di SBMPTN, mereka enggak mampu bersaing dengan sekolah umum, sehingga harus ada afirmasi yang diberikan kepada mereka dengan jalur yang terpisah dengan penerimaan jalur mahasiswa secara umum. Ini adalah bentuk komitmen bahwa kita menyediakan jalur khusus bagi penyandang disabilitas, mereka bersaing di antara mereka sendiri,” tutur Fadillah.

Fadillah menambahkan bahwa dalam memberikan fasilitas kepada penyandang disabilitas, universitas harus “menjemput” calon-calon mahasiswanya untuk masuk dalam proses seleksi. Di Universitas Brawijaya, proses seleksi mahasiswa juga melibatkan Ketua Program Studi dari masing jurusan.

Setiap tahunnya, kampus tersebut menerima 20 hingga 25 mahasiswa difabel yang tersebar di 12 fakultas dari 17 fakultas di Universitas Brawijaya yang menerima mahasiswa penyandang disabilitas sejak tahun 2012, diantaranya Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Vokasi, hingga Fakultas Kedokteran.

“Jenis disabilitas lengkap, tuna rungu ada, tuna netra ada, tuna daksa ada, bahkan tuna grahita itu juga ada,” ucap Fadillah.

Komponen kedua yang menjadi program PSLD adalah pendampingan bagi mahasiswa difabel.

“Misalnya tuli, kan dia tidak bisa mendengarkan dosennya ngomong apa, kita sediakan interpreter. Kita sediakan penerjemah bahasa isyarat. Kalau dia tunanetra, kan dia tidak mengerti gambar, nah dia [interpreter] nanti menceritakan ini gambar apa, dan sebagainya,” kata Fadillah.

Setiap semester, Fadillah menjelaskan bahwa Universitas Brawijaya menyediakan 79 mahasiswa yang bersedia menjadi volunteer untuk mahasiswa difabel.

Selain itu, Universitas Brawijaya juga menyediakan sarana penunjang pembelajaran seperti screen reader untuk mahasiswa tuna netra, yakni perangkat yang digunakan untuk mengubah dokumen digital ke bentuk suara. Fungsi PSLD di Universitas Brawijaya antara lain melakukan digitalisasi buku untuk proses pembelajaran mahasiswa difabel. Tak hanya itu, mereka juga menyediakan kamus untuk mahasiswa tuli agar mudah memahami bahasa.

“Kemudian tutorial, tutorial bahasa. Bahasa isyarat itu kan bukan bahasa Indonesia. Orang kan kalau ngomong sama orang itu [orang tuli] kan ditulis, suruh baca. Padahal mereka itu bahasanya bukan Bahasa Indonesia, sehingga kita ajari mereka Bahasa Indonesia. Terutama bahasa tulis, untuk bikin makalah, bikin skripsi,” ujar Fadillah.

Infografik Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas

Prestasi Penyandang Disabilitas Tak Berbeda

Fadillah Putra mengatakan bahwa tak ada perbedaan prestasi antara mahasiswa umum dan mahasiswa difabel.

“Nah ini terbukti, kemarin itu ada yang memenangkan olimpiade di Malaysia. Mahasiswa kita Juara I Olimpiade Teknologi Industri atau apa gitu, karena kognitifnya dia jalan, meskipun bahasa verbalnya berbeda,” tutur Fadillah.

Stigma yang sering diberikan pada penyandang tuna grahita pun bisa mereka tangkis. Nyatanya di kampus tersebut mereka bisa mengikuti proses pembelajaran, tentunya dengan menyesuaikan mood dari mahasiswa tersebut.

“Nah, volunter kita untuk tuna grahita kita ambil dari Fakultas Psikologi yang tahu bagaimana penanganan untuk tuna grahita. Jadi, kalau emosinya sudah mulai enggak stabil, maka dia izin ke dosennya,” tutur Fadillah.

Fadillah juga menjelaskan bahwa kampusnya pernah melakukan simulasi terhadap 120 mahasiswa penyandang disabilitas dari tahun pertama hingga tahun terakhir. Hasilnya, persentase jumlah mahasiswa cum laude, mahasiswa dengan prestasi biasa, dan mahasiswa drop out sama dengan persentase umum.

“Sehingga kita menyimpulkan akses terhadap pendidikan tinggi ini bukan persoalan disabilitas, tapi persoalan motivasi dan minat belajar. Ada 7 faktor seperti keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya,” ungkap Fadillah.

Untuk membangun infrastruktur penunjang untuk mahasiswa disabilitas pun Fadillah mengaku tak mahal, di antaranya membangun lift untuk gedung perkuliahan bertingkat, membangun toilet disabilitas, guiding block, hingga memberikan relawan pendamping untuk mereka.

“Yang saya heran itu, kenapa perguruan tinggi masih enggan melakukan seperti apa yang kami lakukan, di tengah pendapatan atau income perguruan tinggi yang belasan bahkan puluhan miliar per tahun, hanya untuk bikin toilet yag biayanya 2 hingga 3 juta, mereka enggak mau lakukan itu," kata Fadillah. "Untuk menciptakan kampus inklusif itu bukan soal biaya, tapi soal kemauan."

Di kampusnya, mahasiswa yang bersedia menjadi relawan pun bersedia dibayar murah, hanya Rp12.000 per dampingan. Nyatanya, hal itu tak menyurutkan minat mereka. Bahkan, dalam proses rekrutmen, Fadillah mengaku jika pihaknya sering menolak karena membludaknya minat menjadi relawan.

“Yang kita tekankan, larangan pertama yang paling nomor satu, 'Anda tidak boleh bekerja atas dasar belas kasihan,' karena disabilitas bukan penyakit, itu adalah identitas, jadi jangan belas kasihani mereka. Bantulah mereka seperti orang butuh bantuan,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait DIFABEL atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani