tirto.id - Di awal kemerdekaan, Polisi Indonesia jelas punya kemiripan dengan polisi zaman Hindia Belanda dan zaman Jepang.
Di zaman Belanda, kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie (Kepala dinas kepolisan) berada di kantor Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Begitulah: sebelum merdeka, Polisi berada di bawah naungan Depdagri. Ketika Indonesia merdeka, itu tidak banyak berubah.
“Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945 diambil ketetapan, bahwa Polisi termasuk lingkungan Departemen Dalam Negeri,” tulis M Oudang dalam Perkembangan Kepolisian di Indonesia (1952:65).
Tjuk Sugiarso dalam Ensiklopedi Kepolisian, Tingkat Dasar (1986:9) menyebut di dalam Depdagri itu terbentuklah Djawatan Kepolisian Negara (DKN). Orang yang ditunjuk memimpin Kepolisian di awal kemerdekaan adalah Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
“Soekanto diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk membentuk Polisi Negara RI,” tulis buku Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia(2006:121) yang disusun Galuh Ambar Wulan dkk. Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara (KKN) dari 29 September 1945 hingga 1959.
Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah RAA Wiranatakoesoemah V, yang menjabat Menteri Dalam Negeri. Setelah November, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri, hingga bulan Maret 1946.
Seperti dicatat dalam buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000:23-24), Soekanto punya pengalaman kerja sebagai polisi di masa kolonial. Bidangnya merentang, dari bagian reserse, lalu lintas, bahkan polisi politik macam Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yang dikenal sebagai musuh kaum pergerakan nasional.
Di awal kemerdekaan, kantor KKN berada di dalam kantor Depdagri, di bekas Jalan Rijswijk—yang kini menjadi Jalan Veteran. Ketika ibukota negara pindah, maka kepolisian pun ikut pindah, bukan ke Yogyakarta, tapi ke Purwokerto.
Di Purwokerto inilah, muncul pemikiran untuk memulai polisi gaya baru yang benar-benar bersatu di bawah kepala polisi tingkat nasional. Di zaman kolonial, kepala polisi di Jakarta tidak mempunyai hubungan vertikal dengan kepolisian di tingkat provinsi, karesidenan, atau kabupaten, sebab Kepala Polisi di daerah berada di bawah kepala daerah setempat.
Soekanto pun mengajukan pertimbangan ke Perdana Menteri Sjahrir soal pentingnya Kepolisian Negera sebagai Kepolisian Nasional, bukan lagi per daerah. Maka, pada 1 Juli 1946, keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946, yang mengeluarkan jawatan Kepolisian dari Depdagri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri—yang kala itu merupakan Kepala Pemerintahan.
Tanggal keluar Polisi dari Departemen Dalam Negeri, sekarang dikenal sebagai Hari Kepolisian, atau Hari Bhayangkara.
“Sejak itu, jawatan Kepolisian melaksanakan tugasnya mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia,” tulis buku Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (2006:128).
Setelah polisi lepas dari kepala-kepala daerah, maka dibentuklah Penilik Kepolisian yang berada di bawah kendali pusat kepolisian. Fungsinya adalah mengkoordinasikan polisi-polisi di daerah. Wewenang para pejabat pamongpraja sebagai pejabat di bidang kepolisian pun semakin berkurang.
Revolusi fisik kemerdekaan Indonesia 1945-1949, membuat polisi juga harus jadi kombatan pro Republik. Brigade Mobil (Brimob) adalah salah satu contoh kombatan di tubuh Kepolisian Negara. Tidak hanya menghadapi Belanda, tapi juga menghadapi gerakan yang bertentangan dengan pemerintah pusat seperti Peristiwa Madiun. Begitu pun era 1950an dan sesudahnya, Brimob adalah kombatan yang melawan pemberontak seperti PRRI/Permesta dan DI/TII.
Ketika ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta dan Belanda angkat kaki dari Indonesia, pusat kepolisian kembali ke Jakarta. Meski sudah pisah dari Departemen Dalam Negeri, ada masa kantor pusat kepolisian sempat menumpang di kantor Depdagri, di tempat Hoofd van de Dienst der Algemene Politie dulu.
Belakangan, kantor pusat polisi pelan-pelan dipindah ke Jalan Trunojoyo di Jakarta Selatan, yang kini dikenal sebagai Kawasan komplek kepolisian. Di masa ini, kepolisian masih berada di bawah kepala pemerintahan, baik Perdana Menteri, dan sesudahnya Presiden.
Pada akhir 1959, Soekanto digantikan oleh Soekarno Djojonegoro. Saat itu, Kepolisian akan dimasukkan ke dalam struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setelah polisi lepas dari ABRI, meski banyak yang tak suka, polisi sempat berada di bawah Departemen Pertahanan Keamanan pada 1999. Pada 2000 akhirnya kepolisian kembali berada di bawah kepala pemerintahan, seperti di zaman Soekanto.
Meski kini sudah tak lagi di bawah Depdagri --kini Kemendagri-- toh masih ada polisi di tubuh Kemendagri. Namanya: Satuan Polisi Pamong Praja, alias Satpol PP.
Editor: Nuran Wibisono