tirto.id - Pada awal Oktober 2017, Xiaomi, perusahaan teknologi berbasis di Beijing yang dimotori oleh Jun Lei, merilis produk ponsel cerdas bernama Mi A1 di Indonesia. Sebelumnya, produk serupa lebih dulu dirilis di India, pasar yang memiliki karakteristik hampir mirip Indonesia.
Kecuali bagi pencinta teknologi maupun pengakses berita-berita teknologi, kehadiran Mi A1 di Indonesia terasa senyap. Ini berbeda manakala Vivo merilis smartphone baru bernama Vivo V7+ pada akhir September lalu.
Saat itu Vivo menggandeng 9 stasiun televisi (RCTI, ANTV, Indosiar, MNCTV, SCTV, Trans7, TransTV, GlobalTV, dan TVOne) serta 9 media online untuk menayangkan secara langsung kelahiran jagoan baru mereka. Dalam tayangan langsung itu, selain menyuguhkan penampil utamanya V7+, Vivo memamerkan selebritas ternama untuk mengisi acara berdurasi 90 menit tersebut.
Praktis, kehadiran Mi A1 hanya mengandalkan pemberitaan.
Soal penjualan produk, Xiaomi lagi-lagi memilih pendekatan berbeda dari kompetitor lain, terutama dibandingkan pesaing yang sama-sama dari Cina seperti OPPO dan Vivo. Jika OPPO dan Vivo terlihat jorjoran mengerahkan pasukannya menjual produk mereka di ritel-ritel offline, Xiaomi lebih mengandalkan pendekatan online.
Mi A1 dirilis dengan memakai flash sale, satu metode penjualan yang muncul kali pertama pada awal tahun 2000 yang dipelopori oleh uBid and Woot.com di toko online Lazada. Flash sale secara ringkas adalah metode penjualan dalam tempo terbatas dengan iming-iming harga lebih murah.
Achmad Alkatiri, kepala kantor pemasaran Lazada, mengungkapkan keuntungan flash sale adalah “mendapatkan harga terbaik (lebih murah) dibandingkan harga pasaran.”
Umumnya, flash sale diadakan oleh e-commerce dengan terlebih dulu mengirimkan notifikasi kepada para pelanggan setia. Pihak Lazada menjelaskan bahwa ada "puluhan ribu masyarakat Indonesia" yang mendapatkan notifikasi untuk acara flash sale Mi A1. Dan dalam hitungan menit, klaim Achmad, produk itu terjual habis.
Tercatat, sejak awal Oktober hingga hari ini, Lazada hampir selalu mengadakan flash sale Mi M1 setiap minggu. Sayangnya, baik pihak Lazada maupun Xiaomi ogah omong soal total smartphone yang terjual dari acara tersebut.
Sebagai gambaran, pada September 2014 di India, dengan metode penjualan serupa, Xiaomi mengklaim telah sukses menjual 100 ribu unit ponsel dalam waktu 4,2 detik.
“Kerja sama dengan Lazada adalah cara efektif bagi kami, karena para 'Mi Fans' bisa mendapatkan produk pada hari yang sama,” ujar pihak Xiaomi Indonesia.
Flash Sale sebagai Strategi Fundamental
Strategi penjualan online oleh Xiaomi via flash sale bukan perkara jual-beli semata. Selama ini Xiaomi memang dikenal produsen smartphone yang menjual produk dengan harga lebih murah dibanding produk kompetitor yang memiliki spesifikasi hampir mirip. Flash sale adalah upaya Xiaomi menekan harga produk serta membangun antusiasme penggila yang akrab dipanggil "Mi Fans".
Rajendra Kumar Tolety, dalam “Hunger Marketing, Flash Sale and Cost Optimization Strategy of Xiaomi Inc.” (2017), mengungkapkan bahwa flash sale secara fundamental adalah upaya Xiaomi untuk menekan harga jual produk. Ini salah satu upaya menekan biaya dari level operasional hingga level strategi.
Melalui metode itu Xiaomi mempraktikkan langkah pemasaran yang lahap. Cara ini demi menekan penawaran untuk tetap di bawah permintaan, sehingga menciptakan apa yang disebut kondisi “defisit semu.”
