tirto.id - Rambut klimis disisir ke belakang pakai pomade, kemeja lengan pendek warna salem dipadukan dengan luaran rompi cokelat dengan tas jinjing berwarna senada. Tak lupa sepatu flat bening berbahan mika jadi pelengkap celana coklat beludru pendek. Dengan potongan necis macam itu, seorang pria siap pergi ke salah satu perhelatan fashion kenamaan di Indonesia.
Potongan rambut undercut ala David Beckham didapat bukan di sembarang tukang cukur, melainkan di barbershop di depan jalan raya yang harganya 10 kali lipat harga pangkas rambut Madura atau Garut langganan Bapak. Kemeja, rompi, dan celana beludru, juga dipilih dari butik salah satu desainer ngetop di Indonesia.
Model lelaki kumal, bau, wajah kusam, dan rambut acak-acakan yang bisa jadi lambang maskulinitas bisa jadi telah bergeser. Para lelaki dengan potongan di atas ditambah postur tubuh “roti sobek” telah menggantikan posisi pria-pria kumal.
Para pria bermetamorfosis, lebih memperhatikan penampilan. Lihat saja dari contoh terkecil: rambut. Jika dulu potong rambut bagi pria cukup satu model yang dipesan di tukang cukur bawah pohon atau maksimal pangkas rambut di kios kecil samping pasar. Kini, beragam model rambut ditawarkan barbershop, lengkap dengan pelayanan maksimal: Ruangan ber-AC, pijat relaksasi, bahkan facial.
Digandrunginya barbershop oleh para pria saat ini juga menjadi ide pembuatan sebuah program di televisi. Sebuah ajang pencarian kapster “The Cuts Indonesia” menawarkan kompetisi adu keahlian potong rambut bagi para kapster.
Tak hanya rambut yang kini menjadi perhatian utama para kaum Adam. Perawatan tubuh juga tak kalah menjadi catatan untuk diurusi. Iklan-iklan di TV banyak berseliweran produk-produk perawatan yang dikhususkan untuk pria, minimal pomade, pencuci muka, parfum, dan deodoran.
Di Korea Selatan, menurut riset Euromonitor, penjualan produk perawatan kulit buat laki-laki meningkat dalam waktu 5 tahun sebesar 86 persen menjadi $39 per tahun pada 2015. Menurut Sidney Morning Herald, angka itu jauh lebih besar dibanding biaya perawatan kulit laki-laki di Australia yang hanya menghabiskan $3,3.
Merah Muda adalah Warna Pria
Dari salah satu laci, ia mengeluarkan kaos tenun halus berwarna merah muda.
“Apa itu?”
“Ini taplak meja.”
“Tidak, aku serius, apa itu?”
“Ini,” kemudian ia menjawab dengan bangga, “akan menjadi ikon saya, ibu mengirimkan ini pekan lalu. Kau pernah melihat baju seperti ini dengan warna ini sebelumnya? Tak berkancing, dan harus dipakai dari atas kepala, seperti ini.”
“Dari kepala? Berwarna merah muda? Itu membuatmu terlihat seperti peri.”
Adegan itu dikutip oleh tulisan di The Art of Manliness. Karakter dalam buku A Separate Peace yang menampilkan Phineas, seorang mahasiswa yang berencana mengenakan baju Polo merah muda untuk menghadiri pesta minum teh di sekolah. Sahabatnya Phin yang bernama Gene terperanjat. Ia khawatir teman-teman mereka berpikir bahwa Phin adalah gay. Ia juga takut hukuman karena melanggar aturan cara berpakaian.
Jika warna merah muda atau pink diindentikkan dengan warnanya para wanita, maka biru adalah warna bagi para pria. Tapi tunggu dulu, agaknya klasifikasi tersebut perlu dikaji ulang melihat banyaknya para pria kini justru lebih percaya diri tampil dengan kemeja merah jambu mereka.
Brooks Brothers pernah memperkenalkan polo merah muda dengan memakainya di sampul majalah Vogue di awal 1940-an. Sampul majalah tersebut menjadi pembicaraan hangat karena asosiasi warna yang dipakai pada cover majalah lekat dengan femininitas. Walau ternyata, asosiasi antara merah muda dan wanita bisa dibilang salah.
Sebuah catatan perdagangan dari Earnshaw’s Infants Department pada tahun 1918 menyatakan aturan yang berlaku umum untuk pemilihan warna adalah merah muda untuk anak laki-laki dan biru untuk para gadis. Alasannya merah muda, dianggap sebagai warna yang lebih kuat dan cocok untuk laki-laki. Sementara biru dianggap lebih halus dan cantik untuk para gadis.
Alasan lain, merah muda dianggap sebagai warna laki-laki karena merupakan variasi merah yang memiliki konotasi seperti darah dan perang. Sedang biru dikaitkan dengan Perawan Maria sehingga dianggap memiki rona feminin.
Pada abad ke-19, semua bayi dan balita, terlepas dari jenis kelamin, malah biasa mengenakan warna yang unisex, yakni serba putih. Sebagai rincian, Jo B. Paoletti dalam "Pink and Blue: Telling The Boys from The Girls in America," menyatakan merah muda dan biru tidak diaggap warna spesifik gender dan digunakan secara bergantian pada laki-laki maupun perempuan.
Garis pemisah untuk mengenakan warna merah muda bukan antara perempuan atau laki-laki, melainkan antara tua atau muda. Warna, saat itu dikaitkan dengan kesehatan, dan umur, sehingga warna yang muda dan merona dianggap lebih tepat untuk anak-anak daripada orang dewasa.
Di tahun 1800-an, pink dan biru itu mulai dikaitkan dengan gender, tapi baru di beberapa negara, seperti Prancis yang membuat tren merah muda untuk anak perempuan. Namun, di negara Amerika Serikat, merah muda masih diidentikkan dengan laki-laki.
“Putih digunakan untuk semua bayi. Biru untuk anak perempuan dan pink untuk anak laki-laki.”
Merah muda dan biru mulai dijadikan warna pemisah gender saat para produsen pakaian sadar bahwa memakai warna baju berbeda untuk laki-laki dan perempuan akan meningkatkan permintaan. Walau begitu, kini warna merah muda kembali bangkit dan digandrungi laki-laki.
Survei yang dilakukan Cotton USA terhadap 1500 pekerja kantor laki-laki menyatakan satu dari empat lelaki tersebut merasa lebih menarik, lebih berkualitas, lebih percaya diri, dan mendapat banyak pujian dengan memakai kemeja merah muda. Sebuah studi yang dikutip The Independent juga menyebut para pria yang mengenakan kemeja merah muda juga mendapat penghasilan 1500 poundsterling atau sekitar Rp24 juta per tahun dibandingkan pria dengan dominasi warna lain.
Lalu apakah Anda sebagai pria masih mengenakan biru bahkan hitam?
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani