tirto.id - Satu siang di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, sebuah toko ponsel terlihat sepi. Tak ada pembeli sama sekali di toko tersebut. Praktis, toko hanya diisi tiga pekerja. Dua orang adalah karyawan toko dan seorang lagi adalah karyawan khusus yang diutus resmi oleh salah satu brand smartphoneasal Cina, OPPO.
Karyawan khusus tersebut acap kali disebut promotor. Jika dua karyawan asli toko itu menjajakan ponsel pintar secara umum, seorang promotor hanya bertugas menjual produk dari perusahaannya sendiri. Andri, bukan nama sebenarnya, seorang promotor di toko ponsel itu hanya bertugas membantu toko menjual produk-produk OPPO.
Meski bekerja dalam satu ruangan toko, Andri terlihat bekerja bak sendirian. Ia memiliki tempat khusus di toko ponsel tersebut dengan dominan etalase OPPO. Jelas, toko ponsel itu tak cuma menjual OPPO. Ragam smartphone dari pelbagai merek juga dijajakan. Mulai dari merek yang sudah melekat dalam benak pembeli hingga pendatang baru. OPPO termasuk brand pendatang baru itu.
Andri, yang hanya bertugas membantu toko menjual produk OPPO, mengungkapkan bahwa ia sering ditanyai calon pembeli tentang produk jualannya. Umumnya adalah pertanyaan skeptis seputar fakta bahwa OPPO merupakan brand baru dan berasal dari Cina. Pertanyaan macam itu bukanlah hal aneh.
Aryo Meidianto, manajer humas OPPO Indonesia, mengamininya, terutama ketika OPPO baru memasuki pangsa pasar ponsel di Indonesia.
“Saat itu memang yang berkembang stigma bahwa perangkat-perangkat kami dari Tiongkok, dengan kualitas rendah, mudah rusak, dan tidak berharga,” kata Aryo. “Untuk menghapuskan stigma itu, kami sejak awal membawa pesan bahwa OPPO adalah produsen ponsel premium."
Hal itu tidak mudah, tambah Aryo. Tetapi, pelan dan pasti, ia mengklaim bahwa produk OPPO "makin diterima di pasar." Momentumnya saat perusahaan menyelesaikan pekerjaan konstruksi pabrik pada Desember 2014. Saat itu, kata Aryo, "sebagian ponsel OPPO telah diproduksi di Indonesia."
Lionel Obadia, profesor antropologi dari Universitas Lyon, Perancis, dalam makalah "‘Made In China’ - Political and Cultural Valuation of Brand Images, Trade, and Commodities” mengungkapkan bahwa merek Cina atau produk-produk berlabel “made in China” memang kadung diberi cap negatif oleh masyarakat. Label “made in China” berkorelasi dengan produk murah, cepat jadi, kualitas rendah, hingga yang paling menonjol terkait isu pembajakan.
Stigma-stigma negatif yang disandang produk-produk buatan Cina acap kali menjadi antitesis dari produk-produk buatan Jepang atau Amerika Serikat.
The Verge, salah satu media yang khusus mengulas teknologi, menulis stigma negatif “buatan Cina” terbentuk atas sejarah panjang kurangnya kontrol kualitas produsen-produsen Cina atas barang jualannya. Padahal, merujuk apa yang diungkapkan The Economist pada 2015, 70 persen produksi ponsel dunia dilakukan di Cina. Stigma negatif seakan mengaburkan kenyataan terang itu.
Membalikkan persepsi tentu satu tantangan khusus. Jessica Marie Kraft dalam “Surviving The 'Made In China' Stigma: Challenges for Chinese Multinational Corporation”, tesisnya untuk University of Southern California pada Agustus 2010, menulis bahwa mengubah pandangan negatif itu memerlukan pemasaran tempo lama, uang yang gede, dan kemampuan humas yang mumpuni untuk membentuk brand yang kuat, sehingga mampu menangkal atau setidaknya mengaburkan stigma tersebut.
Di Indonesia dan pasar internasional, OPPO dan Vivo—keduanya berbasis di Guangdong—melakukan langkah-langkah yang persis sama dari pengamatan Kraft. Mereka menggelontorkan dana jorjoran buat memperkuat brand.
Jorjoran OPPO & Vivo Meruntuhkah Stigma Negatif
Vivo—yang bareng dengan OPPO dan OnePlus menginduk pada satu korporasi, yakni BBK Electronics—melakukan strategi pemasaran melalui aneka ajang olahraga dunia.
Liga sepakbola India, Piala AFF (turnamen negara-negara Asia Tenggara), Pro Kabaddi League (Liga Kabaddi India), hingga Piala Dunia FIFA 2018 di Rusia adalah pagelaran akbar yang dijajaki Vivo untuk memasarkan mereknya. Semua ini tidak murah. Menjadi sponsor resmi Piala Dunia, misalnya, Vivo dikabarkan merogoh kocek sedalam 400 juta Poundsterling (atau setara Rp7 triliun).
