Menuju konten utama

Potensi Friksi di TNI Karena Hadi Tjahjanto Merevisi Rotasi

TNI perlu memberikan penjelasan kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi di tubuhnya.

Potensi Friksi di TNI Karena Hadi Tjahjanto Merevisi Rotasi
Pejabat lama Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kanan) memberikan panji kebesaran TNI kepada pejabat baru Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri) saat upacara serah terima jabatan, di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Sabtu (9/12/2017). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - “Pak Hadi menyalahi komitmen. Waktu itu Pak Gatot sudah ngomong di depan pers,” kata Aris Santoso, pengamat militer saat dihubungi Tirto, Rabu siang (20/12/2017).

Pernyataan itu disampaikan Aris saat menanggapi pertanyaan Tirto tentang keputusan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang merevisi Surat Keputusan Panglima TNI Bernomor Kep/982/XII/2017 tanggal 4 Desember 2017 yang dikeluarkan Jenderal Gatot Nurmantyo melalui Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/982.a/XII/2017 pada Selasa, 19 Desember 2017. Surat yang dikeluarkan Gatot berisi tentang rotasi terhadap 85 perwira yang terdiri 46 perwira tinggi TNI AD, 28 perwira tinggi TNI AL, dan 11 perwira tinggi TNI AU.

Menurut Aris, keputusan Hadi merevisi surat tersebut menandakan politisasi dan faksi di TNI memang sudah terjadi dan makin menguat. Ini tak lepas dari sikap Hadi yang langsung tancap gas begitu menjabat beberapa hari sebagai panglima.

Aris menilai, permainan politik di tubuh TNI sudah tak lagi bisa ditutup-tutupi, lantaran keputusan diambil Hadi kurang dari dua pekan setelah dirinya dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Panglima TNI menggantikan Gatot pada 8 Desember 2017.

“Dengan peristiwa ini ternyata faksi-faksi TNI benar adanya. Publik jadi tahu bahwa faksi dan politisasi TNI itu benar adanya dan sudah enggak bisa ditutup-tutupi lagi,” tambahnya.

Aris menyebut TNI perlu memberikan penjelasan kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Penjelasan yang dimaksud Aris bukan penjelasan normatif biasa tapi lebih spesifik.

“Karena bagaimana pun TNI merupakan lembaga publik,” ucap Aris.

Penjelasan ini, kata Aris, untuk mendudukan persoalan yang muncul lantaran keputusan Hadi. Aris menyitir sikap Hadi saat Jenderal Gatot menjelaskan rotasi jabatan kala mendampingi Hadi Tjahjato mengikuti proses uji kepatutan dan kelayakan di Komisi I DPR. Hadi kala itu mengangguk saat Gatot menjelaskan bahwa proses rotasi ini dilakukan dengan persetujuan setiap kepala staf.

“Waktu itu Pak Hadi manggut-manggut saja, sekarang seperti ini,” jelas Aris.

Tanggapan berbeda dikemukakan Muhammad Haripin, pengamat militer dan politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Haripin menjelaskan, rotasi merupakan hak Panglima TNI yang punya pertimbangan membenahi manajemen personel. Pertimbangan ini bisa berbeda.

“Panglima baru yang berasal dari AU tentu memiliki orientasi dan kebijakan tersendiri,” ucap dia.

Potensi Konflik di TNI

Meski begitu, Haripin melihat ketidaksepahaman antara Hadi dengan Gatot dalam soal mutasi. Situasi inilah yang perlu diantisipasi lantaran kebijakan Hadi bisa menimbulkan pertentangan faksi di TNI kian menguat.

“Ini yang perlu diantisipasi dan apa strategi panglima meredam keriuhan itu,” kata Haripin.

Soal pertentangan, menurut Aris, rentan memicu reaksi negatif dari matra Angkatan Darat. Ia menaksir, ada kompensasi jabatan yang akan diberikan Hadi buat meredam gejolak di internal. Kompensasi ini bisa berjalan lama lantaran tawar menawarnya juga diprediksi alot.

