tirto.id - Di satu blok di pusat perbelanjaan elektronik di Jakarta, seorang perempuan bernama Shintia tengah bekerja menjual ponsel cerdas. Meski begitu, Shintia bukanlah karyawan toko tersebut. Dalam istilah pemasaran, Shintia adalah promotor alias sales promotion girl, dan yang mempekerjakannya adalah Vivo, perusahaan handphone asal Guangdong, Cina.
“Kita hanya bantu jualan stok di toko,” ujar Shintia. “Per bulan saya ditargetkan menjual 40 unit HP Vivo."
Ada banyak orang yang bekerja seperti Shintia. Hampir tiap toko ponsel, baik di pusat perbelanjaan maupun di pinggir jalan, memiliki promotor. Selain Vivo, OPPO pun melakukannya. Keduanya berinduk korporasi yang sama, yakni BBK Electronics.
Edy Kusuma, manajer brand Vivo Indonesia, mengatakan hingga hari ini Vivo mempekerjakan 3.500 promotor. Promotor-promotor ini dipekerjakan untuk meringankan beban toko ponsel menjual produk ponsel buatan Vivo.
Senada dengan Vivo, OPPO mengutus sangat banyak promotor ke toko ponsel. “Total karyawan OPPO saat ini 27.000 di seluruh Indonesia, dan 80 persennya adalah promotor,” kata Aryo Meidianto, manajer humas OPPO Indonesia. Para promotor ini adalah pasukan terdepan perusahaan menghadapi para konsumen.
Ratmi, pemilik toko ponsel di ITC Fatmawati, Jakarta Selatan, membenarkan bahwa promotor yang seolah-olah bekerja di tokonya digaji sepenuhnya oleh perusahaan yang menitipkan mereka, entah dari OPPO atau Vivo. Dan mereka ditargetkan menjual ponsel dalam jumlah tertentu setiap bulan.
Eklis, pekerja toko di ITC Roxy Mas, mengatakan promotor-promotor di toko tempatnya ditargetkan menjual 10 unit ponsel per bulan. Target kecil ini karena posisi toko di lokasi kurang strategis di lantai 4.
Soal target, Aryo dari OPPO Indonesia mengatakan sesungguhnya tak ada target mutlak. “Target penjualan dapat dibuat sendiri dan ditembus sendiri. Jika mereka ingin menyejahterakan dirinya ataupun keluarga, tentu secara otomatis mereka akan berkomitmen untuk mencapai target penjualan tertentu. Jadi perbedaan target, tergantung masing-masing promotor."
Baca juga:Ponsel Cina Mulai Menggerogoti Pasar Samsung dan Apple
Selain promotor yang diutus khusus, baik oleh Vivo maupun OPPO, nyaris di setiap toko ponsel itu dihiasi bermacam alat peraga reklame yang mencolok, di antaranya berupa shop sign, billboard, maupun banner.
Aryo mengatakan model pemasaran dengan memajang materi iklan di etalase toko itu "sangat efektif untuk memengaruhi konsumen" demi menjadikan OPPO sebagai "top of mind"—merek yang seketika muncul dalam benak konsumen.
"Ketika konsumen melihat logo atau produk ponsel OPPO di mana-mana, secara psikologis konsumen akan penasaran dan akhirnyamencari informasi dan mengunjungi toko-toko kami,” ujar Aryo.
Penempatan beragam jenis iklan itu jelas butuh biaya. "Semua yang pasang-pasang iklan ini bayar. Mau OPPO mau Vivo, semua bayar," kata Ratmi, pemilik toko ponsel. Ia menyebut tarif Rp1 juta/bulan untuk tiap satu badan etalase. Bila ada dua sisi badan toko yang terlihat oleh konsumen, katanya, tinggal dikalikan Rp1 juta.
Pihak OPPO dan Vivo saat ditanya soal total biaya promosi ini lebih menjawab diplomatis. “Pada dasarnya OPPO melakukan support penuh untuk toko-toko yang bekerja sama dengan kami. Bentuknya antara lain seperti pemasangan shop sign, meja display, dan melengkapi material promosi lain, termasuk tenaga penjual atau promotor juga kami sediakan,” kata Aryo.
Edy dari Vivo mengatakan model kerja sama itu tak melulu berbuah uang. “Kami menawarkan renovasi di toko biar bagus. Mutual benefit."
Total, OPPO telah bekerja sama dengan 20 ribuan toko ponsel; sementara Vivo dengan 7 ribuan toko.
“Jika setengah tahun kami copot materi iklan, kami didenda Rp20 juta,” ujar Ratmi.
Jorjoran pemasaran
Penempatan promotor maupun materi-materi iklan yang dipajang di toko ponsel adalah bagian dari strategi hilir pendekatan promosi darat duo perusahaan asal Cina tersebut. Di bagian hulu, dua-duanya getol menggelontorkan uang untuk mempromosikan brand mereka melalui pelbagai saluran. Vivo misalnya sebagai sponsor resmi Piala Dunia FIFA 2018 di Rusia.
“Ini bagian strategi pemasaran yang sudah kami bikin, kami rencanakan. Kami, kan, brand baru,” kata Edy. “Kami punya mimpi tidak hanya merajai pasar Asia Tenggara saja, tapi juga di benua lain. Untuk World Cup, everybody suka football, ini investasi jangka panjang."
OPPO pun setali sepermainan, misalnya menggaet kelab Katalunya FC Barcelona untuk lisensi rilisan ponsel di pasar Indonesia.
Baca juga:Ponsel 'Made in China': Dulu Dicaci, Kini Dicari
Keduanya juga memasang iklan di media masa. Sebagai gambaran, harga iklan di televisi—yang pertumbuhan iklannya tertinggi di antara media lain—berada pada kisaran 5 ribu dolar AS untuk jam tayang utama di Indonesia (antara pukul 18.00-23.00).
Dan selain iklan media masa, duo perusahaan asal Cina ini rajin bekerja sama dengan selebritas top, di antaranya Raisa, Isyana Sarasvati, Chelsea Islan, dan Agnes Monica.
Sayangnya, baik OPPO dan Vivo enggan buka-bukaan soal biaya promosi gila-gilaan ini. Aryo mengatakan OPPO Indonesia hingga hari ini melakukan strategi offline lebih besar ketimbang online. Perbandingannya mencapai 80:20. Ini berbeda dengan pendekatan Xiaomi, perusahaan Cina lain, yang lebih memilih pemasaran melalui jalur online.
Memasarkan produk melalui pendekatan offline untuk pasar Indonesia tidaklah mengherankan. Akamai, provider Content Delivery Network (CDN), pada Maret 2017 pernah merilis tingkat penetrasi internet di Indonesia sebesar 50,4 persen. Angka ini masih kalah dari negara-negara tetangga seperti Singapura (81,2 persen), Malaysia (67,7 persen), Thailand (60 persen), Vietnam (52,1 persen), dan Filipina (52 persen). Gambaran ini (masih) menjadikan segmen offline sebagai strategi pemasaran yang cukup layak dieksploitasi oleh produsen-produsen ponsel tersebut.
Mereka terus menguras ceruk pasar Indonesia. Menurut proyeksi lembaga riset eMarketer (2015), akan ada 83,5 juta unit ponsel pintar yang aktif di Indonesia pada 2018 dan 92 juta pada 2019. Jumlah ini tertinggi di Asia Tenggara di sebuah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Fahri Salam