tirto.id - Di hari tuanya, sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1970-an, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo masih menjadi bahan cerita. Soekanto adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pertama (1945-1959).
Pada 1970-an itu dia dikaitkan dengan wangsit gaib Sawito soal perubahan kehidupan politik Indonesia. Isi wangsit tersebut boleh dibilang sangat subversif pada zamannya: Soeharto, presiden daripada Republik Indonesia, harus menyerahkan kekuasaannya kepada Mohammad Hatta demi kebaikan negeri.
Sawito adalah menantu Soekanto. Kasus wangsit itu membikin Sawito masuk bui dan mertuanya jadi perbincangan publik. Selain kasus Sawito, Soekanto juga kerap dikaitkan dengan Tarekat Mason Bebas alias Freemason.
Menurut Th. Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (2004: 174 & 546), Soekanto mendaftar jadi anggota baru Tarekat Mason Bebas ketika menjadi Kapolri. “Soekanto sebagai Suhu Agung Majelis Tahunan Indonesia di masa depan masih akan memainkan peranan penting,” tulis Stevens.
Mengikuti Jejak Sang Ayah
Soekanto lahir di Bogor pada 7 Juni 1908 dan cukup mentereng sejak masa mudanya. Dia adalah lulusan HBS KW III, yang gedungnya kini menjadi kompleks Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta Pusat. Menurut G. Ambar Wulan dalam Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949 (2009: 33), setelah lulus dari HBS, Soekanto sempat kuliah di Recht Hooge School (sekolah tinggi hukum) Jakarta.
Soekanto kemudian memilih untuk mengikuti jejak ayahnya, yang saat itu merupakan pensiunan mantri polisi di Tangerang. Maka pada 1930, Soekanto mendaftar di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi. Sebelum masuk sekolah polisi itu, dia sempat aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
Sejak 1933, masih menurut Ambar Wulan, Soekanto menjadi aspiran komisaris polisi kelas tiga dan bertugas di bagian lalu lintas di Semarang. Kemudian dia dipindah ke bagian reserse dan berlanjut di Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Di antara tiga bagian itu, seperti dicatat buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000: 24), yang paling disukai Soekanto adalah reserse.
Ambar Wulan menyebut (hlm. 34), selain di Semarang, Soekanto pernah pula bertugas pada bagian pengawasan di Purwokerto dengan pangkat komisaris polisi kelas dua dan kemudian menjabat Kepala Polisi Seksi III di Semarang. Sejak 1940, Soekanto ditugaskan menjadi pimpinan teknis di Kalimantan bagian selatan sambil merangkap sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat komisaris polisi kelas satu. Hingga datangnya Jepang, dia masih di sana. Setelahnya dia ditempatkan di Jakarta, lalu dijadikan pengawas di sekolah polisi Sukabumi.
Hoegeng Imam Santoso dalam autobiografinya, Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 137), menyebut Soekanto di zaman Jepang pernah menjadi instruktur di Sekolah Kader Tinggi Polisi di Sukabumi. Di situ, Hoegeng menjadi salah satu murid Soekanto. Ketika Hoegeng menjadi mayor di Polisi Militer di Angkatan Laut, Soekanto adalah orang yang menyadarkan Hoegeng menjadi polisi sipil kembali.
Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Sukarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945. Menurut Ambar Wulan, Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Sukarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Ternyata, dalam sidang kabinet itu, Sukarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut.
Ketika ditunjuk Sukarno, Soekanto sempat menyampaikan bahwa ada perwira polisi yang lebih senior darinya seperti Asikin Natanegara di Gunseikanbu, Ating Natakusumah di Palembang, dan Raden Joesoef bin Snouck Hurgronje di Bandung. Sukarno pun memberi ketegasan soal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pengangkatan itu terkait masa lalu Soekanto di era pergerakan nasional.
“Soekanto diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk membentuk Polisi Negara RI,” tulis Ambar Wulan dan kawan-kawan dalam Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (2006: 121).
Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakoesoemah V. Setelah November 1945, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri, hingga Maret 1946. Pada 1 Juli 1946 keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946 yang mengeluarkan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri.
Soekanto sempat berkantor di Jalan Rijswijk (kini menjadi Jalan Veteran) di kantor Kementerian Dalam Negeri. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, kepolisian pun ikut pindah ke Purwokerto dari Jakarta. Sementara itu, militer Inggris sebagai perwakilan tentara Sekutu di Indonesia barat pada 16 Januari 1946 membentuk Civil Police(polisi sipil) di Jakarta. Menurut Ambar Wulan (2009: 39), Soekanto pernah ditangkap tentara Inggris dan ditawari bergabung dalam Civil Police, namun dia menolaknya. Soekanto sebagai orang yang pernah dekat dengan pergerakan nasional lebih memilih berdiri di belakang Republik.
Bersama jabatan itu, Soekanto merasakan bahaya revolusi. Dalam suatu kunjungan ke Jawa Timur, seperti diakuinya dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II (1983: 325-326), tempat yang hendak dikunjungi Soekanto dan rombongannya kena bom oleh militer Belanda. Soekanto dan rombongan terhindar dari maut karena mobil yang mereka tumpangi mogok.
Didongkel Gara-Gara Kebatinan
Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara dari 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Ketika akan lengser, nama jabatan Soekanto adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Pada era itu polisi mulai menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso menyebut pelengseran Soekanto dari jabatan Menpangak boleh dikata cukup unik. Soekanto didongkel oleh sekelompok perwira tinggi yang menganggap dirinya lebih mementingkan urusan kebatinan ketimbang urusan kepolisian. Lagi pula, di mata para perwira ini, peran Soekanto tidak lagi efektif sebagai kepala polisi negara.
“Ketidak-efektifannya dikaitkan dengan kesukaannya terhadap kebatinan,” kata Hoegeng (hlm. 247-248). “Soekanto kehilangan jabatannya karena menganut kebatinan itu.”
Sukarno, menurut Hoegeng, merasa keleleran menghadapi para perwira tinggi anti-Soekanto. Karenanya kemauan mereka dikabulkan.
Soekanto sempat ditawari menjadi duta besar di Turki, namun menolak. Pengganti Soekanto sebagai Menpangak adalah Soekarno Djojonegoro.
Soekanto tutup usia pada 24 Agustus 1993, tepat hari ini 26 tahun lalu, di Jakarta. Dia dimakamkan satu liang dengan istrinya yang lebih dulu meninggal pada 1 Maret 1986, Hadidjah Lena Mokoginta, kakak dari Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta.
Sebagai kepala polisi pertama, paling tidak namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit milik kepolisian di Kramat Jati, Jakarta Timur.
Editor: Ivan Aulia Ahsan