tirto.id - Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin mengatakan mereka yang tidak tahu prestasi Joko Widodo adalah "buta dan budeg". Pernyataan Ma’ruf itu dikritik bukan hanya dari lawan politiknya. Banyak khalayak yang menilai hal itu sebagai pernyataan tidak layak karena menyinggung disabilitas.
Ma’ruf kemudian memberikan klarifikasinya di kediamannya, Jalan Situbondo, Menteng, Selasa (13/11/2018). Dia menegaskan pernyataan tersebut tidak bermaksud menyinggung kaum disabilitas. Pernyataan tersebut, menurutnya, tidak berkaitan dengan fisik seseorang.
“Yang saya maksud itu bukan buta mata, bukan budek telinga, tetapi buta hati. Matanya nggak buta, jadi nggak ada hubungannya dengan fisik,” kata Ma’ruf.
Ma’ruf mengambil ayat Alquran sebagai argumennya. Dia menilai bahwa di Alquran sendiri ada ayat yang mengungkapkan tentang bisu, tuli, dan buta, tetapi bukan terkait dengan fisik, melainkan hati.
“Apa mereka tersinggung dengan ungkapan Alquran?” katanya.
Meski adanya ancaman tindak lanjut dari pihak-pihak yang menuntut permintaan dari Ma’ruf, tapi ia bergeming. Dia tetap merasa dirinya tak bersalah dan tak menyinggung kaum disabilitas.
“Enggak apa-apa. Wong saya tidak mengomong soal fisik, memang saya ngomong mata dalam arti buta mata fisik? Tidak,” tegasnya lagi.
Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf dari Partai Solidaritas Indonesia, Raja Juli Antoni menyetujui omongan calon wakil presiden yang diusung partainya. Dia mengatakan apa yang diucapkan Ma’ruf tidak menyinggung kaum disabilitas dan kebanyakan masyarakat sudah mengerti soal itu. Walau ada protes, Toni berharap tak ada pengaruhnya pada pilihan mereka di Pilpres 2019 mendatang.
“Insya Allah tidak akan ada pengaruh elektabilitas,” kata Toni ketika dikonfirmasi wartawan.
Bukan Hanya Ma'ruf Amin Saja
Pernyataan yang seakan mendiskreditkan kaum disabilitas memang terlontar dari kelompok Jokowi-Ma’ruf. Namun kelompok Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pun tidak lolos dari pernyataan yang menyudutkan kelompok rentan.
Dalam sebuah acara seminar di Jakarta, politikus PAN Eggi Sudjana menyatakan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sering melakukan aksi politik banci. Hal ini didasari karena SBY sering tak menentukan arah dukungan dan memilih mengaku netral.
“Saya tidak sependapat dengan SBY. Kalau mengikuti pendapat SBY, jadi banci. Nggak jelas,” kata Eggi, Minggu (11/11/2018).
Eggi menggunakan pernyataan “banci” untuk menggambarkan orang yang tidak mempunyai ketegasan dan pilihan adalah “banci”. Padahal sejatinya pengertian “banci” bukan demikian.
Advokat di ASEAN SOGIE Caucus yang memperhatikan masalah Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, dan Questioning (LGBTIQ), Lini Zurlia menyatakan, “banci” merupakan istilah yang tak pantas digunakan. Istilah tersebut menghakimi seseorang yang cenderung bertingkah laku feminin.
Bukan hanya kepada pria, tetapi kepada kaum wanita, transgender, dan lain-lain yang bertingkah laku feminin, istilah ini biasa digunakan dan hal itu tidak etis. Menurut Lini, hal ini bisa menyinggung masyarakat yang feminin seakan-akan mereka selalu tidak mempunyai ketegasan dan plin-plan.
“Ini cuma karena simbol ketangguhan itu adalah maskulin. Ketika enggak ada maskulinitas, lalu dicap banci. Itu harusnya enggak diucapkan,” kata Lini pada Tirto.
Masalahnya, kelompok yang dinilai “banci” yang mempunyai sifat feminin bukan hanya transgender dari pria menjadi wanita, tetapi juga pria berorientasi seksual lawan jenis, tetapi memang mempunyai sifat yang feminin.
“Makanya kubilang ini beyond that. Dia menyindir seorang entitas maskulinitas dan feminin itu. Dia mendegradasi level kemanusiaan seseorang,” kata Lini lagi.
Ubah Gaya Komunikasi Politik
Robandi, seorang penulis yang sudah empat tahun mendampingi kaum disabilitas mengatakan komunikasi yang dilakukan Ma’ruf selayaknya dikaji kembali.
Kesalahan Ma’ruf, menurut Robandi, ada dua. Pertama, penyebutan istilah “buta dan budeg” yang seharusnya tuna netra dan tuna rungu dari segi etik. Yang kedua adalah menilai orang “buta dan budeg” tidak memahami hasil kinerja Joko Widodo.
“Itu, kan, stigma bahwa kaum difabel tidak mengerti pemerintahan Jokowi, padahal waktu pencoblosan [ada di antara] mereka mencoblos beliau juga,” tegas Robandi pada Tirto.
Penyebutan “buta dan budeg” menurut Robandi tidak sopan. Dalam beberapa kasus yang dia temui, ada penyandang disabilitas yang tidak mau masuk perkuliahan hanya karena disebut buta. Beberapa di antara mereka memang belum mampu menerima kondisinya.
“Pak Ma’ruf saya rasa perlu memahami [efek] penggunaan diksi. Kenapa orang memanggil [istilah demikian] karena dia belum sensitif dengan itu. Karena dia enggak paham,” ujarnya lagi.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin menilai pernyataan Ma’ruf memang tidak bermaksud menyindir kaum disabilitas. Hanya saja komunikasinya perlu ditata ulang. Masalahnya, di tahun politik, komunikasi yang salah bisa jadi bahan untuk serangan kubu lawan.
“Komunikasi-komunikasi ini harus diperbaiki walaupun mereka menganggap ini tidak salah,” kata Ujang pada Tirto.
Bukan hanya capres dan cawapres, Ujang berharap para elit politik seperti Eggi Sudjana pun menyampaikan hal-hal yang lebih berbobot daripada hanya saling serang dengan merujuk pada kaum tertentu atau mungkin penyakit tertentu.
“Selama ini isu-isu yang ditampilkan malah kurang produktif dan substansial sehingga tidak menimbulkan politik mencerdasakan bagi masyarakat,” tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih