Menuju konten utama

Profil Sahabat Nabi Miqdad bin Amr, Kisah Hidup, dan Wafatnya

Profil sahabat Nabi, Miqdad bin Amr, seorang mujahid dan filsuf, latar belakang, kisah hidup, dan wafatnya.

Profil Sahabat Nabi Miqdad bin Amr, Kisah Hidup, dan Wafatnya
Ilustrasi Perang Badar. tirto.id/Sabit

tirto.id - Miqdad bin Amr atau Miqdad bin Al-Aswad dikenal sebagai sahabat Rasulullah saw. yang tergolong rombongan pertama masuk Islam (assabiqunal awwalun). Miqdad hidup pada masa Nabi Muhammad saw., pemerintahan khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, hingga Utsman bin Affan. Miqdad dikenal sebagai pemanah ulung dan seorang filsuf.

Miqdad bin Amr, putra Amr al-Bahrani, lahir di Hadramaut, Yaman. Ketika tinggal di Makkah, ia melayani al-Aswad bin Abdul-Yaghuts. Karena ketulusannya, Miqdad kemudian diangkat al-Aswad sebagai putranya. Oleh karenanya, selain dikenal sebagai Miqdad bin Amr, ia juga dikenal sebagai Miqdad bin al-Aswad.

Miqdad bin Amr termasuk salah satu assabiqunal awwalun, atau orang-orang pertama yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk Islam. Dalam Rijal haula Rasul, disebutkan oleh Khalid Muhammad Khalid bahwa Miqdad adalah orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terbuka.

Ketika umat Islam di Mekkah mesti berhijrah ke Yatsrib, Miqdad turut serta bergabung. Ia juga terlibat dalam rangkaian perang yang dilakukan kaum muslimin menghadapi kafir Quraisy. Saat Perang Badar, ia bertarung dengan mengendarai kuda. Sementara itu, saat Perang Uhud, Miqdad bertugas sebagai pemanah.

Miqdad dikenal sebagai sosok pemberani dan bersikap kesatria. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku telah menyaksikan perjuangan Miqdad sehingga aku lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini.”

Miqdad bin Amr juga dikenal sebagai pemikir. Salah satu orasinya yang menyentuh hati disampaikan dalam Perang Badar. Ia menyulut semangat kesetiaan umat Islam terhadap Rasulullah saw. dengan mengutip Surah Al-Maidah:24 terkait ucapan Bani Israel kepada Nabi Musa.

Miqdad berkata, “Wahai Rasulullah, teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama engkau. Demi Allah, kami tidak akan berkata seperti apa yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua’, sedangkan kami akan mengatakan pada engkau, ‘Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami ikut berjuang di sampingmu’.

"Demi Yang Telah Mengutus engkau membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan.”

Dalam suatu kisah, Miqdad diangkat oleh Rasulullah saw. menjadi amir di sebuah daerah. Bagi sebagian orang, mendapatkan jabatan demikian adalah anugerah. Namun, tidak demikian bagi Miqdad. Ia menganggap pengalamannya sebagai amir sebagai kenangan pahit. Pasalnya, ia tidak mau tenggelam dalam kemegahan dan pujian. Sejak itu ia menolak menerima jabatan amir.

Rasulullah saw. bertanya kepada Miqdad, “Bagaimanakah pendapatmu setelah menjadi Amir?”

Dengan jujur, Miqdad menjawab, “Engkau telah menjadikan diriku menganggap diri sendiri di atas semua manusia, sedangkan mereka semua di bawahku. Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran, sejak saat ini saya tidak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang selama-lamanya.”

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, Miqdad bin Amr hidup dengan melewati 3 masa pergantian khalifah, mulai dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, hingga Utsman bin Affan. Miqdad masih mengikuti perang penaklukan, termasuk hingga ke Afrika dalam perang Sufetula (647 M) melawan tentara Kekaisaran Bizantium yang dipimpin Flavius Gregorius.

Miqdad bin Amr hidup hingga berumur 73 tahun. Ketika ia wafat, para sahabat menguburkannya dan berkata, “Salah satu dari pedang Allah telah kembali ke sarungnya. Ia adalah Al-Miqdad.”.

Baca juga artikel terkait KEYWORD EXPLORER atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal Iskandar

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Muhammad Iqbal Iskandar
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Fitra Firdaus