“Kalau enggak [ada kompensasi] akan ada turbulensi kecil di tubuh TNI,” ucap Aris.

Hadi Sepakat Kemudian Revisi

Polemik revisi surat keputusan panglima berawal dari beredarnya Surat Keputusan Panglima TNI Bernomor Kep/982.a/XII/2017 yang dikeluarkan Selasa, 19 Desember 2017. Surat yang ditandatangani Hadi ini menganulir keputusan terakhir Gatot menjelang lengser sebagai Panglima TNI.

Pada 6 Desember 2017, Jenderal Gatot sempat memberi penjelasan soal terbitnya surat tersebut. Penjelasan diberikan Gatot saat mendampingi Hadi Tjahjanto menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR.

Kala itu, Gatot menjelaskan proses pengeluaran keputusan perwira TNI dilakukan secara bertahap dan bertingkat sesuai asas legalitas di TNI. Dalam hal ini, kata Gatot, Mabes TNI menggelar rapat Pra-Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi) guna membahas rotasi ini dengan dihadiri Kepala Staf Umum TNI, Wakasad, Wakasau, dan Wakasal.

“Kemudian tanggal 4 [Desember 2017] kami rapat. Selesai semuanya kami semua paraf, KSAL paraf, KSAD paraf, KSAU paraf,” kata Gatot.

Saat Gatot menyatakan KSAU paraf, Hadi berdiri di samping Gatot. Ia tak membantah ataupun menyelak pernyataan Gatot. Bahkan, Hadi mengangguk saat Gatot menjelaskan ada rapat yang dihadiri bersama terkait rotasi itu.

Meski Hadi memparaf keputusan Jenderal Gatot di akhir masa jabatannya, Hadi kemudian merevisi keputusan itu. Hadi kemudian menjelaskan, alasannya merevisi surat terakhir Gatot sebelum lengser.

"Saya telah melaksanakan evaluasi secara berkesinambungan terhadap administrasi untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan tantangan tugas ke depan," kata Hadi Tjahjanto.

Ia menyebut, tidak ada suka atau tidak suka dalam revisi tersebut. Keputusan merevisi surat itu disebutnya berdasarkan penilaian sumber daya manusia dalam lingkungan TNI berbasis profesionalitas dan sistem merit. "Tidak ada istilah like dan dislike dalam pembinaan karier," katanya.

Konsekuensi Surat Hadi

Dampak dari revisi yang dilakukan Hadi adalah dianulirnya jabatan baru dan tugas baru buat sejumlah perwira. Tercatat ada 16 perwira tinggi yang dianulir mendapat tugas baru dari total 85 perwira tinggi yang sebelumnya dirotasi dalam surat yang ditandatangi Jenderal Gatot.

Dari 16 perwira yang batal dimutasi itu, tertera nama Panglima Kostrad TNI Angkatan Darat, Edy Rahmayadi. Edy awalnya dimutasi oleh Gatot ke bagian Pati Mabes TNI AD dalam rangka pensiun dini dan diganti oleh Mayjen TNI Sudirman. Alasan pembatalan mutasi yang sama berlaku terhadap Edy.

Melalui Surat Keputusan lama, status Edy sesuai dengan rencananya yang ingin turut serta dalam Pilkada Sumatera Utara. Pasalnya UU TNI tidak membolehkan tentara aktif untuk berkontestasi memperebutkan jabatan politik apapun. Ia harus menanggalkan seragamnya terlebih dulu.

Edy Rahmayadi tidak menjawab ketika diminta konfirmasi soal ini. Telepon Tirto diangkat oleh ajudannya. "Pak Edy sedang ada acara. Baru bisa [konfirmasi] malam," kata ajudan.

Baca juga artikel terkait PERGANTIAN PANGLIMA TNI atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Politik
Reporter: Mufti Sholih
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih