Menuju konten utama

Potret Ponsel Lokal di tengah Gempuran Smartphone Cina

Sama-sama komponennya diproduksi dari Cina, ponsel lokal macam Mito dan Advan berada dalam impitan raksasa macam Vivo, OPPO, maupun Xiaomi.

Pasar ponsel lokal seperti Mito dan Advan masih diminati konsumen Indonesia. tirto.id/Nadya Zahwa Noor

tirto.id - Dalam dunia perangkat teknologi ada satu kalimat cukup terkenal: Didesain oleh Apple di California, dirakit di Cina. Parafrasa ini melekat pada produk bikinan Apple, seperti iPhone, iPod, iPad, dan Mac.

Kalimat itu adalah pernyataan, tak sekadar informasi, untuk menjelaskan produk Apple. Meski dirakit di Cina, perancangan gawai dan rupa-rupa pekerjaan litbang lain tetap dilakukan di negeri Paman Sam. Apple ingin menyatakan bahwa iPhone, iPod, iPad, atau produk apa pun adalah buatan AS, bukan Cina.

Di pasar Indonesia, berlaku hal serupa. Ponsel dengan cap buatan Cina dikemas ulang dalam brand Indonesia. Dalam sekejap, ponsel itu akan berubah status menjadi ponsel lokal.

Wijaya Kusuma, manajer pemasaran PT Mito Mobile, produsen ponsel lokal dengan merek Mito, mengamini tindakan demikian.

“Semua brand lokal ngambil dari Cina. Kami di Mito, kan, ada litbang, jadi kami memberikan fitur-fitur berbeda dari brand lain sebagai nilai tambah,” kata Wijaya.

Apa yang diungkap Wijaya sejalan pengakuan Jualiardi dari PT Metrotech Jaya Komunika, perusahaan di balik brand lokal bernama Nexian. “(Nexian) memang diproduksi di Cina, tetapi untuk kontennya berasal dari Indonesia, seperti Nexian Messenger. Dan kami mem-packing produk Nexian di Indonesia,” ujarnya.

Ada cukup banyak brand lokal: Nexian, Mito, Advan, maupun brand ponsel lokal yang dibekingi perusahaan provider telekomunikasi seperti Smartfren. Mereka bertarung di pasar ponsel Indonesia. Data dari IDC mengungkapkan, pada kuartal (tiga bulan) pertama tahun 2017 tercatat ada 7,3 juta unit smartphone yang dikapalkan di Indonesia.

Umumnya ada dua cara ponsel bikinan Cina bertransformasi menjadi brand lokal: meminta langsung pihak Cina mengemas dengan brand lokal; atau mengimpor bagian per bagian sebuah ponsel, lantas dirakit di pabrik perusahaan lokal. Nexian, menurut Juliardi, memilih cara pertama. PT Mito Mobile, menurut Wijaya, menggunakan cara kedua.

Namun, untuk cara kedua, Wijaya mengatakan teknik perakitan itu tak hanya dilakukan perusahaannya. Mengimpor bagian per bagian komponen ponsel lalu merakitnya di Indonesia juga dilakukan brand besar, terutama demi mengakali TKDN alias Tingkat Komponen Dalam Negeri—satu skema pemerintah untuk melokalisasi produk-produk elektronik terutama bagi ponsel dan laptop.

“Semua rata-rata begitu, semua dalam bentuk part komponen. Brand-brand besar pun sama, semua yang branded. Ada software-nya yang digunakan untuk nanti dicek quality control terhadap produk-produk mereka hingga memiliki standar yang sama dengan aslinya,” klaim Wijaya.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/11/17/Medan-Tempur-Ponsel-di-Indonesia--INDEPTH--Mojo.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth HP Cina" /

Peraturan resmi dari Kementerian perindustrian tahun 2017 menyebutkan TKDN terdiri tiga aspek: manufaktur, pengembangan, dan aplikasi, dengan masing-masing bobot nilai 70 persen, 20 persen, dan 10 persen.

Sayangnya, urusan TKDN ini pula yang menjadi bumerang bagi Nexian. “Nexian mati murni karena syarat TKDN,” kata Juliardi.

Berbeda dari Nexian, brand Mito hingga hari ini masih bisa bertahan. Menurut Wijaya, hal ini karena perusahaannya memiliki basis pabrik elektronik. “Sekarang masih jalan terus, dari ponsel yang seharga Rp100 ribu sampai ponsel Android Rp1 jutaan.”

Untuk urusan TKDN, Wijaya mengklaim terus mengoptimalkan segala komponen atas dasar penghitungan skema tersebut. “TKDN tetap perakitan, produksi, bisa dari software, tenaga kerja, pabrik, bahan baku. Kardus pun termasuk TKDN,” terangnya.

Toh, meski beberapa brand ponsel lokal masih bertahan, gempuran merek ponsel internasional memang sangat sulit dibendung. Data dari IDC mengungkapkan bahwa pangsa pasar brand lokal terus tergerus. Pada kuartal pertama tahun 2017, brand lokal hanya memperoleh 17 persen pangsa pasar. Angka ini menurun jika dibandingkan kuartal yang sama setahun sebelumnya dengan 20 persen pangsa pasar.

Pangsa pasar brand lokal kalah jauh dibandingkan ponsel Cina seperti OPPO, Vivo, Xiaomi, maupun brand lainnya. Pada kuartal yang sama, brand Cina menguasai 31 persen pangsa pasar.

Tergerusnya brand lokal ini salah satunya soal duit besar. Perusahaan ponsel macam OPPO dan Vivo maupun Xiaomi gencar membakar uang dalam strategi pemasaran demi mengambil ceruk pasar ponsel di Indonesia.

Meski begitu, untuk urusan persaingan, Wijaya dari PT Mito Mobile mengatakan bahwa segmen brand Cina dan brand Indonesia sesungguhnya dalam level berbeda.

Membandingkan keduanya kurang tepat, kata Wijaya. Perbedaan harga dan level ponsel dari keduanya jelas tidaklah setara. "Brand Indonesia hanya bisa dikomparasikan dengan sesama brand Indonesia, bukan dengan brand Cina," tambahnya.

Di lain pihak, Juliardi mengatakan kematian Nexian tak dipengaruhi oleh OPPO, Vivo, maupun Xiaomi. Ia bilang bahwa Nexian mati sebelum brand asal Cina tersebut meledak di pasar Indonesia.

Thus, mengibaratkannya dalam sebuah sepakbola: bila brand dari Cina adalah kompetisi Eropa, ponsel dari brand lokal adalah kompetisi liga Indonesia.

Baca juga artikel terkait OPPO atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Fahri Salam
-->