Menuju konten utama

Profil Ebrahim Rasool Dubes Afsel untuk AS dan Penyebab Diusir

Duta Besar Afrika Selatan, Ebrahim Rasool, diusir dan ditetapkan sebagai persona non grata di AS. Kenali profil Ebrahim Rasool dan penyebab ia diusir.

Profil Ebrahim Rasool Dubes Afsel untuk AS dan Penyebab Diusir
Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat Ebrahim Rasool. /ANTARA/Anadolu/py

tirto.id - Pemerintahan Donald Trump mengusir Duta Besar Afrika Selatan, Ebrahim Rasool, dan menetapkannya sebagai persona non grata di Amerika Serikat. Kenali profil Ebrahim Rasool dan penyebab ia diusir.

Kabar pengusiran Rasool mencuat setelah Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam media sosial X-nya menulis, "Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat tidak lagi diterima di negara besar kami. Ebrahim Rasool adalah seorang politisi yang menghasut tentang isu rasial yang membenci Amerika dan @POTUS (akun X Donald Trump di Gedung Putih)."

"Kami tidak mempunyai hal yang perlu didiskusikan dengannya sehingga ia dianggap PERSONA NON GRATA," tegasnya melalui akun @SecRubio.

Penyebab Ebrahim Rasool Diusir dari Amerika Serikat

Menlu Rubio marah setelah Rasool menyampaikan pidato dalam seminar daring yang diadakan oleh Mapungubwe Institute for Strategic Reflection (MISTRA) di Afrika Selatan. Dalam webinar itu, Rasool menyebut gerakan Make America Great Again (MAGA) sebagian muncul karena kekhawatiran terhadap perubahan demografi di mana warga kulit putih Amerika tidak lagi menjadi mayoritas.

"Gerakan MAGA bukan hanya sebagai respons terhadap insting supremasi, tetapi juga terhadap data yang sangat jelas yang menunjukkan perubahan demografi besar di AS, di mana pemilih AS diproyeksikan menjadi 48% kulit putih, dan kemungkinan mayoritas dari kelompok minoritas semakin nyata," ujar Rasool dalam pidatonya.

MAGA sendiri merupakan slogan politik yang populer di AS dan digunakan Donald Trump dalam kampanye presidennya. Menurut AP News, AS jarang mengusir duta besar asing, meskipun pejabat diplomatik berpangkat lebih rendah lebih sering ditetapkan sebagai persona non grata atau orang yang tidak diinginkan.

Keputusan ini dianggap sebagai bagian dari tekanan pemerintahan Trump terhadap Afrika Selatan. Pasalnya, dinukil dari Economic Times, pengusiran Rasool juga terjadi di tengah ketegangan terkait kebijakan reformasi pertanahan yang disahkan.

Trump menuduh kebijakan ini mendiskriminasi warga kulit putih Afrikaner dan bahkan mengusulkan agar mereka diberikan status pengungsi di AS. Isunya semakin memanas setelah Elon Musk, yang juga berasal dari Afrika Selatan dan menjabat di pemerintahan Trump, turut mengkritik kebijakan reformasi tanah melalui media sosial.

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, mengakui adanya ketegangan dengan AS akibat pernyataan Rasool, tetapi ia tetap yakin bahwa hubungan kedua negara bisa diperbaiki. Ia juga menegaskan bahwa Afrika Selatan akan tetap menjalin hubungan baik dengan AS dengan sikap hormat, termasuk kepada Presiden Trump.

"Ini memang tantangan, tapi kami sedang mencari solusinya," kata Ramaphosa.

Adapun dilaporkan The Guardian, saat Rasool kembali ke Afrika Selatan pada Minggu (23/3/2025) waktu setempat, ia disambut ratusan pendukung yang menyanyikan lagu-lagu pujian di Bandara Internasional Cape Town.

"Penetapan sebagai persona non grata dimaksudkan untuk mempermalukanmu. Tapi ketika saya kembali disambut oleh kerumunan seperti ini, dengan kehangatan seperti ini, maka saya akan mengenakan status persona non grata ini sebagai tanda kehormatan," kata Rasool kepada para pendukungnya melalui megafon.

"Kami tidak memilih untuk pulang, tapi kami pulang tanpa penyesalan," tambahnya kemudian.

Profil Ebrahim Rasool

Ebrahim Rasool adalah diplomat, politisi, dan aktivis anti-apartheid asal Afrika Selatan yang lahir pada 15 Juli 1962. Ia pernah menjabat sebagai Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat dari 2010 hingga 2015, kemudian kembali menduduki posisi tersebut pada 2024.

NPR menyebut bahwa Rasool dikenal sebagai sekutu dekat Nelson Mandela dan memiliki sejarah panjang dalam perjuangan melawan apartheid. Masa kecil Rasool diwarnai pengalaman pahit akibat kebijakan rasial pemerintah apartheid.

Keluarganya diusir paksa dari rumah mereka setelah daerah tempat tinggalnya ditetapkan sebagai kawasan khusus untuk orang kulit putih. Akibatnya, mereka dipindahkan ke Primrose Park di bawah kebijakan Group Areas itu.

Dalam The Spirit of Freedom (1996), diketahui bahwa latar belakang Rasool sendiri mencerminkan keberagaman etnis, dengan garis keturunan Inggris, Jawa, Belanda, dan India. Sejak kecil ia mengenyam pendidikan agama Islam di madrasah, sembari tumbuh dalam dinamika politik Western Cape.

Ibunya menanamkan nilai-nilai Islam, sementara ayahnya yang berpikiran bebas memperkenalkannya pada dunia politik dan literasi. Kesadaran politiknya semakin terbentuk saat menempuh pendidikan di Livingstone High School, di mana ia aktif dalam gerakan boikot sekolah pada 1980.

Saat kuliah di Universitas Cape Town pada 1981, ia tetap berpegang pada prinsip Unity Movement dan menolak asimilasi dengan lingkungan borjuis liberal.

Pada 2025, Rasool menjadi sorotan setelah pemerintahan Trump mengusirnya dari AS dan menyatakannya sebagai persona non grata. Menteri Luar Negeri Marco Rubio menuduhnya memiliki sentimen anti-Trump, merujuk pada komentarnya dalam sebuah webinar yang membahas perubahan demografi di AS.

Baca juga artikel terkait INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Nisa Hayyu Rahmia

tirto.id - Aktual dan Tren
Kontributor: Nisa Hayyu Rahmia
Penulis: Nisa Hayyu Rahmia
Editor: Iswara N Raditya