Secara sederhana, produk yang memanfaatkan strategi ini seolah-olah sangat laku hingga terkesan kehabisan stok. Dalam kasus Mi A1, gambaran itu bisa dilihat dari empat kali mengadakan flash sale pada Oktober dan sekali pada November. Xiaomi dan Lazada sukses menciptakan defisit semu.
Kondisi ini bukan tanpa tujuan. Tolety mengungkapkan bahwa hal itu mendorong Xiaomi menegosiasikan ulang harga bahan baku smartphone dari para pemasok. Sehingga ia berhasil mencapai tujuannya: membuat harga ponsel Xiaomi bisa ditekan lebih murah dibandingkan produk serupa dari kompetitor.
Jelas, strategi Xiaomi ini tidak akan berhasil manakala flash sale yang diadakan berbuah pahit. Di titik inilah "Mi Fans" berperan penting menyukseskan rilisan ponsel baru Xiaomi.
Chao Ching Shih dalam “Fan-centric social media: The Xiaomi phenomenon in China” (2014) menulis bahwa kelahiran "Mi Fans" lahir dari pendekatan online. Kondisi semakin bertambahnya penduduk yang mengakses internet dan memanfaatkan media sosial, membuat Xiaomi percaya diri untuk memenangkan hati kerumunan di ranah media sosial.
Sejak didirikan, Lei Jun memanfaatkan Sina Weibo, Twitter versi Cina, dan Facebook untuk menciptakan "Mi Fans". Jun memanfaatkan kedua media sosial itu untuk berinteraksi dengan pengguna maupun orang-orang yang berpotensi menjadi pengguna produk Xiaomi. Jun mengunggah lebih dari 100 komentar di Sina Weibo untuk merespons pertanyaan apa pun seputar Xiaomi.
Dan karena media sosial adalah platform yang terbuka, maka komentar positif atau negatif pun terpampang bebas. Untuk komentar negatif, meski menyakitkan, tetap direspons dengan baik, yang justru berbalik jadi salah satu faktor setia fans Xiaomi. Ini membuat Xiaomi, yang lebih suka dipanggil “perusahaan internet”, sukses membangun basis penggemar yang cukup militan.
Keuntungan dari sana tinggal dipetik: saat flash sale digelar, produk Xiaomi bisa terjual hingga ludes dalam hitungan cepat. Hal inilah yang dinamakan sebuah metode pemasaran yang lapar.
Kondisi ke depan
Strategi Xiaomi terlihat menjanjikan. Pada 2017, diprediksi jumlah pengakses internet di Indonesia mencapai 104,69 juta orang.
Sayangnya, mengandalkan pendekatan online saja tak bisa terus-menerus dilakoni. Masih banyak penduduk Indonesia yang belum terjangkau akses internet. Akamai, provider Content Delivery Network (CDN), pada Maret 2017 pernah merilis tingkat penetrasi internet di Indonesia sebesar 50,4 persen.
Xiaomi sadar soal situasi itu dan mulai mencoba beradaptasi. “Belakangan Xiaomi tidak hanya fokus dalam channel online, kami bekerja sama dengan distributor lokal kami, Erajaya. Kami telah membuka tiga Authorized Mi Store yang berlokasi di Summarecon Mall Serpong, Pondok Indah Mall, dan Summarecon Mall Bekasi. Sampai akhir tahun ini, kami akan membuka sampai 15 Authorized Mi Store di beberapa kota besar di Indonesia,” kata pihak Xiaomi Indonesia.
Bahkan bukan hanya Xiaomi yang mengamini kenyataan ini. Dua market place daring terbesar di tanah air, Tokopedia dan Bukalapak, menyadari hal ini.
William Tanuwijaya, CEO Tokopedia, mengungkapkan pasar online dan offline ke depan seharusnya bisa bersinergi. “Keduanya punya kelebihan masing-masing. Offline akan memberikan pengalaman, dari melihat, mencoba, dan menyentuh produk. Sedangkan online akan menjadi sarana kemudahan dan efisiensi,” ucap William.
Lebih jauh, Bukalapak telah mengintegrasikan keduanya. “Bagi masyarakat yang terkendala dengan internet, Bukalapak mempunyai program Agen Bukalapak, inisiatif online-to-offline, yang mulai dijalankan pada November 2016,” kata Andarini, manajer humas Bukalapak.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Fahri Salam