Selain itu, Vivo menempatkan produk mereka dalam film Hollywood superhero Captain America (2016). Ia juga ikut membantu salah satu program National Geographic.
Senada dengan Vivo, OPPO melakukan langkah serupa, salah satunya menjadi sponsor resmi kelab Katalunya Barcelona untuk kontrak selama 2 tahun untuk pasar Indonesia pada Juli 2016. OPPO diizinkan memakai logo FC Barcelona guna kepentingan komersial di Indonesia. OPPO juga menempatkan produknya dalam film superhero Spider-Man Homecoming (2017).
Keduanya pun jorjoran beriklan di pelbagai media, televisi, koran dan majalah, maupun online. Keduanya menggandeng selebritas top tanah air, sebut saja Raisa, Isyana, Chelsea Islan, Agnes Monica, Reza Rahardian, Prily Latuconsina.
Selain kedua merek ponsel itu, Xiaomi—yang berbasis di Beijing—juga melakukan pendekatan pemasaran yang masif tapi dengan cara agak beda. Lei Jun, sang pendiri, lebih memilih memanfaatkan pendekatan maya baik melalui Sina Weibo maupun Facebook demi membesarkan brand.
Baca juga:
Di Balik Strategi Jorjoran Biaya Iklan Vivo Hingga Apple
Upaya Xiaomi Mengembalikan Kejayaan
Secara perlahan, tiga brand itu mengikis stigma negatif produk Cina. Edy Kusuma, manajer brand Vivo, mengklaim bahwa stigma negatif itu telah luntur terutama di Indonesia.
“Sekarang stigma itu sudah tidak lagi sejak 2014,” kata Kusuma.
Licin Memanfaatkan Ceruk Pasar
Terkikisnya stigma negatif bahwa smartphone Cina itu produk abal-abal bisa dilihat melalui pencapaian pasar ketiga brand tersebut.
Pada kuartal alias tiga bulan kedua tahun 2017, baik OPPO, Vivo, maupun Xiaomi menyumbang persentase pengapalan ponsel pintar dunia yang cukup besar.
OPPO menyumbang 8,4 persen dari total pengapalan smartphone dunia. Dikuntit Vivo dengan 6,6 persen, dan Xiaomi dengan 6,3 persen. Persentase ketiga brand ini meningkat dari kuartal pertama tahun 2017: OPPO menyumbang 6,8 persen, Vivo sebesar 6,1 persen, dan Xiaomi dengan 3,5 persen.
Baca juga:
Jika ditilik lebih mendalam soal kesuksesan OPPO, Vivo, dan Xiaomi, sesungguhnya hal itu bukan perkara strategi pemasaran semata. Tetapi mereka licin memilih ceruk pasar—istilah dalam pemasaran disebut niche.Tevfik Dalgic dan Maarten Leeuw dari Sekolah Bisnis Henley, Inggris Raya, dalam makalah yang sudah menjadi klasik berjudul “Niche Marketing Revisited: Concept, Applications and Some European Cases” (1994), menulis bahwa niche adalah pasar kecil yang tidak dijajaki oleh kompetitor.
Bermain dengan konsep niche artinya mengeksploitasi pasar spesifik, yang tidak dilirik oleh perusahaan-perusahaan pesaing. Konsep ini berbeda dari segmentasi. Jika segmentasi adalah proses dari atas, niche adalah pasar yang muncul dari bawah, dari keinginan-keinginan spesifik pelanggan.
Dalam tindakan pragmatis, OPPO misalnya secara terang-terangan mengusung tagline “Camera Phone.” Tagline ini adalah praktik spesifik yang menjelaskan kemampuan kamera ponsel OPPO adalah jualan utamanya.
Produk OPPO N1, misalnya, yang dirilis pada September 2013 adalah smartphone yang membenamkan kamera putar pertama. Itu adalah fitur yang memungkinkan pengguna mengambil foto dari depan atau belakang dengan sama baiknya. OPPO juga termasuk perusahaan ponsel pertama yang mengusung konsep dual-kamera, yang kini sudah jadi tren dan bukan lagi perkara istimewa.
Xiaomi pun begitu; ia memiliki niche sendiri, terutama sederap-selangkah dengan strategi online-nya. Jika produsen-produsen lain menyasar segmen offline, Xiaomi menyasar pasar yang sudah melek internet. Selain itu, Xiaomi membawa strategi niche lewat MIUI, user interface Android yang khusus dibuatnya, menjelaskan kemudahan kustomisasi dan mendorong fungsi perangkat secara optimal. MIUI dibuat untuk menyederhanakan user interface bawaan Android yang terasa kaku.
Gabungan strategi pemasaran dan pemilihan niche itulah, di antara faktor-faktor lain, membuat merek ponsel cerdas "made in China" sukses di pasaran, tak terkecuali di Indonesia.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Fahri Salam